Tak lama setelah kejatuhan Orde Baru, gerakan yang dipelopori entitas mahasiswa sering kali dituding telah mencapai antiklimaks. Stigma ini muncul lantaran gerakan dinilai abstain menjaga keberlanjutan agenda setelah Reformasi bergulir. Alhasil, perjuangan mahasiswa dianggap tak lebih dari reaksi spontan demi memuaskan hasrat avonturisme. Melalui Rubrik “Wawancara Tema” BALAIRUNG No. 28/Th. XIII/1998 dengan judul asli “Perjuangan Demokratik Butuh Massa Terorganisir”, Edward Aspinall menyebut gerakan butuh massa terorganisisasi untuk menciptakan kondisi matang. Berikut arsip tulisan itu.
Saat ini yang diperlukan adalah adanya aliansi rakyat dengan gerakan mahasiswa. Nah, kondisi apa yang mensyaratkan terbentuknya aliansi rakyat tersebut?
Kesalahan paling fatal dari gerakan pro-demokrasi adalah lemahnya organisasi. Peluang ini yang kemudian diperankan oleh gerakan mahasiswa. Maka jelas peranan mahasiswa di sini besar. Karena organisasi di tingkat masyarakat seperti ormas-ormas yang ada sekarang lemah. Reformasi untuk menciptakan demokratisasi harus membangun organisasi di massa rakyat.
Jika yang harus dikerjakan adalah aliansi kerakyatan, bukankah perpecahan di gerakan mahasiswa akan membangkitkan semangat demokrasi? Dalam artian, ada pluralitas wacana yang terbentuk di kalangan mahasiswa. Apakah perpecahan tersebut merupakan kemajuan atau kemunduran bagi demokrasi?
Bukan dilihat sebagai kemunduran atau kemajuan, melainkan sesuatu yang sangat biasa dalam masyarakat, karena mahasiswa pun berbeda-beda.
Dalam konteks Indonesia, kita biasa melakukan penyeragaman. Namun, tak jarang realitas berhadapan dengan heterogenitas wacana di tingkat mahasiswa. Apakah demonstrasi-demonstrasi bisa dikatakan sebagai konsekuensi logis dari pluralitas wacana yang dibangun oleh mahasiswa?
Bisa dikatakan demikian. Bisa dikatakan merupakan konsekuensi logis dari masyarakat yang selama ini menghadapi penyeragaman. Sedangkan penyeragaman merupakan akibat dari policy pemerintah yang diinstitusionalkan. Maka, bisa dikatakan hegemoni negara otoriter dilemahkan dengan heterogenitas wacana. Heterogenitas ini merupakan syarat dalam cara berpikir demokratis.
Apakah mahasiswa dapat memiliki kesadaran sama dalam rangka aliansi rakyat?
Saya rasa kebersamaan itu bisa terbentuk jika ada musuh bersama. Sekarang ini situasinya serba tidak jelas sehingga lebih sulit menciptakan kebersamaan. Namun, bila di kemudian hari ada musuh bersama dari kekuatan-kekuatan lama yang bersatu lagi, maka akan muncul kebersamaan itu.
Apakah jatuhnya Soeharto merupakan satu-satunya alasan mengapa mahasiswa bergerak?
Ya, itu sebagai alasan nomor satu. Tetapi, terdapat alasan lain.
Namun, setelah Soeharto turun, bukankah yang terjadi antiklimaks gerakan mahasiswa? Artinya, kejatuhan Soeharto justru mengebiri mahasiswa. Bagaimana menurut Anda?
Saya kira mengapa gerakan mahasiswa kemudian berhenti karena banyak faktor. Memang bagi mahasiswa yang telah terjun lama ke politik dan memiliki ideologi tertentu, maka gerakan mahasiswa sekarang bisa dikatakan melemah. Namun, untuk mahasiswa yang baru beberapa bulan terakhir terjun dalam politik, perlu memetakan dulu langkah dan peran mereka. Apalagi kelompok-kelompok mahasiswa yang ada harus menentukan langkah untuk gerakan rakyat sekarang dan itu yang sedang dilakukan.
Apakah peranan terbesar gerakan mahasiswa sebelum kejatuhan Soeharto?
Saya kira mahasiswa berperan sebagai pendobrak kebekuan dan belenggu politik selama ini. Artinya, bahwa mahasiswa dengan perjuangan yang cukup gigih berhasil. Memang terjadi krisis politik di Indonesia dan mahasiswa bisa memicu suatu dan gerakan massa di beberapa kota yang lebih besar. Jadi, peranan mahasiswa sebagai pelopor. Sedangkan fondasi gerakan mahasiswa itu sendiri ada, tetapi sekarang sedang diuji.
Asumsi yang kami bangun selama ini adalah fondasi gerakan mahasiswa hanya gerakan spontan yang bersifat normatif. Apakah people power sebagai gerakan kerakyatan pernah ada di Indonesia?
