Meski kerap didaulat sebagai gerakan moral, dalam sejarahnya gerakan yang dipelopori oleh mahasiswa tidak jarang berkelindan dengan kepentingan politik elite tertentu. Pada masa Orde Baru, beberapa pengamat menilai aksi 1974 dan 1978 merupakan implikasi dari adanya pertikaian politik elite di bawah Presiden. Hal ini disinyalir sebagai keberlanjutan setelah berhasilnya metode partnership antara mahasiswa dan militer pada 1966. Dalam kesempatan ini, BALAIRUNG menerbitkan ulang artikel berjudul asli “Mahasiswa dan Politik” yang pernah dimuat dalam rubrik Laporan Khusus Majalah BALAIRUNG No. 12/Th. IV/1990. Berikut artikelnya.
Sesuai dengan strategi partnership yang dijalankan pada awal 1966, kelompok militer memberikan kesempatan kepada berbagai kesatuan aksi mahasiswa untuk berperan sebagai ujung tombak Orde Baru. Dengan radikalisme tersebut, munculnya Orde Baru jadi lebih mudah.
Pengertian partnership ini agak kabur. Untuk militer, kata itu berarti mencapai tujuan mereka berkat persekutuan dengan mahasiswa, yang dapat mereka manfaatkan bila perlu. Sebaliknya, buat para aktivis ‘66, partnership merupakan satu persenyawaan, meskipun hubungannya tidak perlu seimbang. Mereka memiliki keberanian untuk mengkritik bahkan melakukan tindakan radikal terhadap rezim lama seperti yang terjadi pada 1966. Partnership dengan militer inilah yang menyebabkan keberhasilan gerakan mahasiswa angkatan ‘66.
Oleh karena itu, tidak heran apabila kemudian beredar pandangan bahwa aksi-aksi sekitar tahun 1966 merupakan bagian dari grand design militer dalam rekayasa politik nasional. Pun tidak perlu heran juga kalau kemudian keberhasilan angkatan ‘66 itu sering mendapat cemoohan dari generasi berikutnya.
“Waktu itu tidak ada perasaan bahwa kami digunakan oleh tentara, atau tentara merasa digunakan oleh sipil,” kata Cosmas Batubara ketika ditanyakan perihal hubungan antara militer dan mahasiswa ketika pecah aksi 1966. Menurut Cosmas, kondisi negara setelah peristiwa G-30-S sangat tidak menguntungkan. Semua pihak menuntut keadilan, sementara Bung Karno tidak mengambil tindakan apa-apa.
“Dalam rangka menuntut keadilan inilah kami semua bergabung. Ada seniman, mahasiswa, ulama, dan angkatan bersenjata. Kami hampir tidak mempunyai batas. Yang membatasi hanya posisi masing-masing. Tetapi kita adalah satu gerakan dalam ide, yakni perlu adanya Orde Baru,” jelas Cosmas Batubara.
Sarwono Kusumaatmaja mengetengahkan hal yang senada. “Kebetulan kita sama berkesimpulan, kita bisa selamat kalau berpedoman pada UUD 1945,” katanya. Bagi Sarwono, merupakan hukum alam bahwa yang lemah dikendalikan oleh yang kuat. Dengan demikian, apakah ini berarti gerakan mahasiswa dikendalikan oleh pihak tertentu? “Saya tidak mengatakan mahasiswa dikendalikan oleh ABRI. Hukum alam memang demikian, yang lemah dikendalikan yang kuat. Nah, yang kuat itu siapa? Itu dinamis pengertiannya, tidak hitam-putih,” ujar Sarwono.
Menurut Cosmas, masalah tunggang-menunggangi yang selalu dilekatkan pada setiap gerakan massa tidaklah perlu diperdebatkan, karena hal itu sudah merupakan hukum yang obyektif. Peristiwa 1966 adalah contoh gerakan yang saling memanfaatkan di antara pihak-pihak yang terlibat.
Menurut Sarwono, gerakan massa yang bertujuan menggulingkan kekuatan harus mempunyai mitra yang tangguh. Lain halnya dengan gerakan sosial. Tidak perlu mitra, tetapi cukup dengan hati nurani dan mesti sanggup memperlihatkan tidak mempunyai interest pribadi maupun kelompok. Menurut Sarwono, gerakan massa perlu mitra. Sebab jika tidak, gerakan rentan dipolitisasi. “Kalau yang mempolitisasi kuat, alhamdulillah. Bisa menang. Kalau lemah, korban kita,” tandas Sarwono.
