Sudah kukatakan berapa kali kepada Karima, supaya ia berhenti bermain biola. Sebab bermain biola hanya membuang-buang waktu saja. Lebih baik belajar untuk menyongsong masa depan yang lebih baik. Kegagalanku di dunia musik seharusnya dapat membuatnya berkaca. Jika ia berkaca, seharusnya ia berpikir bahwa untuk sukses di dunia musik tidak semudah yang dibayangkan.
Namun, Karima selalu mengelak. Ia selalu punya keyakinan bahwa zaman telah berbeda. Menurutnya di zaman yang semakin maju ini, peluang untuk sukses di dunia musik justru membesar. Kehadiran platform-platform di dunia maya membuat peluang itu membesar, sehingga segalanya akan dimudahkan. Maka Karima tidak takut sama sekali dengan yang namanya kegagalan, apalagi seperti yang pernah kualami. Karima berpendapat bahwa kegagalanku berasal dari diriku sendiri. Ia pernah bilang kalau aku-nya saja yang tidak totalitas, sehingga aku menemui kegagalan.
Tentunya aku tidak setuju dengan pendapatnya. Kutegaskan berkali-kali padanya kalau musik tidak segampang yang dikira. Karima justru semakin keras kepala. Ucapanku malah seperti cambuk semangat bagi dirinya. Apakah aku akan terus mengejarnya, untuk menjadikan dirinya seperti yang aku angan-angankan?
Jadi yang kubayangkan mengenai dirinya adalah ia bisa bersekolah setinggi-tingginya, dibiayai negara. Jelas aku mempunyai gambaran demikian, sebab di usiaku yang hampir menginjak kepala lima ini, aku hanyalah seorang tukang ojek online. Dengan keadaan yang demikian, rasa-rasanya tidak mungkin merealisasikan hal itu. Maksudku dengan hasil daripada keringatku yang tidak seberapa ini, bagaimana mungkin aku bisa membiayai pendidikan setinggi mungkin?
Kembali lagi kepada angan-anganku, bayanganku Karima bisa mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, tapi dengan cara dibiayai negara, kemudian menjadi seorang dosen, mendapat kedudukan. Jabatannya terus naik, hingga menjadi pejabat. Begitulah yang kubayangkan. Bayangan itu bisa tercapai, jika Karima rajin belajar dan menjadi pintar.
Namun, itu bayanganku. Bayangan Karima berbeda. Terkadang aku bertanya-tanya, apakah ekspektasiku terlalu tinggi? Sebenarnya tidak ada yang salah bila aku mempunyai harapan yang demikian, sebab keadaanku yang sering terhimpit. Jujur saja, masalah ekonomi. Apakah jika Karima sesuai dengan yang kubayangkan, apakah yang diuntungkan aku? Sebenarnya tidak juga, toh yang akan menikmati secara penuh adalah dirinya sendiri. Aku hanya terkena sedikit imbasnya.
Sebagai orangtua, salah juga bila memaksakan kehendak anak, aku sedikit memahami itu. Keinginanku yang telah mengabaikan hal itu. Karima begitu mencintai hobinya. Aku terkadang salut dengan semangatnya. Dengan segala keterbatasan, ia sudah begitu mahir memainkan biola—sebagai orang yang pernah bergelut dengan musik aku paham akan hal itu. Padahal ia baru duduk di kelas tiga sekolah menengah pertama.
Menurut pengakuannya, ketertarikannya dengan biola adalah karena temannya. Ia tertarik, kemudian diajari oleh temannya; sampai kemudian ia merengek meminta aku membelikannya biola. Tentu saja aku tidak menurutinya, lagi pula biola juga tidak murah harganya, kecuali mungkin biola bekas. Sebab aku tidak menuruti, Karima mengumpulkan uang sakunya sendiri dengan begitu bersemangat untuk membeli biola bekas. Ia kembali belajar dengan temannya, ditambah belajar secara otodidak. Dan nyatanya, ia sudah bisa bermain biola.
