Belum lama ini, dosen di seluruh Indonesia digemparkan oleh lahirnya kebijakan baru, yakni Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permen PAN & RB) Nomor 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional. Kebijakan ini sontak membuat para dosen kelabakan. Pasalnya, kebijakan tersebut mengharuskan para dosen untuk segera mengeklaim kinerja mereka dan mengunggah berkas-berkas pendukung dalam waktu yang singkat secara manual. Kemudian, apabila data kinerja dosen dan berkas-berkas pendukung tidak segera diunggah hingga tenggat waktu pada Sabtu (15-04), mereka terancam tidak diakui kinerjanya. Lantas saja, para dosen berbondong-bondong melakukan protes atas kebijakan ini.
Mereka mengajukan petisi melalui situs wadah petisi publik, change.org. Terhitung hingga Kamis (13-04) lalu, petisi tersebut telah berhasil ditandatangani oleh lebih dari 9.000 orang guna membatalkan tenggat waktu pengunggahan data ini. Beruntungnya, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi (Ditjen Diktiristek) merespons petisi tersebut dengan mengeluarkan surat edaran yang menyebutkan bahwa data kinerja dosen tidak perlu diunggah ulang dan akan diambil dari Sistem Informasi Sumberdaya Terintegrasi (SISTER). “Surat Edaran Nomor 0275/E/DT.04.01/2023 membatalkan Surat Edaran yang terbit sebelumnya. Rekan-rekan dosen dapat mengacu pada surat edaran yang terbit 13 April 2023 tersebut,” ucap Nizam, Direktur Jenderal Diktiristek, dalam rilis pers Kementerian PAN & RB dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada Jumat (14-04).
Meskipun demikian, polemik yang hadir akibat kebijakan ini belum selesai. Permen PAN & RB Nomor 1 Tahun 2023 dinilai akan menghadirkan permasalahan baru terkait jenjang karier dan beban administratif dosen ke depannya. Berangkat dari hal tersebut, Pares Indonesia lantas mengadakan diskusi bertajuk “Senjakala Nasib Dosen di Indonesia” pada Selasa (18-04) di Taman Sansiro Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM. Adapun tujuan dari diskusi tersebut adalah untuk membedah permasalahan-permasalahan yang akan muncul akibat pemberlakuan kebijakan Permen PAN & RB Nomor 1 Tahun 2023. “Implikasi dari kebijakan semacam ini dalam jangka panjang betul-betul serius. Akademisi kita banyak, tetapi buat apa jika hanya mengerjakan hal-hal prosedural?” ujar Wahyudi Kumorotomo, Dosen Fisipol UGM, dalam diskusi tersebut.
Menurut Kumorotomo, kebijakan yang diarahkan untuk integrasi dan penyederhanaan pengolahan data tersebut justru menimbulkan kesulitan. Walaupun kebutuhan akan integrasi data ini memang ada, tetapi hingga saat ini begitu banyak aplikasi pengelolaan data yang justru menyulitkan subjek data. “Jika prinsip kebijakan yang diarahkan untuk pelayanan publik ini justru menyulitkan, berarti ada yang bermasalah,” ucapnya.
Kemudian, Rimawan Pradiptyo, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM, menambahkan bahwa kebijakan Permen PAN & RB Nomor 1 Tahun 2023 ini lahir tanpa diimbangi dengan proses pengintegrasian data yang rapi. Ia juga menambahkan bahwa belum lama ini Kementerian PAN & RB sudah mentransformasi Beban Kerja Dosen (BKD) ke dalam SISTER. Namun menurutnya, promosi kepangkatan dosen masih menggunakan ukuran Penetapan Angka Kredit (PAK), sedangkan tidak semua yang terdapat dalam BKD dihitung menjadi PAK. “Lantas, apa fungsi pendataan pada SISTER ini,” tanya Rimawan.