Cosmas memperhatikan sistem yang tidak berfungsi untuk menyalurkan aspirasi kelompok-kelompok yang ada sebagai penyebab munculnya istilah tunggang-menunggangi. Sejak sebelum Proklamasi, mahasiswa selalu memegang peranan sebagai penggerak untuk melawan sistem politik yang stagnan itu. “Pokoknya kalau ada stagnasi politik, gerakan mahasiswa pasti keluar,” tandasnya.
Apakah ini berarti tengah terjadi stagnasi politik sekitar tahun 1974 dan 1978, karena pada saat itu sempat muncul aksi-aksi mahasiswa? Lebih lanjut Cosmas mengemukakan, dalam sistem politik yang stagnan, sangat diperlukan perombakan politik. Perombakan itu dilakukan secara terarah dan berencana menuju adanya sistem politik yang berfungsi baik. Inilah yang dinamakan pembangunan politik. Pembangunan politik ini telah dilakukan oleh gerakan ‘66 dan dilanjutkan secara konsekuen oleh Soeharto sebagai presiden.
Namun, ternyata generasi muda waktu itu melihat jalannya pembangunan tidak sebagaimana mestinya, sehingga timbul aksi-aksi tahun 1974 dan 1978. Cosmas menyatakan, generasi muda waktu itu kurang sabar dan melihat pembangunan berjalan lamban. “Padahal, pembangunan itu memerlukan proses yang panjang,” jelasnya.
Karena itu, Cosmas tidak setuju dengan aksi-aksi 1974 maupun 1978. “Saya sendiri sudah bilang sama Hariman Siregar (Ketua Dewan Mahasiswa UI 1974–red) sewaktu diskusi di UI. Setelah 1966 sebaiknya kita tidak melakukan lagi kegiatan massal. Saya bilang, ini tidak benar,” cerita Cosmas. “Saya tidak setuju dengan demonstrasi, meskipun dulu saya tokoh demonstran,” tambahnya.
Sarwono melihat aksi-aksi tahun 1974 dan tahun 1978 sebagai gerakan yang tidak mempunyai konsep pasti dan utuh. Begitu juga dengan aksi-aksi tahun 1966 sendiri. “Kalau dibilang aksi-aksi tahun 1966 itu mempunyai konsep, yaitu Tritura. Itu namanya pemitosan, abstraksi,” ujarnya. “Tritura itu kan semboyan perjuangan untuk menyatukan semua potensi yang ada,” tambah Sarwono.
Dengan aksi-aksi akan terlihat permasalahan yang diungkap menjadi lebih nyata dan spesifik. Aksi-aksi 1966, masih menurut Sarwono, umumnya membahas apakah Indonesia menjadi negara Islam, federal, atau Pancasila. Sedang aksi-aksi 1988 dan 1989 mempermasalahkan dampak-dampak pembangunan, misalnya Kedungombo dan Kacapiring. Mengenai aksi-aksi mahasiswa belakangan ini, Cosmas melihatnya tidak perlu terjadi, karena yang penting adalah bagaimana mendorong sistem politik agar lebih berfungsi untuk menjawab persoalan-persoalan masyarakat. “ini tidak bisa dilakukan dengan demonstrasi.”
“Kita harus berbuat, jiwa angkatan ‘66 harus menjadi inspirasi kita,” ujar Hatta Albanik, Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Pajajaran dan Hariman Siregar pada malam tirakatan menjelang tahun baru 1974. Pejabat tinggi dan orang-orang Cina dianggap sebagai penanggung jawab situasi. Seruan-seruan dilancarkan kepada tukang becak dan para penganggur. Sedang para buruh di Tanjung Priok melalui seorang wakilnya menyampaikan dukungannya kepada mahasiswa.
Tanggal 9 Januari para mahasiswa melakukan demonstrasi menentang Asisten Pribadi (Aspri) dan Jepang. Di Bandung dan Jakarta, boneka-boneka yang menggambarkan diri Sudjono Humardhani dan Perdana Menteri Jepang, Tanaka dibakar. Mahasiswa melanjutkan gerakan bahkan melipatgandakannya. Tanggal 14 Januari, mahasiswa demonstrasi di lapangan terbang Halim Perdanakusuma sebagai protes terhadap kedatangan Tanaka. Kontak antara demonstran dengan tamu dari Jepang itu tidaklah terjadi. Oleh karenanya, frustrasi dan suhu meningkat. Tanggal 15 Januari pecahlah Malapetaka 15 Januari atau Makar 15 Januari yang kemudian dikenal dengan Malari.