Di titik ini terkadang aku juga tidak habis pikir. Apa yang dikatakan orang-orang, keterbatasan tidak menjadi halangan untuk maju, ada benarnya juga. Aku benar-benar dihadapkan kepada fakta. Anakku sendiri. Karima sungguh menggunakan peribahasa tiada rotan akar pun jadi. Tetap saja, aku tetap ingin Karima seperti apa yang terancang di kepalaku.
Karima bercita-cita menjadi pemain biola profesional. Sebuah cita-cita yang tidak pernah ada dalam bayanganku. Apa mungkin cita-citanya akan terwujud? Aku tidak tahu lagi harus bagaimana agar ia berada di jalan yang kumau.
“Lagi pula tidak ada salahnya kalau hanya untuk hiburan?” ucap Karima, ketika aku kembali menyuruhnya untuk berhenti bermain biola dan lebih baik belajar.
“Kalau hanya untuk hiburan, kamu sudah kelewatan. Hampir setiap saat bermain. Ayah tidak pernah melihat, kamu belajar. Kemarin Bu Arum, guru BK sampai berkirim pesan ke bapak, kalau nilaimu hancur,” ucapku.
“Bapak hanya malu soal itu?”
“Ya, malu. Apalagi kalau besok terulang karena kamu tidak berubah!”
Karima malah menyuruhku untuk mendiamkan apa yang dipesankan Bu Arum kepadaku, yang intinya supaya ia lebih giat lagi dalam belajar. Aku bisa memahami, mengapa Bu Arum sampai berkirim pesan. Ia tahu benar keadaan keluargaku yang seperti ini. Ia bisa memahami kalau Karima adalah satu-satunya harapan di keluargaku.
“Bapak tidak usah khawatir, bagaimana biaya nanti. Toh, sekarang ini pemangku kebijakan pendidikan mengeluarkan program-program yang dapat meringankan wali murid, mohon maaf kalangan bawah,” ucap Bu Arum.
Aku masih ingat benar kata-kata itu. Kalau boleh jujur, Bu Arum telah menjadi malaikat penolong bagiku. Kalau bukan dia, Karima tidak mungkin menimba ilmu di sekolah negeri. Maka Bu Arum seperti menyayangkan Karima. Mungkin ia menaruh harap. Mungkin ia berharap supaya Karima bisa memanfaatkan sebaik mungkin apa yang telah diberikan oleh sekolah. Nyatanya?
Dan akhir-akhir ini, aku menganggap Karima semakin gila. Ia meminta kepadaku untuk membelikan biola yang baru. Jelas, lagi-lagi aku tidak memenuhi permintaannya. Aku memarahinya habis-habisan. Sementara itu aku sedang memikirkan untuk menghadapi jenjang selanjutnya. Karima benar-benar menguji kesabaranku. Sementara itu ibunya juga tidak pernah berdaya apa-apa.
Ia tidak pernah mampu memengaruhi Karima, sama sepertiku juga sebenarnya—terkadang aku merasa sia-sia apa yang kulakukan. Ia cenderung membiarkan Karima. Sorot matanya seperti mengatakan kalau Karima berhak memilih sendiri jalan hidupnya. Aku benar-benar tidak tahu lagi harus bagaimana. Karima… Karima….
Aku hanya membayangkan hal-hal buruk terjadi di masa depan Karima. Dan karena itu Karima menjadi sengsara dan tidak bahagia, sebab kegagalan yang harus diterimanya. Aku sering berucap kepada ibunya mengenai kegelisahanku. Ia selalu menyuruhku untuk bersabar dan bersabar. Terkadang ia mengatakan kalau aku harus percaya sepenuhnya dengan Karima.
Sulit bila aku harus menerima jalan yang dilalui Karima. Sebuah jalan yang terlalu sulit bagi dirinya sendiri. Karima semakin gandrung bermain biola. Suatu ketika, ia pernah menyampaikan kepadaku, kalau dirinya ditunjuk guru musik untuk lomba mewakili sekolah di tingkat kabupaten. Diam-diam aku bangga padanya ketika ia menunjukkan skill-nya kepadaku. Ia bisa memainkan instrumental klasik semacam Beethoven.
