Secara umum, komersialisasi pengetahuan atau hasil penelitian menjadi tantangan tersendiri dalam dunia akademis, terlebih lagi pada negara-negara berkembang seperti Indonesia. Pasalnya, kalangan akademisi maupun masyarakat awam kerap kesulitan dalam mengakses berbagai hasil penelitian karena biaya akses yang sangat mahal. Misalnya, biaya untuk mengakses jurnal pada penerbit Elsevier bekisar $19.95 – $41.95 atau sekitar Rp279.000 sampai dengan Rp587.000. Adanya komersialisasi pengetahuan dan keterbatasan dalam mengakses produk sains inilah yang menjadi pendorong kemunculan gerakan sains terbuka.
Untuk memahami serba-serbi gerakan sains terbuka, Balairung berkesempatan untuk mewawancarai Dasapta Erwin Irawan pada Senin (1-11). Dia adalah pegiat gerakan sains terbuka di Indonesia sekaligus dosen di Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian di Institut Teknologi Bandung. Wawancara ini bertujuan untuk mengenal lebih dalam mengenai maksud dan arah gerakan sains terbuka serta tantangan dalam membumikannya.
Apa yang Anda maksud dengan gerakan sains terbuka?
Pada dasarnya, istilah ini mengacu pada pemaknaan sains secara hakiki. Jadi, tambahan kata “terbuka” tidak diperlukan sebab sains dan produknya memang seharusnya dapat digunakan oleh publik. Data dan metodenya juga harus dapat diakses oleh publik sehingga bisa diulang oleh orang lain. Hal ini juga berkaitan dengan tujuan awal sains, yaitu memberikan solusi pada ragam masalah yang dihadapi oleh umat manusia.
Lantas, apa contoh konkret dari gerakan sains terbuka?
Salah satu contoh terbaru terjadi pada pertemuan ilmiah tahunan di Perhimpunan Ahli Air Tanah Indonesia (PAAI). Pada pertemuan tersebut, saya meminta audiens untuk mencoba mencari hasil-hasil penelitian mereka yang pernah ditayangkan di PAAI. Ternyata, hasilnya adalah nihil, kecuali hasil penelitian terbitan tahun 2016 sewaktu pertemuan ilmiah yang pertama.
Sebab, pada tahun tersebut, saya meminta beberapa audiens untuk mengirimkan hasil penelitiannya ke tempat penyimpanan (repository) di osf.io. Dari tautan ini, saya berhasil menemukan hasil penelitian para audiens yang diunggah beberapa tahun lalu secara lengkap. Temuan inilah yang menjadi salah satu bukti bahwa sekarang banyak orang yang melakukan kegiatan bermanfaat, tetapi menyia-nyiakan waktu. Maksudnya, para peneliti kerap melakukan penelitian yang bermanfaat, tetapi hasil penelitiannya cenderung sulit ditemukan oleh orang lain. Fenomena ini justru kontradiktif dengan cita-cita utama sains, yakni kebermanfaatan dan keterbukaan pada publik.
Kalau begitu, apakah perpustakaan bayangan, seperti Sci-Hub dan Library Genesis juga merupakan manifestasi dari gerakan sains terbuka?
Menurut saya, pada level tertentu, kedua situs tersebut merupakan manifestasi sains terbuka. Sebab, kehadiran situs tersebut merupakan wujud ketidakpuasan seseorang, baik sebagai konsumen maupun produsen ilmu, yang tidak dapat mengakses kembali hasil penelitian atau artikelnya. Namun, pada beberapa level yang ekstrem, situs-situs tersebut memang kurang etis.
Pasalnya, sewaktu seseorang menerbitkan artikelnya melalui lembaga penerbit, seperti Elsevier atau Nature, mereka telah menandatangani perjanjian pengalihan hak cipta (copyright transfer agreement) secara sadar dari peneliti ke penerbit. Adanya kontrak tersebut membuat akses secara ilegal dapat dikategorikan sebagai pencurian. Oleh karena itu, saya tidak pernah menyarankan penggunaan perpustakaan bayangan kepada publik.
“Pada level tertentu…”. Sejauh mana level gerakan sains terbuka akan diterapkan?
Pada dasarnya, sains terbuka ingin meluaskan wawasan mengenai hak-hak atas materi artikel atau hasil penelitian. Maksudnya, karya penelitian dapat diunggah ke berbagai platform sesuai keinginan peneliti. Dengan catatan, unggahan dilakukan selama belum terjadi penandatanganan perjanjian pengalihan hak cipta dengan penerbit sehingga dapat diakses oleh publik secara luas. Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa terdapat rasa gengsi di antara para peneliti apabila karyanya berhasil dipublikasikan oleh penerbit yang dianggap sebagai lembaga penerbitan tingkat atas (top-tier).
Terkait hak cipta, bukankah hak tersebut menjadi salah satu kehendak bebas peneliti guna mendapat royalti dari hasil penelitiannya?