Yang menjadi pertanyaan kemudian setelah peristiwa Malari itu adalah kenapa Aspri dijadikan sasaran protes mahasiswa, dan kenapa Perdana Menteri Jepang, Tanaka menjadi penarik picu pecahnya aksi makar yang sempat menewaskan sembilan nyawa dan merusak bangunan Pasar Senin serta menghancurkan sejumlah kendaraan bermotor itu?
H.C. Princen dan Fauzi Ridjal: Pasti Ada Infiltrasi
Banyak pengamat bilang peristiwa huru-hara 1974 itu tidak lepas dari persaingan politik tingkat elite yang terjadi saat itu dengan sengit. Interpretasi politik menyatakan, bahwa sejak 1972 mulai terlihat pertentangan pengaruh yang berlangsung di sekitar Presiden. Ada dua kelompok yang sedang bersaing untuk mendapat perhatian Presiden, dan memaksakan strategi ekonomi mereka, paling tidak dominasi politik mereka.
Di satu pihak ada Jenderal Ali Murtopo dan Aspri yang memilih strategi pembangunan ekonomi dengan model Jepang. Di pihak lain terdapat kelompok yang antara lain didukung oleh Jenderal Sumitro yang memilih strategi pembangunan ekonomi dengan model Amerika. Persaingan antara kedua jenderal itulah yang acapkali ditunjuk pengamat sebagai arus yang membawa pecahnya Peristiwa Malari.
“Saya selalu ditanya oleh anak buah Jenderal Sumitro mengenai hubungan saya dengan Jenderal Ali Murtopo,” kata H.C. Princen ketika ditanya perihal hubungan Peristiwa Malari dengan kedua jenderal tersebut. Tokoh pembela hak-hak asasi manusia yang sempat dituduh menjadi penggerak aksi huru-hara 15 Januari 1974 ini mengaku kenal baik dengan Ali Murtopo. “Namun, itu bukan berarti ia satu aspirasi politik dengan saya,” tambahnya.
Lalu bagaimana dengan unsur-unsur penunggangan terhadap mahasiswa seperti yang dituduhkan Jenderal Ali Murtopo beberapa saat setelah peristiwa itu? Dalam buku Fakta, Analisa Lengkap dan Latar Belakang Peristiwa 15 Januari 1974 yang ditulis oleh seorang yang dekat dengan Ali Murtopo menyatakan bahwa demonstrasi murni dari mahasiswa itu telah dibelokkan dari tujuan semula.
“Gerakan mahasiswa itu bisa berupa iceberg, bongkahan es raksasa,” ujar Princen. “Biasanya yang di bawah permukaan air lebih besar dari yang di atas,” tambahnya. Menurut Princen, bagian bawah yang tidak tampak inilah yang biasanya ada ‘permainan’. “Bagian ini tidak bisa terkontrol, dan memungkinkan terjadinya tunggang-menunggangi,” jelas Princen lagi.
Bagi Princen, gerakan mahasiswa itu tidak pernah independen. Angkatan ‘66 sudah cukup jelas hubungannya dengan kelompok militer. “Gerakan ‘74 pasti ada infiltrasi, ada mahasiswa yang digunakan, tetapi tidak semuanya,” ujarnya. Princen bahkan menganggap gerakan ‘78 merupakan ciptaan pihak militer. “Ya, pada waktu itu ‘kan ada usaha dari sebagian militer untuk menggagalkan Sidang Umum MPR 1978,” tuturnya tanpa mau menjelaskan lebih lanjut.
Sementara menurut Fauzi Ridjal gerakan mahasiswa tahun 1970-an menunjukkan adanya independensi, karena pada saat itu tengah terasa kerenggangan antara kehidupan kampus dengan dinamika politik di luar kampus. Kampus menjadi lebih bebas dari campur tangan organisasi ekstrakampus atau partai politik.
Aktivis mahasiswa tahun 1970-an ini menunjuk terpilihnya Hariman Siregar sebagai Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia sebagai momentum bebasnya kampus dari kekuatan luar kampus. “Hariman Siregar adalah orang pertama semenjak Orde Baru yang tidak mewakili organisasi ekstrakampus besar,” jelas Ketua Yayasan Perpustakaan Hatta ini. “Dia bukan HMI,” tambah Fauzi yang pernah aktif dalam Gerakan Mahasiswa Sosialis Yogyakarta.
