“Dosen adalah buruh!” seru para dosen dan audiens konferensi pers yang diadakan oleh Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) pada Sabtu (29-04). Dilaksanakan secara daring, konferensi pers tersebut bertujuan untuk memperingati Hari Buruh Internasional. Konferensi ini dihadiri oleh dosen dari berbagai kampus, baik nasional maupun internasional, dimulai dari Dhia Al-Uyun sebagai moderator, Andri Gunawan, Hariati Sinaga, Vina Adriany, Kanti Pertiwi, Herdiansyah Hamzah, dan lainnya.
Konferensi pers diawali dengan pernyataan Dhia mengenai pengambilan sikap bersama bahwa dosen adalah buruh di dalam kampus. Menegaskan pernyataan Dhia, Vina mengatakan bahwa penting bagi para dosen untuk berserikat karena kesejahteraan dosen yang masih belum setara. “Masih banyak dosen yang kondisi kesejahteraannya di bawah standar dan tidak mendapatkan akses untuk pengembangan diri,” ujarnya.
Melanjutkan Vina, Kanti berpendapat bahwa penghasilan tak pasti yang didapatkan dosen merupakan dampak dari ketidakpastian status. Ia mengungkapkan bahwa hal itu juga membuat hubungan kerja menjadi rapuh dan rawan mengalami eksploitasi, terutama bagi para dosen muda. “Dosen yang sudah mendapat status tidak serta-merta menerima penghasilan yang sepadan dengan beban karir,” imbuhnya.
Di sisi lain, Andri mengungkapkan bahwa tidak adanya pelibatan dosen dalam pengambilan keputusan berujung pada terciptanya kebijakan yang semakin menyulitkan dosen, contohnya Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permen PAN & RB) No. 1 Tahun 2023. Ia mengungkapkan bahwa hal tersebut terjadi karena dosen tak memiliki posisi tawar-menawar yang baik. Andri menganggap bahwa pembangunan serikat penting untuk perjuangan dan perlawanan dosen di Indonesia yang masih bergerak secara sendiri-sendiri. “Saya rasa semakin kuat serikat, semakin kuat posisi tawar-menawar pekerja universitas, semakin ia dilibatkan dalam pengambilan keputusan,” ujar Andri.
Tak hanya dosen, para pekerja di berbagai sektor dalam lingkungan perguruan tinggi juga memiliki kerentanan yang sama. Hal tersebut diungkapkan oleh Hariati. Ia menjelaskan bahwa para pekerja dalam perguruan tinggi memerlukan kesadaran kolektif agar suara mereka lebih didengar. “Kita adalah buruh. Meskipun tanggung jawabnya berbeda, kita tetaplah pekerja dalam lingkungan perguruan tinggi,” ujarnya. Menurut Hariati, banyaknya pekerjaan dalam kampus dengan status yang berbeda menunjukkan ketimpangan relasi sehingga serikat diperlukan sebagai wadah untuk membangun solidaritas.
Mengakhiri konferensi, Herdiansyah mewakili KIKA memberikan rilis sikap. Pertama, dosen menjual jasa dan pikirannya untuk mendapatkan upah dari negara. Setiap apresiasi yang didapatkan oleh dosen dalam bentuk materi berupa pengumpulan pajak dari rakyat. Hal inilah yang mendasari bahwa dosen adalah buruh, sama seperti kawan-kawan buruh lainnya.
Kedua, Sebagai buruh, dosen juga harus berserikat. Dengan berserikatlah kita menjadi kuat dan lebih terpimpin. Segala bentuk kegelisahan yang kita rasakan tidak akan cukup, kegelisahan-kegelisahan ini haruslah diorganisir dalam bentuk serikat agar bisa melakukan tawar menawar di hadapan kekuasaan yang jauh lebih kuat. Seluruh perjuangan untuk mendapatkan kesejahteraan, Penolakan terhadap Permen PAN & RB No.1 tahun 2023, kebebasan dalam menjalankan dunia akademik, dan persoalan-persoalan lainnya bisa diwujudkan dalam “Serikat Buruh”.
Ketiga, konferensi pers ini menjadi salah satu bentuk seruan kepada dosen-dosen di Indonesia agar merapatkan barisannya dalam pembangunan “Serikat Buruh” nasional untuk seluruh pekerja kampus, dosen dan tenaga pendidik. Terakhir, seruan kepada dosen-dosen di Indonesia untuk bergabung ke dalam aksi yang akan dilakukan pada Senin, 1 Mei 2023 untuk memperingati Hari Buruh Internasional.
Penulis: Reyhan Maulana Adityawan, Andreas Hanchel Parlindungan Sihombing, dan Ester V. N. Situmorang
Penyunting: Catharina Maida M.
Fotografer: Muhammad Adrian