Pada tahun 2014, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 18 tentang Kesehatan Jiwa. Undang-undang (UU) tersebut mengatur hak setiap individu dalam mencapai kualitas hidup yang baik sehingga dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat. Selain itu, UU tersebut disahkan dengan tujuan mengembangkan potensi kecerdasan, memberikan perlindungan, dan menjamin pelayanan kesehatan jiwa bagi Orang Dalam Masalah Kejiwaan (ODMK) atau Orang Dalam Gangguan Jiwa (ODGJ).
Namun, berdasarkan hasil penelitian terbaru Yayasan Emotional Health For All, ditemukan bahwa isu kesehatan mental ternyata masih banyak memakan korban jiwa. Tingkat bunuh diri di Indonesia mencapai empat kali lipat dari angka yang dilaporkan. Hal ini kemudian menimbulkan tanda tanya atas keberlangsungan pelaksanaan UU Kesehatan Jiwa tersebut dan keseriusan pemerintah dalam mengupayakan kesehatan mental di Indonesia.
Berangkat dari permasalahan tersebut, BALAIRUNG berkesempatan mewawancarai Karel Tuhehay, Kepala Departemen Kesehatan Jiwa dan Disabilitas Yayasan SATUNAMA Yogyakarta. Dalam wawancara ini, Karel menuturkan pandangannya mengenai masalah struktural yang ternyata turut membayangi isu kesehatan mental di Indonesia.
Menurut Anda, bagaimana isu kesehatan mental di Indonesia sampai sekarang masih belum dapat tertangani dengan baik?
Ada tiga faktor yang menyebabkan penanganan kesehatan mental kurang baik. Pertama, persoalan sumber daya manusia. Tidak semua pusat layanan kesehatan di masyarakat memiliki tenaga kesehatan psikologi klinis. Kedua, permasalahan anggaran. Kurangnya alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) membuat pemerintah tidak bisa merekrut tenaga kesehatan psikologi klinis untuk menangani persoalan kesehatan mental. Ketiga, stigma negatif masyarakat terhadap orang yang mengalami gangguan jiwa. Faktor lain yang turut menjadi penyebab adalah rendahnya kapasitas fasilitas rehabilitasi. Hal ini lantas berimplikasi pada buruknya penanganan kesehatan mental terhadap pasien.
Lantas, dampak apa yang ditimbulkan dari kurang memadainya penanganan kesehatan mental ini?
Dampaknya, masyarakat jadi tidak menyadari betapa pentingnya menjaga kesehatan mental. Bahkan, sebagian besar masyarakat menganggap isu kesehatan mental adalah hal yang tidak terlalu penting, sampai-sampai mereka juga menormalisasi stres yang terjadi dalam hidup mereka. Lebih jauh, stigma-stigma negatif tentang penanganan kesehatan mental pun juga berkembang di masyarakat. Sebagai contoh, orang yang ingin memeriksakan kesehatan mentalnya malah mendapatkan perundungan dari orang di sekitarnya.
Apa yang seharusnya pemerintah lakukan untuk mengatasi permasalahan kesehatan mental yang berkembang di masyarakat ini?
Pemerintah harus membuat edukasi mengenai kesehatan mental kepada masyarakat, bahkan sejak usia dini. Bila perlu, hal tersebut dimasukkan ke dalam kurikulum pembelajaran di sekolah. Pemberian edukasi ini dapat diterapkan sesuai dengan tingkat pendidikan, sebab kurikulum SD tentu berbeda dengan SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi. Contohnya, pada tingkat Perguruan Tinggi, dibutuhkan unit kegiatan mahasiswa yang menyediakan fasilitas pendeteksian masalah kesehatan mental kepada mahasiswa. Selanjutnya, pemerintah juga perlu memperhatikan aspek penganggaran dana bagi penanganan kesehatan mental. Peningkatan anggaran dana memungkinkan penyediaan tenaga kesehatan psikologi klinis dalam setiap fasilitas layanan kesehatan mental yang ada di masyarakat.
