Sabtu (28-01), tagar #UniversitasGagalMerakyat mengudara secara serempak di media sosial Twitter dan Instagram pada pukul 19.00 WIB. Hingga tanggal 31 Januari, terdapat 5.618 kiriman dengan tagar tersebut di Twitter. Gerakan yang diinisiasi oleh Aliansi Mahasiswa UGM ini merupakan buntut dari pernyataan rektor UGM pada Hearing Rektorat 17 Januari lalu. Dalam acara tersebut, Ova Emilia, selaku Rektor UGM, menegaskan bahwa UGM akan memberlakukan uang pangkal seperti universitas lain. Pernyataan tersebut menimbulkan gejolak dan kekecewaan di kalangan mahasiswa, bahkan masyarakat umum.
Berangkat dari informasi tersebut, BALAIRUNG mewawancarai Anju Gerald dari Aliansi Mahasiswa UGM dan Sigit Bagas Prabowo dari Forum Advokasi UGM. Anju menjelaskan bahwa aliansi mencoba membuat simpul pergerakan yang sebelumnya terpecah-pecah menjadi lebih terorganisasi. Ia menyebut bahwa metode pengunggahan tagar di media sosial dipilih sebagai upaya memenangkan dimensi wacana sebelum bergerak ke ranah yang lebih taktis. Untuk membangun eskalasi selanjutnya, Anju menilai bahwa dibutuhkan perasaan senasib sepenanggungan yang dirasakan oleh sesama mahasiswa. “Kita ingin menunjukkan bahwa banyak orang yang resah dan kita semua dalam ‘kapal’ yang sama,” tutur Anju.
Menurut Anju, tagar ini dapat menjadi pemantik bagi mahasiswa untuk menyuarakan bahwa UGM memiliki masalah keuangan yang berdampak bagi mahasiswa. “Dengan adanya tagar yang diunggah pada waktu yang sama, di media yang sama; suara mahasiswa dapat terlihat besar,” ujar Anju.
Tak hanya uang pangkal, mahasiswa juga mengekspos masalah keuangan lain lewat tagar #UniversitasGagalMerakyat. Anju menyoroti banyaknya keluhan mengenai pembiayaan kuliah melalui tagar tersebut. “Banyak teman-teman yang membicarakan masalah Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan masalah heregistrasi lainnya,” jelasnya. Anju berharap dengan kerangka keresahan yang sama, yaitu biaya kuliah, mahasiswa dapat bersama-sama mengawal isu tentang uang pangkal.
Respons yang sama juga disampaikan oleh Sigit. Ia menilai bahwa tagar #UniversitasGagalMerakyat telah mendapat banyak sorotan dari media nasional. Menurutnya, hal itu merupakan dampak yang positif bagi gerakan mahasiswa UGM. Namun, ia menyayangkan sikap rektor UGM yang membatasi kolom komentar di media sosialnya. “Penutupan kolom komentar Ibu Rektor dapat menjadi indikasi bahwa rektor UGM yang tidak mau memberikan ruang bagi mahasiswa untuk memberikan pendapat,” ujar Sigit.
Faza Shiddiq, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM merasa bahwa tagar #UniversitasGagalMerakyat sudah mewakili keresahan mahasiswa. Ia menganggap bahwa keberadaan uang pangkal nantinya akan menimbulkan ketimpangan yang serius kepada akses pendidikan. Baginya, UGM harus mempertahankan syarat yang memungkinkan ketiadaan uang pangkal ke depannya. Sebab, nyatanya hal itu menjadi harapan bagi calon mahasiswa pada tahun-tahun sebelumnya. “Banyak mahasiswa dahulu memilih masuk UGM daripada kampus lain karena tidak ada uang pangkalnya; apakah pilihan tersebut masih relevan nantinya?” tegas Faza.
Tidak hanya memberi respons mengenai tagar #UniversitasGagalMerakyat, Faza juga menambahkan bahwa tagar tersebut menyiratkan pesan kepada rektorat. Baginya, pihak rektorat seharusnya memberikan jawaban yang tegas atas pembatalan pengadaan uang pangkal di UGM. Jika rektorat tak kunjung memberikan tanggapan tegasnya, Faza yakin bahwa keresahan publik di media sosial akan terus memuncak dalam naungan tagar #UniversitasGagalMerakyat. “Keresahan publik nantinya tidak akan terkendali jika rektorat terus berdiam,” ujarnya.
Anju menilai bahwa penindaklanjutan yang akan dilakukan mahasiswa pasca-Gerakan #UniversitasGagalMerakyat akan terus ada. Terlepas ada atau tidaknya respons rektorat atas tagar tersebut, keputusan Aliansi Mahasiswa UGM sudah bulat, yaitu menolak pengadaan uang pangkal. Ia menambahkan bahwa gerakan media sosial Aliansi Mahasiswa UGM akan terus timbul walaupun tidak ada respons dari rektorat. “Mau tidak mau, pihak rektorat harus siap akan adanya gerakan lanjutan untuk menyuarakan pembatalan uang pangkal,” pungkas Anju.
Penulis: Dhestia Arrizqi dan Tiefany Ruwaida Nasukha
Penyunting: Albertus Arioseto
Fotografer: Noor Risa Isnanto