Lebih lanjut menurut Rimawan, hadirnya kebijakan ini justru menghambat karier dan membatasi kreativitas dosen. Sebab, dalam kebijakan ini, dosen dibatasi dalam mengeklaim PAK tiap tahun. Akibatnya, lanjut Rimawan, kini dosen lulusan S3 di Indonesia membutuhkan waktu 21—30 tahun untuk menjadi profesor, sedangkan di negara lain hanya membutuhkan waktu 9—17 tahun. “Dosen yang cepat naik pangkat adalah orang yang sekadar rajin mengunggah dokumen, tetapi tidak mengerjakan riset,” tambah Rimawan.
Namun menurut Alex Denni, Deputi Bidang Sumber Daya Manusia Aparatur Kementerian PAN & RB, kebijakan Permen PAN & RB Nomor 1 Tahun 2023 ini justru menyederhanakan birokrasi yang rumit. Ia menyatakan bahwa dirinya bingung ketika kebijakan ini dinilai mempersulit dosen. Bagi Denni, letak masalah dari kebijakan ini hanya terletak pada masa transisi sehingga dosen diberi waktu untuk melengkapi sistem. “Jadi, persoalan yang ribet ini hanya masalah transisi,” klaimnya dalam diskusi tersebut.
Padahal menurut Rimawan, akar dari permasalahan kebijakan ini adalah penyeragaman proses bisnis 293 profesi dalam satu mekanisme penilaian. Ia mengungkapkan bahwa mustahil satu mekanisme penilaian, yang terkandung dalam Permen PAN & RB Nomor 1 Tahun 2023, mampu mengakomodasi variasi bisnis dari 293 profesi yang berbeda. Kebijakan ini, menurut Rimawan, merupakan bias proses bisnis birokrat administrasi. “Dengan adanya kebijakan ini, dosen yang seharusnya menjadi pekerja intelektual dengan mengandalkan kreativitas dan menghasilkan riset justru hanya bergulat dalam hal-hal prosedural,” jelasnya.
Akibat jangka panjang dari kebijakan ini, lanjut Rimawan, akan berdampak terhadap dosen non-Aparatur Sipil Negara (ASN). Sebab, berbeda dengan kinerja dosen ASN, kinerja dosen non-ASN tidak dibatasi karena masih merujuk kepada peraturan lama. Hal tersebut mengondisikan dosen ASN untuk bekerja minimalis dan dosen non-ASN untuk bekerja keras. Rimawan mengungkapkan bahwa sangat memungkinkan adanya pengalihan tugas dari dosen ASN kepada dosen non-ASN yang berujung terhadap eksploitasi dosen non-ASN. “Dosen non-ASN akan diberi beban pekerjaan lebih banyak dan lama-lama mereka justru akan keluar karena beban kerja yang besar.” jelas Rimawan.
Digempur Masalah, Bangun Solidaritas!
Sementara itu, Ulya Niami Efrina Jamson yang akrab disapa Pipin, Dosen Fisipol UGM, mengatakan bahwa masalah yang dihadirkan dari kebijakan Permen PAN & RB Nomor 1 Tahun 2023 ini justru menjadi pemantik dari masalah yang tak kunjung selesai mengenai entitas perguruan tinggi. Ia menilai bahwa hingga saat ini masih ada keambiguan pemerintah dalam melihat entitas perguruan tinggi. Dalam konteks Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum seperti UGM, menurut Pipin, mereka memiliki fleksibilitas di sisi akademik dan harus beroperasi layaknya perusahaan dalam mencari dana. Akan tetapi, lanjutnya, dalam urusan kepegawaian masih diikat oleh pemerintah. “Jadi di satu sisi ada otonomi, tetapi di sisi lain masih diikat. Inikan ambigu,” jelas Pipin ketika diwawancarai BALAIRUNG pada Kamis (20-04).
Lebih lanjut, klausa dalam Permen PAN & RB Nomor 1 Tahun 2023 ini juga menjelaskan bahwa pejabat fungsional adalah pegawai Aparatur Sipil Negara yang menduduki jabatan fungsional di instansi pemerintah. Padahal, Pipin menyebut bahwa universitas bukan instansi pemerintah. Oleh karena itu, logika birokrasi yang digunakan seharusnya berbeda sebab proses bisnis yang berbeda tidak bisa disamakan. “Kalau premisnya menyederhanakan birokrasi, jangan-jangan itu birokrasi yang berbeda,” tegas Pipin.