Apakah selama ini sudah ada program jangka panjang dari pemerintah yang berdampak positif terhadap masyarakat yang memiliki masalah kesehatan mental?
Sebenarnya, pemerintah sudah mempunyai program unggulan yang ditujukan kepada masyarakat, yaitu program membangun desa tanggap kesehatan mental. Akan tetapi, program tersebut kurang lebih hanya berjalan satu tahun karena kebijakan penganggarannya dihentikan oleh pemerintah tingkat provinsi, kabupaten, hingga desa. Penghentian penganggaran ini otomatis membuat programnya tidak bisa berlanjut.
Sebuah kebijakan yang dibuat pemerintah biasanya selalu dipandang dari perspektif pemimpin dalam melihat persoalan. Jika pemimpin melihat persoalan kesehatan mental menjadi hal yang penting, maka ia seharusnya akan membuat program-program kerja yang baik untuk menangani masalah kesehatan mental di masyarakat.
Bagaimana Yayasan SATUNAMA yang Anda kelola dapat memosisikan diri di antara pemerintah dan masyarakat dalam penanganan kasus kesehatan mental?
Yayasan SATUNAMA memosisikan diri sebagai mitra dari pemerintah, masyarakat, dan juga organisasi nirlaba. Yayasan SATUNAMA mempunyai Rumah Pembelajaran Kesehatan Jiwa (RPKJ) sebagai tempat rehabilitasi sosial yang menjadi perantara antara rumah sakit jiwa dan masyarakat. Mayoritas yang direhabilitasi di RPKJ adalah rujukan dari Rumah Sakit Jiwa (RSJ) GRHASIA Yogyakarta, yang berada di bawah naungan Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta (Dinkes DIY). Selain itu, Yayasan SATUNAMA juga bekerjasama dengan Dinkes DIY untuk membantu proses rehabilitasi penyintas masalah kesehatan jiwa.
Bagaimana bentuk kegiatan yang dilakukan Yayasan SATUNAMA dalam menggiatkan sosialisasi dan edukasi kesehatan mental kepada masyarakat?
Yayasan SATUNAMA melakukan sosialisasi dan edukasi dalam satu wadah yang sama, yaitu melalui program RPKJ. Kegiatan tersebut dilakukan dengan memastikan kawan-kawan yang berada di RPKJ mendapat pendampingan sosial, medis, dan moral untuk mempercepat proses pemulihan. Selain itu, beberapa tahun yang lalu, Yayasan SATUNAMA juga mempunyai program bernama Desa Siaga yang bertujuan untuk melatih kader agar dapat melakukan evaluasi psikologis terhadap warga desa. Jika seseorang tergolong sehat, ia akan diberi penyuluhan agar jiwanya tetap sehat. Namun, jika seseorang tergolong mempunyai gangguan jiwa, ia harus dipastikan untuk selalu minum obat dan didampingi oleh tenaga ahli di bidang kesehatan mental.
Menurut Anda, solusi apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah struktural kesehatan metal di Indonesia?
Dalam konteks masyarakat, seluruh elemen perlu duduk bersama dan berkolaborasi dalam mengatasi masalah ini. Kemudian, di taraf Pemerintah, mereka harus mampu melibatkan keluarga dan komunitas-komunitas di tingkat masyarakat yang peduli dengan masalah kesehatan mental. Lebih dari itu, program-program yang dibuat pun harus benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang memiliki masalah kesehatan mental. Harus ada kerja sama yang baik antara pemerintah, masyarakat, keluarga, dan organisasi masyarakat sipil.
Penulis: Achtar Khalif Firdausy, Aisha Dinda Hendrika Putri, Dias Nashrul Fatha (Magang)
Penyunting: Yeni Yuliati
Illustrator: Aisya Sabili (Magang)