Ditanyakan tentang keterkaitan aksi mahasiswa ‘74 dengan konflik politik tingkat elite, Fauzi malah meragukan interpretasi politik tersebut. “Apa benar ada konflik politik tingkat elite?” tanya Fauzi. “Bagaimana cara mengukurnya? Tidak ada pernyataan politik dari mereka. Dan secara yuridis formal, tidak ada konflik itu, kan?”
Sementara mengenai masalah tunggang-menunggangi, Fauzi mengaku lebih suka dengan istilah kerja sama. Setiap orang mempunyai kepentingan yang sama. Kepentingan jangka pendek dapat terjadi setiap waktu, tergantung penilaian isu yang muncul. “Jadi tunggang-menunggangi itu tidak aneh,” ujarnya.
Senada dengan Princen, Fauzi menyatakan gerakan mahasiswa bisa ditunggangi. Memang secara umum orang selalu mengatakan mahasiswa sering ditunggangi, sebab potensinya lemah. Tidak punya aset politik dan tidak punya aset keuangan. “Karena itu, gerakan mahasiswa mudah sekali dioperasikan dengan bantuan ini, bantuan itu,” kata Fauzi lagi.
Pada pertengahan tahun 1976, tengah meluas berita-berita yang mengungkapkan adanya skandal-skandal tertutup di kalangan pejabat tinggi, korupsi, dan penyelewengan kekuasaan. Mahasiswa secara kritis menelaah kasus-kasus tersebut. Pelaksanaan Pemilihan Umum 1977 yang dinilai tidak adil disusul munculnya isu kepemimpinan nasional menjelang Sidang Umum MPR 1978 merupakan faktor-faktor yang mendorong timbulnya aksi-aksi mahasiswa di berbagai kota besar di Indonesia.
Dalam melakukan aksinya, mahasiswa membentuk federasi di antara Dewan Mahasiswa, yang merupakan organisasi legal di tingkat perguruan tinggi. Federasi ini membuat beberapa ikrar, misalnya Ikrar 1 Oktober 1977 (Bogor) dan Ikrar 28 Oktober 1977 (Bandung). Pertemuan Dewan Mahasiswa se-Indonesia di Surabaya, 10 November 1977 akhirnya diteruskan dengan aksi turun jalan menuju Taman Makam Pahlawan.
Di berbagai kota besar juga berkecamuk demonstrasi mahasiswa. Di Jakarta, mahasiswa keluar dengan isu pemerataan, menolak kebijakan ekonomi yang tidak adil. Misalnya, mengenai BBM dan kenaikan ongkos bis kota. Di Yogyakarta, mahasiswa melancarkan isu kembali pada Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekuen. Di Ujung Pandang, Padang, dan Medan. mahasiswa protes terhadap berbagai penyelewengan serta minta perhatian pemerintah untuk memperbaikinya. Di Bandung, mahasiswa mengeluarkan menolak pencalonan kembali Jenderal Soeharto sebagai presiden masa berikutnya. Pernyataan terakhir itu dibuat berkaitan dengan akan dilangsungkannya Sidang Umum MPR 1978, yang salah satu agendanya adalah memilih presiden.
Indro Cahyono: Perlunya Konsep Politik
“Gerakan mahasiswa memang tidak bisa lepas dari momentum-momentum politik,” kata Indro Cahyono, aktivis mahasiswa akhir tahun 1970-an. “Fungsi politik itu inheren dalam tubuh mahasiswa, maka setiap ada oportunitas politik–peluang keberhasilan atau kegagalan, misalnya pergantian presiden atau konflik elite yang berarti momentum politik–akan melahirkan gerakan mahasiswa,” tutur Indro Cahyono.
Oleh karena itu, setiap kali ada gerakan mahasiswa, maka muncul isu pokok bahwa gerakan mahasiswa ditunggangi. Di satu sisi, terdapat konflik politik elite, misalnya. Di sisi lain, mahasiswa yang berpolitik itu minus prasarana dan sarana politik. “Karena itulah mereka cenderung ditunggangi oleh elite-elite tersebut,” kata Indro Cahyono. “Walaupun mahasiswa tidak dalam posisi ditunggangi,” tambahnya.
