Tak semua kalimat ketulusan penuh metafora itu benar adanya. Terkadang, untaian kata penuh semangat itu sering digunakan para motivator untuk memanipulasi seseorang.
Judul : Kumpulan Kalimat Demotivasi III: Panduan untuk Hidup Tanpa Panduan
Penulis : Syarif Maulana
Penerbit : Yrama Widya Publisher
Tahun Terbit : 2022
Tebal : xiv + 114 halaman
ISBN : 978-623-205-730-2
Saat ini, kita membutuhkan pembahasan mengenai kenyataan hidup yang sejatinya pahit. Kalimat jujur, tetapi pahit itu dihadirkan bukan bertujuan menghancurkan kalimat motivasi. Kalimat demotivasi berguna untuk “mengimbangi” kalimat motivasi yang rasa-rasanya sudah kian manipulatif dan sering kali mengaburkan realitas yang sebenarnya. Ia bisa menjadi semacam alat untuk membuka tabir yang selama ini tertutup. Bisa membuat kita sadar dan menerima kehidupan yang sesungguhnya memang pelik.
Kehadiran demotivasi, kata Syarif Maulana (2022, hlm. 8) dalam bukunya yang berjudul Kumpulan Kalimat Demotivasi III: Panduan untuk Hidup Tanpa Panduan, demotivasi bertujuan “ … untuk memeriksa kembali motivasi-motivasi yang melandasi tujuan dari suatu gagasan, tanpa harus mengubah tujuan itu sendiri”.
Dari penjelasan itu, ada dua poin penting yang berkait-kelindan, yakni gagasan dan tujuan. Sebuah gagasan, kata Maulana, terlepas dari apa pun itu, pastinya selalu punya tujuan. Gagasan akan terdengar tak logis jika ia tak punya tujuan. Tujuan dari setiap gagasan yang termaktub dalam kalimat motivasi, menurutnya, perlu diperiksa kembali dengan menghadirkan kalimat demotivasi.
Maulana dalam bukunya memberi contoh sederhana. Asumsikan, tujuan politik adalah ingin mencapai kekuasaan. Tujuan pendidikan adalah menggembleng pola pikir seseorang sehingga ia dapat diterima di masyarakatnya. Tujuan bisnis adalah untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Tujuan Marxisme adalah keadilan distributif. Tujuan anarkisme adalah kebebasan manusia di atas orang-orang bebas lainnya, dan seterusnya. Untuk mencapai tujuan itu, bukankah seseorang memerlukan motivasi?
Bagi Maulana, motivasi merupakan “daya dorong” untuk menggerakkan seseorang saat ingin mencapai tujuan tersebut. Mengapa kita harus melakukan suatu hal? Atas dasar apa kita melakukannya? Menurut Maulana, dengan motivasi, harapannya kita jadi punya alasan, mengapa tujuan yang sebelumnya kita tetapkan harus terwujud. Saya akan menghadirkan kalimat demotivasi yang dimaksud oleh Maulana.
Motivasi dalam Bisnis: Pencurian Nilai Lebih terhadap Para Pekerja
Dalam persoalan bisnis yang berkaitan dengan pekerja, saat dihadapkan dengan kenyataan pahit, kita sebagai pekerja pastinya sering kali “ditenangkan” dengan petuah-petuah bernada tulus tapi sebenarnya semu oleh para motivator. Kita diminta untuk sabar menghadapi cobaan yang datang, menikmati proses yang sedang berlangsung, hingga memaklumi sikap atasan yang sebenarnya merupakan sumber dari permasalahan itu sendiri.
Kondisi lingkungan pekerjaan yang sebenarnya toksik atau katakanlah eksploitatif, akibat terlena dengan petuah itu, ternormalisasi. Kita seolah-olah dibuat buta lewat kalimat motivasi yang bertebaran itu. Padahal, kita bisa melihat kenyataan sesungguhnya yang memang perih.
