Seno Gumira Ajidarma, sastrawan, memaparkan pidato kebudayaan bertajuk “Sekolah Liar, Mengapa Tidak?” pada Selasa (02-05) dalam acara Jogja Art+Books Fest 2023. Acara yang digelar di The Ratan, Sewon, Bantul ini dipadati oleh para pengunjung yang antusias menyimak pidato kebudayaan Seno sejak pukul 19.55 hingga 20.40 WIB. Bahkan, mereka sudah mulai memadati ruangan sebelum pidato dimulai karena terdapat juga pertunjukan musik yang dibawakan oleh Fajar Merah.
Bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional, melalui pidato kebudayaannya, Seno mempertanyakan ulang sistem pendidikan nasional saat ini. Ia mempertanyakan apakah pendidikan saat ini masih menganut sistem pendidikan kolonial yang mempersiapkan pribumi untuk menjadi tenaga ahli dengan upah murah. “(Pendidikan yang) tidak mampu mengembangkan badan dan pikiran, tetapi semata-mata memberikan surat diploma yang memungkinkan mereka menjadi buruh,” lanjutnya.
Seno juga melihat adanya intervensi pemerintah dalam dunia pendidikan. Sebagai contoh, ia memaparkan kasus ditolaknya rencana tugas akhir perkuliahan seorang mahasiswa di sebuah perguruan tinggi seni. Mahasiswa tersebut gagal memperoleh nilai dalam tugas pameran karena dianggap tidak sesuai dengan syarat penilaian akademis yang dikurikulumkan oleh pemerintah. “Padahal, konsep karya instalasi Kesenian Unit Desa (yang dibuat mahasiswa itu) adalah tawaran dialog dengan warga kampus tentang kemiskinan petani di Tulungagung,” ujar Seno.
Dengan adanya intervensi dari pemerintah terhadap kebijakan sistem pendidikan nasional, Seno menilai hal ini hanya akan membatasi kebebasan dan mematikan kreativitas pelajar. Ia menyebut bahwa dalam sistem pendidikan saat ini berlaku suatu hegemoni terhadap kebijakan yang akan mematikan kebebasan pendidikan. “Sistem pendidikan nasional secara umum, kapasitasnya cukup terbatas untuk menangkap denyar-denyar keliaran kreatif di luar sistem, yang justru kontekstual dengan kebutuhan zamannya,” tambah Seno.
Berangkat dari segala permasalahan tersebut, Seno lantas memperkenalkan sebuah sistem pendidikan yang mampu memberikan ruang kebebasan, yakni sekolah liar. Menurutnya, sistem sekolah tersebut berada di luar sistem pemerintah sehingga mampu meningkatkan daya kreativitas dan menghindari tekanan dari pemerintah. “Betapa saat ini sekolah liar itu perlu, bukan untuk meruntuhkan sendi-sendi pendidikan nasional tetapi untuk menebus kesalahan-kesalahannya (sistem pendidikan pemerintah),” tegasnya.
Lebih lanjut, Seno menerangkan bahwa sekolah liar sudah tumbuh subur sejak era kolonial, tepatnya ketika krisis ekonomi tahun 1930 memaksa pemerintah kala itu untuk memotong anggaran pendidikan. Hal itulah yang kemudian memunculkan semakin masifnya penyelenggara pendidikan secara mandiri seperti sekolah liar. Kemudian, lanjut Seno, Ki Hadjar Dewantara memanfaatkan sekolah liar ini sebagai arena perjuangan kebebasan. “Bagaimana pendidikan tidak terlepaskan sebagai bagian dari perjuangan kebebasan, yang secara historis merupakan gerakan nasionalis,” ucapnya.
Seno melanjutkan bahwa hal itulah yang membuat pemerintahan kolonial merasa kebakaran janggut. Oleh sebab itu, pada tahun 1932, melalui peraturan Toezicht-ordonnantie particulier onderwijs: Staatsblad 1932 Nos. 494, pemerintah kolonial akhirnya menertibkan sekolah-sekolah liar. Seno menilai hal ini justru merampas hak asasi masyarakat dalam memperoleh pendidikan yang bebas. “Pemberantasan sekolah liar itu menghilangkan hak asasi orang tua dan rakyat untuk memilih bagaimana mendidik anaknya,” tegasnya. Seno pun menambahkan melalui ordonansi ini pemerintah kolonial telah menggunakan instrumen gerakan politik untuk masuk ke ladang gerakan pendidikan.
Setelah pidato usai, BALAIRUNG mewawancarai Ragil, salah satu pengunjung, untuk menanyakan responsnya atas pidato kebudayaan Seno. Ia menyampaikan bahwa dengan adanya pembatasan-pembatasan melalui kebijakan, masyarakat tidak lagi mempunyai banyak pilihan. Ia berpendapat bahwa upaya yang perlu dilakukan adalah menciptakan ruang-ruang pendidikan alternatif lain. “Jangan berharap pada sistem yang mapan, kita ciptakan ruang-ruang alternatif meski pengaruhnya tidak besar. Namun jika terus konsisten, akan menjadi sesuatu yang layak untuk dikerjakan,” ujarnya.
Dodo Hartoko Putra, Direktur Jogja Art+Books Fest 2023, juga turut mengomentari pidato kebudayaan Seno. Ia mengungkapkan bahwa Seno sendiri dipilih menjadi pengisi pidato karena ia bukan hanya seorang sastrawan, melainkan juga seorang pendidik. Bahkan, ia beranggapan bahwa Seno telah berhasil menjadi wajah dari festival ini. “Sudah saya bayangkan Mas Seno itu kapasitasnya di sana, jadi dia sebagai bagian dari refleksi kami,” ucapnya.
Penulis: Alfiana Rosyidah dan Takhfa Rayhan Fadhilah
Penyunting: Ryzal Catur
Fotografer: Bayu Tirta Hanggara