“Ini sebenarnya hanya satu kebetulan atau koefidensi politik saja,” ujar Ketua Sekretariat Bersama Kelestarian dan Perlindungan Hutan Indonesia (SKEPHI) ini. “Malah bagi mahasiswa konflik politik yang ada itu digunakan sebagai sarana demokratis yang positif” ujarnya lagi.
Menurut Indro Cahyono, isu penunggangan itu sebenarnya hanya gunjingan politik saja. Dan itu akan selalu terjadi, karena dalam setiap interaksi sosial tidak hanya merupakan garis linier. Interaksi saling memengaruhi tidak pernah berjalan satu arah. “Dalam jaringan seperti itulah tumbuh istilah ditunggangi,” tegasnya. Mahasiswa tidak perlu terkecoh dengan isu penunggangan, karena hal itu dapat mengecilkan arti mahasiswa untuk bergerak, bahkan bisa menghancurkan (gerakan) mahasiswa sendiri.
Setidaknya itu yang bisa dipetik dari pengalaman gerakan mahasiswa yang muncul pada tahun 1977–1978. Pada masa ini, mahasiswa benar-benar termakan oleh isu-isu bahwa gerakan mahasiswa harus murni, tidak ada penunggangan, tidak juga kerja sama dengan pihak-pihak lain. Mahasiswa juga termakan oleh isu pemerintah yang katanya, apabila gerakan mahasiswa itu murni, pemerintah mau memperhatikan.
“Kita waktu bergerak tidak mempunyai afiliasi politik dengan kekuatan-kekuatan politik di masyarakat, tetapi ironis sekali gerakan mahasiswa tetap saja diberangus,” tutur Indro Cahyono. “Malah tentara menduduki kampus dan Dewan Mahasiswa kemudian dibubarkan,” tambah Anggota Presidium Pejabat Ketua Dewan Mahasiswa ITB 1977–1978 ini.
Gerakan Mahasiswa 1978 memang ironis. Kalau dilihat dari sisi dukungan dan konsepsi politiknya, jauh melebihi apa yang dilakukan pada tahun 1966 atau 1974. Gerakan ini sudah meliputi beberapa kota besar, bahkan sampai di Irian. Sementara tahun 1966 dan 1974 hanya berlangsung di Jakarta. Pledoi yang panjang dikemukakan tokoh-tokoh gerakan ketika dimejahijaukan menunjukkan betapa mereka telah memiliki konsepsi politik yang lebih baik dari sebelumnya.
Menurut Indro Cahyono, gerakan mahasiswa harus memiliki konsep yang jelas dan peran apa yang mau dibawakan mahasiswa. “Sebab kalau tidak, mahasiswa bisa dituduh reaksioner. Dan ini berbahaya sekali walau organisasinya legal,” jelas Indro Cahyono.
Banyak yang bilang, gerakan mahasiswa itu gerakan moral, mengapa mesti menyusun konsep segala? Menurut Indro Cahyono, kalau memang demikian halnya, mahasiswa akan larut dalam pergulatan politik di dalamnya sudah siap dengan massa yang banyak, seperti partai dan organisasi kemasyarakatan. “Golkar, PPP, PDI, NU, Muhammadiyah itu ‘kan gajah-gajah politik, apa mahasiswa mau melawan gajah-gajah itu?” tanya Indro Cahyono.
Secara minimal, mahasiswa kalau mau bergerak harus menyusun konsep politiknya. Indro Cahyono kemudian menunjuk contoh-contoh gerakan mahasiswa di Cina, Kuba, Inggris, dan Belanda yang memiliki konsep matang sehingga gerakannya tidak reaksioner. “Bahkan dalam banyak hal, gerakan mahasiswa bisa jadi embrio partai politik,” tuturnya. Benazir Bhuto misalnya, ketika sekolah di AS menyusun konsepsi politik tertentu. Kemudian dia dapat dukungan dari kelompok politik tertentu, sehingga gerakannya akhirnya bisa menjadi partai besar.
“Kalau gerakan mahasiswa ingin berhasil, jangan hanya berbasis di kampus saja. Cari kegiatan di luar, bergabung dengan masyarakat banyak,” saran Indro Cahyono. Sebab bila sudah memiliki basis di masyarakat, mahasiswa akan dilindungi masyarakat seandainya dikejar-kejar tentara. “Tidak seperti selama ini, selalu main kucing-kucingan dengan tentara di kampus,” pungkasnya.
Ditulis ulang dengan penyuntingan oleh Han Revanda Putra, Marshanda Farah Noviana, dan Naufal Ridhwan Aly