Ruang digital Indonesia beberapa pekan terakhir riuh dengan adanya aturan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Sebagai turunan dari Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) Nomor 5 Tahun 2020, aturan tersebut mengharuskan sejumlah platform media sosial diwajibkan mendaftarkan diri sebagai PSE Lingkup Privat kepada Kominfo sebelum tenggat waktu tertentu. Jika tidak mendaftar, mereka akan terancam diblokir. Platform yang telah terdaftar diwajibkan bebas dari konten-konten yang dilarang aturan Kominfo. Selain itu, Permenkominfo mewajibkan PSE untuk menyerahkan data jika negara memerlukan. Sekumpulan organisasi pegiat hak-hak digital pun menilai aturan ini dapat mengancam kebebasan berekspresi, berpendapat, dan privasi warga dalam media digital.Â
“Aturan dari PSE Lingkup Privat ini adalah aturan yang dapat mengancam kerja-kerja sipil dalam dunia digital,” ujar Farhanah, perwakilan Kelas Muda Digital dalam diskusi bertajuk “#ProtesNetizen #BlokirKominfo”, Rabu (20-07), lewat platform Twitter Space. Menurutnya, aturan itu memotong mekanisme panjang dalam pengambilan data privasi seseorang. Data seseorang yang seharusnya dilindungi, dapat diambil oleh pihak berwenang dengan mudah.
Selain Farhanah, diskusi juga dihadiri Nenden Arum, perwakilan SAFENet dan Alia Yofira, perwakilan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Diskusi diadakan dan dimoderatori oleh Teguh Aprianto, pendiri Ethical Hacker Indonesia. Teguh menginisasi diskusi ini dilatarbelakangi oleh keresahannya akan pasal-pasal bermasalah dalam Permenkominfo Tahun 2020. “Jika tidak direvisi, peraturan tersebut akan berujung pada kiamat internet Indonesia,” ucapnya.Â
Alia kemudian menjabarkan hasil penelitian ELSAM mengenai pasal-pasal bermasalah dalam Permenkominfo Nomor 5. Ia memulai dengan Pasal 30 yang menyebutkan bahwa pejabat kementerian atau lembaga pemerintahan memiliki akses terhadap sistem elektronik data-data warga yang dipisahkan dengan akses penegak hukum. Menurutnya, pasal tersebut rentan akan penyalahgunaan kekuasan. “Kita tidak dapat menjamin bahwa lembaga tersebut dapat bertanggung jawab dengan akses yang mereka miliki,” ujar Alia.
Selanjutnya, Alia memberi contoh kasus saat data pribadi salah seorang aktivis disebarkan oleh salah satu komisaris perusahaan yang memiliki akses terhadap data. Pada saat itu, aktivis tersebut kerap kali mengkritik program-program pemerintah. Alia khawatir kejadian-kejadian seperti ini terulang lagi. “Masalahnya kita juga tidak punya RUU perlindungan data pribadi di saat peraturan mengenai akses data-data ini diterapkan,” ucapnya.
Menanggapi penjabaran Alia, Farhanah juga menambahkan bahwa Pasal 9 ayat 4 juga bermasalah karena tidak jelas batasnya. Diksi “meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum”, menurutnya, menjadikan pasal tersebut pasal karet yang dapat menyerang siapa saja. Ia heran alasan Indonesia mengikuti jejak Turki dan Venezuela yang lebih dahulu menerapkan peraturan-peraturan yang subjektif seperti peraturan tersebut. Profesi-profesi yang membahayakan bagi pemerintah seperti jurnalis menurutnya adalah yang paling terancam akan peraturan ini.
Kemudian, Alia juga mempertanyakan alasan pemberlakuan Pasal 32 sampai 42 yang menurutnya tidak jelas. Pasal-pasal tersebut menjelaskan bahwa pengambilan data pribadi lewat izin pengadilan hanya berlaku pada tindak pidana paling singkat lima tahun. Tidak adanya izin pengadilan pada tindak pidana di bawah lima tahun, menurut Alia, adalah bentuk pembatasan hak atas privasi. “Praktik pelaksanaan pengambilan data pada terduga kriminal haruslah sesuai dengan standar-standar hak asasi manusia secara universal,” sambungnya.
Menanggapi hal tersebut, Teguh sepakat bahwa pengambilan data pada tindak pidana haruslah sesuai dengan hukum internasional. Pengambilan data harus melalui proses mekanisme panjang lewat prosedural pihak pengadilan. Ia memberi contoh kasus yang terjadi di Amerika Serikat saat FBI meminta Apple untuk memberi data pelaku terorisme. Namun, Apple menolak dan tetap menjaga privasi penggunanya. “Ini menunjukkan bahwa pengambilan data pribadi seseorang merupakan hal yang serius, ini sudah menyangkut hak asasi seseorang sebagai individu,” pungkasnya.
Penulis: M. Fahrul Muharman
Penyunting: Renova Zidane Aurelio
Ilustrator: Rafi Fahrezi