Pipin kemudian menceritakan pengalaman temannya sebagai dosen non-ASN. Menurutnya dengan gaji pokok Rp2.100.000, mereka harus mengajar sembilan kelas, melakukan penelitian, pengabdian kepada masyarakat dalam satu semester, dan masih disibukkan oleh urusan mengunggah berkas untuk penilaian PAK. Ditambah, lanjut Pipin, kebebasan akademik juga masih menjadi masalah yang belum rampung di institusi perguruan tinggi. Sebagai contoh, ia menyebutkan surat edaran yang berisi imbauan untuk tidak mengikuti demonstrasi oleh Ditjen Diktiristek pada 2019 lalu. “Dalam kebijakannya, pemerintah menggunakan politik stick and carrot, tetapi carrot-nya tidak ada. Jadi, politiknya stick terus sama halnya dengan penerapan kebijakan ini,” ungkapnya.
Melihat berbagai permasalahan yang dialami oleh dosen, Pipin menyatakan adanya kebutuhan mendesak guna membentuk serikat yang mengadvokasi hak-hak dosen. Pasalnya, permasalahan yang dialami dosen tidak hanya terletak pada kebijakan Permen PAN & RB Nomor 1 Tahun 2023, tetapi juga dalam lingkup perguruan tinggi yang lebih luas. Menurut Pipin, hal tersebut berkaitan dengan BKD, upah dosen, kebebasan akademik, dan Tri Dharma Perguruan Tinggi. “Serikat dosen perlu diciptakan karena adanya industrialisasi pendidikan,” jelasnya.
Hal tersebut juga sempat diutarakan oleh Herdiansyah Hamzah, Dosen Universitas Mulawarman, pada Konferensi Pers Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik tentang Permen PAN & RB Nomor 1 Tahun 2023. Menurutnya, kerumitan birokrasi yang menambah BKD ini adalah strategi pemerintah untuk menundukkan dosen di bawah sistem mereka. Oleh sebab itu, menurut Hamzah, kemarahan yang hari ini dirasakan oleh kalangan dosen tidak hanya sebatas disuarakan, tetapi juga perlu diorganisir secara kolektif. “Ini momentum untuk dosen bersatu, berserikat, dan membangun sisi tawar yang baik,” tegasnya dalam konferensi pers tersebut pada Rabu (19-04).
Kendati ada kebutuhan untuk membangun serikat, Pipin mengatakan bahwa hal tersebut masih menjadi pendiskusian panjang yang menuai pro dan kontra. Menurutnya, hal tersebut disebabkan oleh latar belakang dosen yang sangat plural. Latar belakang inilah yang memengaruhi pandangan dan ideologi yang berbeda dari tiap dosen. Selain itu, Pipin juga menambahkan bahwa situasi politik Indonesia yang masih terkungkung dalam rezim Orde Baru juga turun menyumbang konotasi negatif ketika berbicara mengenai serikat. “Ketika bicara mengenai serikat selalu identik dengan serikat buruh yang dalam pandangan beberapa orang memiliki konotasi rendahan, subversif, dan melawan negara,” jelas Pipin.
Berbeda dengan Indonesia yang memiliki konotasi negatif mengenai adanya serikat. Di Australia, tempat Pipin menempuh studi S3, serikat dosen menjadi kebutuhan mendesak berkaitan dengan kenyataan objektif mengenai industrialisasi pendidikan global serta konstelasi relasi antara perguruan tinggi dengan negara, bisnis, dan rakyat. Bahkan melihat realitas eksploitasi hari ini, menurutnya, tidak hanya dosen yang perlu berserikat, tetapi seluruh pekerja perguruan tinggi. “Kalau dulu buruh sedunia bersatulah. Sekarang pekerja perguruan tinggi sedunia, bersatulah!” pungkas Pipin.
Penulis: Michelle Gabriela dan Muhammad Fachriza Anugerah
Penyunting: Fauzi Ramadhan
Fotografer: Surya Intan Safitri