Jumat (24-02), Keluar Kelas mengadakan diskusi skripsi dengan judul “Mumpung Masih Mahasiswa: Penalaran Temporal Mahasiswa Indonesia dalam Melakukan Aktivisme” yang ditulis oleh Haratua Zosran, alumnus mahasiswa Antropologi Budaya UGM. Diskusi yang berlangsung di Fisipoint Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM ini berusaha menilik ulang gerakan mahasiswa dan kompromi kontinu subjek-subjek di dalamnya terhadap pembangunan. Adapun tiga narasumber hadir dalam diskusi ini, yaitu Amalinda Savirani selaku dosen Departemen Politik dan Pemerintahan UGM, Delpedro Marhaen dari Blok Politik Pelajar, dan Naysilla dari Social Movement Institute (SMI).
Melalui sebuah pertanyaan “Apa artinya menjadi muda dan terpelajar di Indonesia?” Haratua mencoba memantik diskusi dengan mendefinisikan ulang tentang peran dan posisi mahasiswa di panggung demokrasi Indonesia. Ia menjelaskan bahwa di dalam sejarah Indonesia, kelompok muda dan terpelajar selalu ada di posisi pelopor. Hal itu yang menurutnya menempatkan mahasiswa sebagai agen perubahan, kontrol sosial, dan kekuatan moral. “Mahasiswa menjadi aktor utama dalam perubahan,” ujar Haratua.
Namun, menurut Haratua, situasi ini berubah di tengah sistem pendidikan Indonesia yang kini mengarah pada orientasi ekonomi sehingga mahasiswa hanya berfokus secara individual. Akibatnya, mahasiswa cenderung sekadar mengikuti dunia kerja dibandingkan bergerak secara kolektif sebagai agen perubahan. Oleh karena itu, untuk dapat tetap merawat peran-perannya, Haratua beranggapan bahwa mahasiswa harus memiliki prinsip keberpihakan. “Walaupun nantinya hidup masih mengikuti permintaan hegemoni atau terjun dalam arus neoliberalisme, setidaknya mahasiswa tidak menindas orang, tidak mencuri, dan tidak korupsi,” jelas Haratua.
Diskusi lalu mulai membahas wacana yang dibawakan dalam skripsi Haratua. Sebagai pembuka, Haratua lantas menunjukkan data etnografi dari beberapa sampel mahasiswa di SMI. Berdasarkan hal itu, ia menemukan bahwa mahasiswa memiliki banyak pilihan kegiatan di dalam kampus yang justru dapat menimbulkan polarisasi. Polarisasi ini akan berakibat pada sikap antagonis dan kecurigaan antara satu kegiatan dengan kegiatan lain. “Mahasiswa di Indonesia seakan-akan merasakan adanya arus liberalisasi yang kencang, tetapi arus ini nyatanya berfokus kepada individu, bukan kepada kolektif.” ucap Haratua.
Masalah lain kemudian diungkapkan oleh Pedro, yakni tentang tidak adanya ruang yang cukup untuk bergerak setelah menjadi mahasiswa. Baginya, pilihan hanya terbatas pada partai politik dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Di samping itu, suara mayoritas politik tidak bisa digalang kendati ada suara politik yang diperhitungkan dalam meminta kebijakan yang berpihak kepada mahasiswa. Ia menambahkan bahwa imajinasi soal gerakan masih terbatas seputar siaran pers dan demonstrasi saja. “Kita melupakan hal-hal lain yang sebenarnya bisa dikerjakan, soal pembangunan serikat dan soal bagaimana mendulang suara politik mayoritas kampus,” ujarnya.
Berangkat dari segala permasalahan ini, Haratua menilai bahwa gerakan mahasiswa yang cenderung menurun disebabkan oleh neoliberalisme pendidikan. Hal itu membuat terjadinya pemberangusan kebebasan akademik di lingkungan universitas. “Di tengah kondisi neoliberalisme pendidikan yang merepresi lewat pemberangusan kebebasan akademik, gerakan mahasiswa tidak lagi menjadi perlawanan atas hegemoni,” ungkap Haratua.
Hal serupa turut disampaikan oleh Naysilla. Menurutnya, sedari awal mahasiswa sudah menjadi korban dari sistem neoliberalisme. Ia lantas memisalkan contoh dampak neoliberalisme di kampus yang memberatkan mahasiswa, yakni kegiatan di luar kampus yang membutuhkan konversi Sistem Kredit Semester (SKS). “Konversi SKS yang rumit mau tidak mau harus dilakukan agar dapat teridentifikasi sebagai mahasiswa,” jelas Naysilla.
Melanjutkan penjelasannya, Pedro mengungkapkan bahwa peristiwa pemberangusan kebebasan akademik juga mulai terjadi ketika kebijakan Normalisasi Kebijakan Kampus dan Badan Koordinasi Keorganisasian (NKK/BKK) diberlakukan oleh rezim Soeharto. Hal ini yang kemudian menurutnya sebagai bentuk penundukan terhadap mahasiswa. “Saya melihat bahwa iklim akademik di dalam kampus tidak benar-benar bebas sehingga memunculkan suatu gagasan atau ide yang prematur,” jelas Pedro. Pada akhirnya, menurutnya mahasiswa harus bisa mengartikulasikan tuntutan dan memahami secara strategis berbagai metodologi serta fase dalam gerakannya.
Pada akhir diskusi, Amalinda menegaskan bahwa suatu gerakan mahasiswa di setiap zaman mempunyai eranya masing-masing. Ia menambahkan bahwa faktor lain seperti fragmentasi di dalam tubuh negara juga dapat berkontribusi dalam gerakan mahasiswa. Oleh karena itu, gerakan mahasiswa harus dikaitkan dengan konteks makro yang lebih besar dalam merawat kontinuitas tersebut. “Yang terpenting adalah cari persamaan, cari kesamaan antar-semua elemen dan semua hal, karena itu yang jadi kekuatan,” pungkasnya.
Penulis: Andreas Hanchel Parlindungan Sihombing, Muhammad Fariz Ardan, dan Takhfa Rayhan Fadhillah
Penyunting: Dhestia Arrizqi Haryanto
Fotografer: Logissa Sukmana