Kamis (27-10), sekitar 40 masyarakat adat Desa Pantai Raja, Kampar, Riau melakukan lawatan ke Jakarta dalam rangka menyuarakan tuntutan pengembalian tanah adat Pantai Raja yang kini dikuasai oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yakni PT Perkebunan Nusantara (PTPN) V. Bersamaan atas lawatan tersebut, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengadakan konferensi pers bertajuk “Kembalikan Tanah Adat Pantai Raja: BUMN PT Perkebunan Nusantara Berhenti Rampas Tanah Rakyat!”. Beberapa narasumber hadir dalam konferensi pers ini, mulai dari Gusdianto dan Sarimah, perwakilan Masyarakat Adat Pantai Raja, Kampar Riau; Okto Yugo Setiyo, perwakilan dari Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) Riau; serta Boy Jerry Even Sembiring, Direktur Eksekutif (WALHI) Riau.
Pratiwi Febry selaku moderator mengawali konferensi dengan mengungkapkan bahwa konflik masyarakat adat dan PTPN V ternyata sudah terjadi selama lebih dari 38 tahun sejak 1984. Kenyataan ini membuat Gustianto mengatakan bahwa ia sudah lelah dan jengkel sehingga rela datang jauh-jauh dari Riau ke Jakarta. “Kami mau 150 hektar lahan karet yang punya sejarah historis tersebut. Karena di situlah kuburan leluhur kami. Kami tidak mau dijanjikan cari lahan lagi, kami hanya mau dikembalikan,”tuturnya.
Melanjutkan Gustianto, Sarimah mengatakan bahwa masyarakat sudah berkali-kali berusaha mengajukan kasus ini ke pemerintah, tetapi pemerintah justru abai dan bahkan mengkriminalisasi masyarakat. “Pernah suatu ketika masyarakat bawa brondol minyak sawit 15 kilogram malah ditangkap polisi,” imbuhnya.
Mengenai penanganan yang buruk dari pemerintah, Okto mengatakan masalah perampasan tanah rakyat dari tahun 1999 hingga kesepakatan-kesepakatan pada tahun 2019 tidak pernah diindahkan oleh PTPN V. Tindakan ini justru berlawanan dengan instruksi dari Presiden. “Padahal Jokowi pernah menghimbau agar tidak menggunakan hukum untuk menjerat rakyat kecil, tetapi dalam praktiknya ternyata pemerintah abai,” tambahnya. Okto menyampaikan sampai saat ini tidak ada respon dari Kementerian BUMN terhadap masalah ini.
Sependapat dengan Okto, Boy mengatakan jika dilihat dari prosesnya, yang bandel adalah BUMN. Ia menambahkan PTPN pada 1984 mengaku menguasai 150 hektar tanah masyarakat dan sekarang bertambah menjadi 1013 hektar. “Seharusnya Gubernur dan Bupati Kampar ikut serta karena ini menyangkut masalah tanah rampasan dari rakyat,” jelasnya.
Sebagai penutup, Pratiwi mengingatkan bahwa konflik-konflik agraria seperti ini tidak hanya terjadi di Riau, tetapi juga banyak wilayah Indonesia, salah satunya ada di Makassar PTPN XIV. Ia melihat permasalahan masyarakat dengan BUMN menjadi masalah yang tak pernah selesai hingga saat ini. “Kami melihat program reforma agraria yang dikoar-koarkan pemerintah ini adalah bentuk penyelewengan reforma agraria itu sendiri. Kami mempertanyakan peran pemerintah di sini,” pungkasnya.
Penulis: Anindya Verawati, Annisa Luthfia Widya Kusuma, dan Cikal Pasee Uria Timur (Magang)
Penyunting: Ilham Maulana
Fotografer: Allief Sony Ramdhan Aktriadi (Magang)