“Guru musik, Pak Agus yang membimbing,” ucapnya saat aku bertanya, siapa yang mengajari sehingga bisa memainkan instrumental klasik tersebut.
Sejujurnya, aku tidak menyangka jika ia sudah sejauh itu. Aku terlalu menutup mata kepada dirinya. Ahh, Karima, ternyata istimewa juga. Sebuah telepon WA masuk. Tidak ada nama tertera pada panggilan itu. Hanya nomor hp saja. Siapa? Kuangkat. Ternyata Pak Agus. Ia memuji-muji Karima dan meminta doa kepadaku supaya Karima dilancarkan segalanya dan sesuai apa yang diharapkan. Selain itu ia juga berpesan kepadaku untuk selalu mendukung Karima.
Sebegitu besar perhatiannya kepada Karima, sampai-sampai aku juga ikut dimanusiakan? Diam-diam aku terharu, aku mencoba menahan air mata yang hampir pecah. Ternyata ada yang mendukung bakat Karima. Sebagai orangtua, mengapa aku tidak lakukan itu? Aku katakan kepada Karima, kalau aku baru saja ditelepon oleh Pak Agus. Karima begitu antusias. Keantusiasan itu yang tidak pernah kutemukan ketika ia menghadapi soal dalam pelajaran.
Apakah aku harus percaya kepada Karima sepenuhnya mulai sekarang? Bayangan masa laluku kembali hadir dan mau tidak mau segala kepahitan kembali kurasakan. Meski aku punya keinginan dan harapan sendiri, tidak salahnya juga bila aku mendoakannya. Karima tampak begitu lega dan seperti semakin bersemangat.
Terdengar suara ketukan pintu. Siapa yang datang malam-malam begini? Tanyaku. Rumahku sangat jarang kedatangan tamu di malam hari, kecuali bila hari Lebaran. Aku beranjak dan membukakan pintu. Bu Arum. Sungguh suatu kejutan yang membuat jantungku berdegup kencang.
Apakah capaian Karima sudah begitu parah, sehingga sampai-sampai ia menyempatkan diri datang ke rumah di malam seperti ini? Aku seketika langsung mempersiapkan diri untuk menghadapi malu. Keinginanku kembali menguat dalam ingatan.
“Saya ke sini bukan untuk itu, memang Karima harus lebih giat lagi dalam belajar, tapi ada hal yang lebih penting. Saya diamanahi guru-guru untuk memberikan ini pada Karima,” ucap Bu Arum memberikan tas berbentuk persegi panjang yang berada di hadapannya kepadaku.
“Maksudnya, Bu?” Aku sungguh bingung.
“Ini biola untuk Karima dari sekolah, Pak. Karima itu berbakat sekali. Kemarin beberapa guru berunding, akhirnya sepakat membelikan biola, iuran dengan uang pribadi masing-masing. Karima memerlukan fasilitas yang lebih, Pak. Semoga bermanfaat ya, Pak,” kata Bu Arum.
Kali ini air mataku tidak lagi dapat dibendung. Aku tidak pernah menyangka, jika guru-guru begitu perhatian dengan Karima. Tidak sampai sepuluh menit, Bu Arum pamitan. Kebetulan istriku sedang berada di luar sehingga tidak membuatkannya sekadar segelas teh.
Sementara aku tidak tahu, mengapa Karima tidak keluar membawa teh hangat. Mungkin Karima malu bertemu Bu Arum karena guru BK itu pernah meneleponku gara-gara capaiannya di sekolah. Aku memohon maaf kepada Bu Arum tidak memberinya suguhan.
Bu Arum kembali berpesan kepadaku untuk mendukung bakat Karima dan mendoakannya karena ia akan lomba mewakili sekolah. Ketika aku memandang kepergiannya, aku bertanya pada diriku, apakah mungkin aku masih menghalang-halangi cita-cita Karima?
Gang Beo, 2022–2023
Risen Dhawuh Abdullah
Lahir di Sleman, 29 September 1998. Alumnus Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan (UAD) tahun 2021. Alumnus Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015, kelas cerpen. Anggota Komunitas Jejak Imaji. Bila ingin berkomunikasi, bisa lewat @risen_ridho.