Jumat (13-01), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya bersama Federasi KontraS mengadakan diskusi terbuka bertajuk “Sesat Pikir Presiden dalam Penerbitan Perppu No. 2 Tahun 2022”. Diskusi tersebut berlangsung di Kantor KontraS Surabaya dengan menggandeng Solidaritas Perjuangan Buruh Indonesia (SPBI). Adapun tiga pemantik hadir dalam diskusi kali ini, yaitu Kristianto, perwakilan dari SPBI; Haidar Adam, dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga; dan Andy Irfan Junaedi, Sekretaris Jenderal Federasi KontraS. Diskusi kali ini merupakan respons dari pengesahan Peraturan Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 (Perppu Ciptaker) yang menuai banyak polemik di tengah masyarakat.
Pada sesi pembuka, Haidar mempersoalkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang proses perumusannya berbeda dengan undang-undang pada umumnya. Tak hanya itu, ia juga mempersoalkan alasan pembentukan Perppu pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang hanya menyebutkan “ihwal kegentingan yang memaksa”. Elaborasi dan penafsirannya tidak dijelaskan secara lebih lanjut sehingga alasan pembentukan Perppu ini, menurut Haidar, tidak diatur secara jelas. “Kita tidak bisa membatasi tafsiran presiden terhadap kondisi kegentingan yang memaksa sampai Mahkamah Konstitusi memutuskan tafsiran tersebut,” ungkapnya.
Selain itu, Haidar juga menyebutkan persoalan lainnya dari Perppu ini, yakni proses pembentukannya yang hanya dilakukan oleh presiden. “Perppu itu adalah wilayah eksklusif untuk presiden saja,” jelasnya. Padahal, menurutnya, segala bentuk tata cara perumusan peraturan perundang-undangan seharusnya bersifat partisipatif dan demokratis. Dari situ, Haidar lantas mempersoalkan pemerintah yang seolah-olah memiliki tendensi untuk melampaui segala bentuk tata cara perumusan peraturan perundang-undangan, contohnya dengan pembentukan Perppu Ciptaker ini.
Menyambung Haidar, Andy mencoba mengaktualisasikan permasalahan Perppu ini dengan bercerita tentang pengesahan Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law UU Ciptaker) yang ditolak berbagai aksi massa beberapa waktu lalu. Singkat cerita, lanjutnya, Mahkamah Konstitusi akhirnya memutuskan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat dan memerintahkan pemerintah untuk segera merevisi undang-undang tersebut. Akan tetapi, menurut Andy, alih-alih merevisi, pemerintah justru melanggar konstitusi lagi dengan menerbitkan Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) yang jelas-jelas semakin merugikan hak-hak buruh. “Dulu, masyarakat memang menuntut (pembentukan) Perppu untuk membatalkan Omnibus Law, tetapi bukan Perppu semacam ini!” tegasnya.
Kontroversi dari pengadaan Perppu Ciptaker ini juga menurut Andy berhubungan dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ia mengungkapkan, sejak UU Ketenagakerjaan tersebut disahkan, regulasi tentang ketenagakerjaan setelahnya tidak banyak berubah dari segi substansi. Kemudian, Andy melanjutkan, muncul UU Ciptaker lalu Perppu Ciptaker yang dianggapnya merupakan usaha negara dalam mengurangi pertanggungjawaban terhadap urusan hukum ketenagakerjaan.
Dari berbagai polemik yang ditimbulkan Perppu Ciptaker ini, Andy berpesan kepada para buruh untuk merapatkan barisan serikat buruh. Hal tersebut, menurutnya, dilakukan untuk menciptakan gerakan kolektif sebagai langkah pencegahan dan penanganan apabila terjadi hal-hal yang merugikan akibat pemberlakuan Perppu tersebut. “Negara tidak punya kepedulian terhadap segala hal yang menyangkut keselamatan komunitas buruh, melainkan kepastian kemajuan terhadap investasi,” lanjutnya. Kemudian, Andy juga mengingatkan bahwa resistensi komunitas melalui gerakan kolektif buruh ini menjadi pilihan tunggal untuk memastikan keselamatan para buruh.
Senada dengan Andy, Kristianto juga menyebut pentingnya kepedulian para buruh terhadap serikat buruh. Berdasarkan pengalamannya, hanya sebagian kecil dari rekan kerjanya yang ikut langsung berdinamika di dalam serikat buruh. Padahal, menurut Kristianto, banyak dari buruh yang paham dan mengetahui tentang polemik yang ditimbulkan dari Perppu Ciptaker. “Sayangnya, baru sedikit dari teman-teman buruh yang bergerak dan memberi perhatian terhadap Perppu tersebut,” terangnya.
Pada penghujung diskusi, Andy kembali menekankan agar serikat buruh memperkuat basis organisasi di masing-masing perusahaan. Menurutnya, hal tersebut harus dilakukan guna menghadapi dampak merugikan yang akan ditimbulkan oleh UU dan Perppu Ciptaker terhadap para buruh. Dengan demikian, para buruh nantinya akan memiliki kekuatan tawar-menawar dengan perusahaan dalam menentukan nasib mereka ke depannya yang tertuang dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB). “Kemampuan dalam tawar-menawar PKB sangat penting karena ia akan menjadi instrumen perlindungan terkuat bagi para buruh,” pungkas Andy.
Reporter: Fransicus Xaferius Christnaldi Ramadani
Penulis: Cahya Saputra
Penyunting: Renova Zidane Aurelio
Fotografer: Ryzal Catur Ananda Sandhy Surya