Dalam penerbitan akademis secara tertutup, misalnya di Penerbit Springer dan Nature, tidak ada istilah royalti. Walaupun Anda dapat menerbitkan secara gratis dan pembaca perlu membayar aksesnya, Anda tetap tidak mendapatkan royalti. Jadi, ada perbedaan antara penerbitan makalah hasil penelitian dengan buku. Lebih lagi, imbalan yang diterima oleh peneliti bukanlah royalti, melainkan pengakuan, kredit, dan perasaan gengsi.
Menurut saya, ragam proses dalam penerbitan makalah, seperti peninjauan, penyuntingan, ataupun perancangan tata letak tulisan, dapat dilakukan secara mandiri oleh peneliti. Maksudnya, peneliti dapat mengirimkan makalahnya ke peneliti lain untuk mendapatkan tinjauan. Namun, realita berkata lain. Ada perasaan gengsi yang membuat kebanyakan peneliti ogah mengambil langkah mandiri. Mereka, para peneliti itu, berasumsi bahwa peninjau yang disediakan lembaga penerbitan lebih kapabel. Asumsi inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh industri penerbitan untuk melanggengkan bisnisnya.
Lalu, bagaimana tanggapan Anda terhadap peneliti yang memilih untuk menerbitkan karyanya secara berbayar?
Menurut saya, pilihan tersebut tidaklah menjadi masalah asalkan peneliti memahami hak-haknya atas materi dan hasil penelitian sebagaimana penjelasan sebelumnya. Namun, perlu diingat bahwa penelitian kerap bermula dari permasalahan di sekitar masyarakat yang didanai oleh negara, lembaga penelitian, ataupun universitas. Lantas, apakah masyarakat juga mengetahui atau membaca hasil penelitian tersebut? Saya rasa sangat kecil kemungkinan bahwa masyarakat awam mau membayar demi akses jurnal atau hasil penelitian tersebut. Jadi, gerakan sains terbuka tidak peduli dengan perkara prestise yang ingin didapat dari publikasi hasil penelitian pada lembaga penerbitan tertentu. Orientasi gerakan ini adalah menjadikan penelitian dan publikasi harus dari rakyat dan untuk rakyat.
Perihal orientasi pada rakyat. Sebenarnya, mengapa rakyat harus peduli dengan gerakan sains terbuka?
Dalam hal ini, saya melihat publik sebagai konsumen dan produsen. Sebagai konsumen, dalam gerakan sains terbuka, publik dapat menuntut para peneliti untuk membumikan hasil penelitiannya kepada khalayak umum. Sebagai produsen, sekarang dikenal istilah sains warga (citizen science), seperti pengamat bintang ataupun pencari fosil amatir. Dari sini, warga dapat turut terlibat dalam memperluas akses terhadap pengetahuan. Dengan begitu, baik sebagai konsumen maupun produsen, rakyat akan menjadi lebih berwawasan dan berjalan dengan otak yang penuh pengetahuan.
Apa tantangan dalam membumikan gerakan sains terbuka?
Menurut saya, tantangan utamanya adalah ego para peneliti bahwa tujuan penelitiannya hanya demi gengsi sebagai 2% peneliti puncak di level global. Bukan untuk menyelesaikan persoalan di masyarakat sebagaimana hakikat sains. Hal yang paling menakutkan adalah apabila ego ini disuburkan melalui doktrin-doktrin yang diberikan oleh peneliti senior atau promotor yang secara tidak langsung menumbuhkan ego pada peneliti muda. Dengan demikian, pewarisan paham inilah yang menjadi tantangan terbesar bagi gerakan sains terbuka.
Ke depannya, apa langkah yang dapat dilakukan untuk merealisasikan cita-cita gerakan sains terbuka?
Gerakan ini perlu digaungkan di tingkat akar rumput, seperti peneliti pemula, mahasiswa, bahkan pelajar. Keberpihakan sains terbuka kepada rakyat juga perlu ditekankan. Selain itu, komunitas peneliti perlu diyakinkan bahwa sains terbuka adalah jawaban untuk pengembangan ilmu pengetahuan yang berkelanjutan. Hal ini bisa dilakukan lewat forum-forum peneliti nasional ataupun internasional. Contohnya adalah partisipasi saya dalam The Future Research Communication and e-Scholarship 11 yang bertujuan menyusun panduan bagi para peneliti dalam bernegosiasi dengan penerbit komersial. Negosiasi tersebut menekankan pada hak-hak peneliti untuk dapat mengakses semua karya ilmiah secara bebas, terbuka, dan cepat. Termasuk data dan konten tambahan untuk keperluan riset.
Selain menggaungkan gagasan, para pihak yang terlibat dalam perkembangan sains perlu didorong untuk melakukan refleksi. Setidaknya terdapat dua pertanyaan yang perlu direfleksikan, yaitu kenapa kita melakukan penelitian dan untuk siapa penelitian ini dilakukan. Melalui refleksi ini, diskursus gerakan sains terbuka akan berkembang dan meluas.
Penulis : Achmad Hanif Imaduddin
Penyunting : Ardhias Nauvaly Azzuhry
Ilustrator : Samuel Johanes