Sebetulnya, proses kejatuhan Soeharto agak berbeda dengan negara-negara Amerika Latin. Kalau di negara lain, pemakzulan disebabkan oleh pecahnya elite kekuasaan antara kelompok soft lines dan kelompok hard lines. Soft lines melakukan pendekatan pada kelompok oposisi moderat dan akhirnya dihasilkan demokratisasi moderat. Maka, di Indonesia lebih merupakan kebangkitan masyarakat sipil yang memicu proses perubahan. Faktor perpecahan di kalangan elite hampir tidak berperan. Kalau pada saat-saat krisis terjadi perpecahan elite, itu hanya sebagai reaksi atas kebangkitan arus bawah. Sehingga, bisa dikatakan gerakan mahasiswa sangat besar peranannya untuk kejatuhan Soeharto.
Ada anggapan bahwa apa yang dilakukan mahasiswa tidak lebih dari avonturisme politik karena kebutuhan-kebutuhan eksistensialisme. Sehingga hanya bersifat fun-fun politik. Kemudian, bagaimana anggapan ini berhadap-hadapan anggapan dengan gerakan mahasiswa yang membangkitkan people power?
Memang gerakan mahasiswa bersifat spontan. Kalau ada unsur fun, wajar saja. Namun, jika itu kemudian digunakan untuk merendahkan gerakan mahasiswa kalau hanya bersifat fun, saya rasa tidak bisa. Karena jika hanya berdasar fun, maka gerakan mahasiswa tidak akan muncul seperti saat ini.
Apakah bisa dikatakan fun ini karena akumulasi krisis dan kebijakan elite?
Ya, sebenarnya orang turun ke lapangan politik dengan berbagai macam alasan. Sebagian besar mahasiswa yang terlibat gerakan mahasiswa masih baru sehingga bisa dikatakan terjadi karena akumulasi krisis. Namun, di balik yang terjadi di permukaan, ada penguatan-penguatan kekuatan sendiri.
Bagaimana perbedaan pemaknaan antara people power di Filipina sebagai revolusi sedangkan di Indonesia dimaknai dengan Reformasi? Apa kemungkinan ke depan?
Saya kira kalau istilah Reformasi dipakai untuk menghindari pukulan berat dari kelompok militer. Kalau di Filipina, revolusi itu sebenarnya juga hanya pergantian elite, karena sesudah Cory Aquino naik yang terjadi adalah proses reformasi. Kalau revolusi itu diartikan sebagai perubahan yang cepat dan dahsyat. Jadi saya kira disebabkan kekuatan oposisi Indonesia lebih lemah daripada di Filipina dalam mengambil alih kekuasaan rezim lama. Sedangkan Cory Aquino punya sumber kekuatan sendiri.
Nah, kalau sesudah itu terjadi semacam ketidakjelasan karena Indonesia saat ini masih dalam keadaan euforia. Semua kelompok elite menjadi yang paling pro-Reformasi. Namun, kalau di kemudian hari krisis ekonomi makin gawat begini, kekuatan-kekuatan elite ini akan semakin berani. Apalagi kalo dwifungsi ABRI direformasi. Selama kekuatan bersenjata punya peluang untuk masuk politik, selalu ada ancaman yang membayangi proses reformasi politik. Juga fenomena yang akan muncul di kemudian hari adalah kelas menengah yang sering terjadi di dalam demokrasi. Terjadi euforia politik sehingga muncul kelas-kelas bawah seperti kaum miskin, buruh kota, gejolak desa kemudian sebagian besar dari kalangan menengah yang sebelumnya melawan rezim otoriter menjadi takut.
Kok bisa jadinya begini? Adanya tekanan dari bawah menyebabkan mereka terancam. Sebagian kekuatan-kekuatan politik yang mewakili kelas menengah malah mundur. Artinya beraliansi dengan sisa kekuatan lama. Contohnya kasus Korea 1987. Terjadi gerakan mahasiswa yang cukup besar dan kelas menengah ikut. Tapi kemudian terjadi pemogokan buruh yang besar juga. Waktu itu kelas menengah menarik kembali dukungan dan malah yang menang partai mewakili rezim lama. Untuk Indonesia, saya bisa bayangkan sebagian dari partai-partai politik yang selama ini digolongkan bagian dari masyarakat sipil seperti Muhammadiyah akan beraliansi dengan Golkar.
Bisakah kita menggugat sifat spontan dari people power Indonesia?
Ya, kalau menggugat tidak ada gunanya juga. Namun, perlu langkah-langkah konkret supaya spontanitas bisa dipertahankan dalam bentuk permanen yaitu dalam bentuk lembaga. Itu yang diperjuangkan mahasiswa sehingga tidak menjadi gerakan spontan. Namanya juga spontan, perlu program. Dan perjuangan demokratik membutuhkan massa terorganisasi untuk menciptakan kondisi yang matang. [Melanie dan Prasad]
Ditulis ulang dengan penyuntingan oleh Han Revanda Putra, Marshanda Farah Noviana, dan Naufal Ridhwan Aly.