Ketulusan seorang motivator, dalam konteks bisnis misalnya, secara halus telah mengarahkan mindset pekerjanya untuk menerima hidupnya sebagai sesuatu yang telah terberi (taken for granted). Sesuatu yang sudah datang dari sananya. Pekerja tidak mengetahui bahwa jargon motivasional yang digembar-gemborkan hanyalah konstruksi belaka.
Singkatnya, menurut Maulana, tak semua kalimat ketulusan penuh metafora itu benar adanya. Terkadang, untaian kata penuh semangat itu sering digunakan para motivator untuk memanipulasi seseorang.
Contohnya, atasan atau bos kita memberikan “pekerjaan lebih” di luar tanggung jawab utama kita, sementara kita sebagai pekerja tak mendapat apa-apa kecuali ucapan terima kasih atau pujian. Seseorang motivator bisa saja menghipnotis mindset ‘pola pikir’ kita bahwa itu artinya kita dipercaya olehnya.
Ketika sedang frustasi dengan pekerjaan yang berat, seseorang motivator juga bisa saja menyampaikan petuah andalannya bahwa hal itu akan menjadi pengalaman berharga bagi pekerja tersebut suatu saat kelak. Singkatnya, pengembangan diri atau peningkatan dedikasi terhadap tempatnya bekerja.
Padahal, bagi Maulana, kalimat motivasi seperti itu hanyalah akal-akalan para kapitalis untuk mencuri nilai lebih para pekerjanya. Tujuan kapitalis hanyalah satu: mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dalam bisnisnya, entah mengorbankan pekerjanya atau hal lain yang dapat menekan biaya produksi.
“Perusahaan mana pun tentu mengupayakan pencurian nilai lebih demi memperoleh laba semaksimal mungkin. Namun, jangan sampai terkesan memeras. Jangan sampai mengatakan dengan terus terang: ‘Ayo, kerja keras, tidak perlu perhitungan, agar kami mendapatkan profit yang sebesar-besarnya’. Perlu dibuat suatu alasan, bahwa kerja keras si pekerja itu bukan dalam rangka keuntungan maksimal perusahaan, tapi untuk kebaikan dirinya sendiri. Perusahaan justru ingin terkesan berjasa, membuat si pekerja mampu merealisasikan potensi dirinya (Maulana, 2022, hlm. 24).”
Lewat kalimat demotivasi itulah kita diajak oleh Maulana untuk meninggalkan kalimat motivasi yang sebenarnya manipulatif dan sering kali eksploitatif. Kita diminta untuk meninggalkan situasi yang dibuat-buat supaya salah satu pihak mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya. Sementara pihak yang lain, tanpa pernah sadar, sejatinya tengah diinjak-injak. Sangat bajingan, bukan?
Tahun Politik 2024: Ketulusan Semu Politisi yang (Mungkin) Terulang Kembali
Tak hanya mempertanyakan kembali motivator saat menyampaikan kalimat motivasi dalam konteks bisnis. Kehidupan kita yang kian menuju tahun politik 2024 juga saya pikir mesti mawas diri dengan janji-janji manis yang disampaikan oleh para politisi yang hanya ingin mendulang suara semata.
Karena kita tahu, saat pesta politik itu akan tiba, perilaku mereka secara seratus delapan puluh derajat bak seorang malaikat. Mereka tak sungkan menawarkan bantuan, terjun langsung ke lapangan untuk mendengarkan keluh kesah rakyat, dan menyampaikan kalimat yang penuh ketulusan. Ketika terpilih, mereka berjanji akan membawa permasalahan rakyat ke gedung parlemen dan perubahan bisa terwujud. Mereka kelewat percaya diri bahwa persoalan rakyat bisa diselesaikan semudah membalikkan telapak tangan.
Namun, setelah mendapatkan apa yang mereka inginkan, misalnya duduk di kursi parlemen, apakah mereka akan menepati janjinya? Maulana meyakini bahwa hal tersebut amatlah sulit mereka tepati. Alasannya sederhana, pemilih dengan politisi yang terpilih itu sudah terpisah jauh. Apalagi, jika si politisi sudah mendapatkan apa yang diinginkan (kekuasaan). Pemisahannya mulai dari fisik pagar dan bangunan (gedung parlemen), ekonomi, hingga status sosial mereka di mata masyarakat yang tiba-tiba menjadi seorang “pejabat terhormat” dengan segala fasilitas, tunjangan, dan lain sebagainya.
“Sebuah gedung parlemen selalu dibuat dengan sekat yang besar agar rakyat di luar sana tidak bisa tiba-tiba masuk, tidak bisa sekonyong-konyong datang berkeluh kesah atau menagih janji. Tidak hanya dipisahkan oleh fisik pagar dan bangunan, seorang politisi juga dipisahkan oleh status sosial dan ekonomi, yang membuatnya terisolasi dari rakyat (padahal ia adalah bagian darinya) (Maulana, 2022, hlm. 30).”
Para politisi dan motivator, menurut Maulana, sekilas punya kesamaan. Politisi dengan kalimat motivasionalnya ingin mengejar kekuasaan dan meraihnya. Sementara motivator dalam konteks sebelumnya, yakni bisnis dan pekerja, ingin mencuri nilai lebih para tenaga kerjanya secara sembunyi-sembunyi. Satu hal yang menyebalkan dari mereka adalah manipulatif. Mereka tak pernah menyampaikan maksud itu secara gamblang. Tapi mereka bermain di tataran retorika sehingga target sasarannya terpengaruh. Kita diminta untuk mengiyakan apa yang mereka katakan tanpa kesadaran dan sikap kritis.
Penutup
Selain dua pembahasan menarik tadi yang menjadi kelebihan buku ini, buku ini juga mengulas kaitan antara demotivasi dengan seni, pendidikan, olahraga, aliran pemikiran Marxisme, hingga anarkisme. Kaitan-kaitan ini disampaikan secara mudah dan terkadang jenaka. Pun, terdapat pembahasan menarik lain, misalnya efek demotivasi dalam kehidupan.
Orang yang demotivasional sebenarnya bukanlah orang yang selalu rebahan dan malas bekerja. Justru, orang yang demotivasional itu adalah orang yang tetap bekerja, tetapi dengan penuh kesadaran dan sikap kritisnya. Orang tersebut bisa memberi batas, mana pekerjaan demi uang semata dan mana pekerjaan yang disemangati agar beban kerjanya lebih daripada seharusnya.
Maulana menyediakan pula kumpulan doa demotivasi yang isinya dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Kumpulan doa demotivasi merupakan satire bagi para motivator yang selama ini kerap menggembar-gemborkan kalimat motivasi, tetapi sebenarnya manipulatif. Melalui doa tersebut, kita diharapkan bisa terhindar dari sikap manipulatif para motivator.
Di balik kelebihan itu, buku ini juga punya kekurangan. Buku ini agaknya kurang cocok bagi mereka yang punya ambisi besar, yang biasa mereka dapatkan saat membaca buku-buku pengembangan diri mainstream. Maksudnya, bagi mereka yang ingin mendapatkan kalimat penenang dari buku ini, tentunya hal tersebut tak akan ditemukan. Sebab, buku ini menawarkan cara berpikir realistis dan kritis.
Kendati begitu, kekurangan itu saya pikir tak menutupi kelebihan dari buku ini. Buku ini tetap layak dibaca, terlebih bagi mereka yang sudah jengah dengan kalimat penenang seperti motivasi, dan ingin sesekali menertawakan betapa kejamnya hidup ini secara terus terang dan gamblang.
Aan Afriangga
Pernah jadi wartawan di media online Inilah.com, Tenaga Pendukung Peneliti di PBHI Nasional, dan Field Coordinator di Lembaga Survei KedaiKOPI. Saat ini sedang menjadi Staff Social Media Officer di LBH Masyarakat dan mengelola Toko Buku Nyala Api bersama rekan-rekannya. Bisa ditemui lewat Instagram: @aanafriangga11. Kritik dan saran: aanafriangga18@gmail.com.