Peraturan baru mengenai tarif dasar layanan antar makanan yang dikeluarkan perusahaan platform ojek online (ojol) Gojek resmi dilaksanakan pada 8 November 2021. Peraturan yang berlaku untuk area Jabodetabek, Banten, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah tersebut menurunkan tarif ojol dari Rp7.200/0-4 km menjadi Rp6.400/0-4 km. Aksi unjuk rasa ojol di Kota Jogja dan Solo pun meletus akibat penurunan tarif tersebut. Menyusul aksi tersebut, pada bulan Februari 2022, perusahaan platform ojol Grab juga ikut menurunkan tarif layanan antar makanannya sehingga menyebabkan aksi mogok kerja dari Serikat Ojol Indonesia (Seroja) di berbagai daerah. Alasan di balik penurunan tarif tersebut adalah upaya untuk mendatangkan lebih banyak pesanan bagi para pengemudi ojol.
Berangkat dari permasalahan tersebut, Balairung berkesempatan mewawancarai Arif Novianto. Ia adalah penyunting buku Menyoal Kerja Layak dan Adil dalam Ekonomi Gig di Indonesia sekaligus peneliti muda di Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) Fisipol UGM. Arif banyak menyuarakan soal ojol dan ekonomi gig melalui tulisan-tulisannya di The Conversation dan buletin insight IGPA.
Bagaimana tanggapan Anda mengenai kebijakan penurunan tarif GoFood dan GrabFood beberapa waktu yang lalu?
Platform layanan antar makanan di Indonesia dihadapkan dengan persaingan yang begitu ketat. Kalau di luar negeri rata-rata hanya ada dua sampai tiga platform besar sementara di indonesia ada banyak, seperti: GoFood, GrabFood, ShopeeFood, Traveloka Eats, hingga AirAsia Food. Untuk bisa memenangkan konsumen, salah satu caranya adalah memberikan potongan harga sehingga terjadi perang diskon antarplatform. Selain itu, berbagai platform juga berlomba-lomba untuk memberikan tarif layanan paling murah sehingga menyebabkan perang tarif. Saya melihat bahwa, dalam kompetisi ini, pengemudi ojol merupakan pihak yang dirugikan. Sebab, tarif mereka dipotong untuk “amunisi” perang tarif dan diskon tersebut.
Pada awal kemunculannya, platform GoFood dan GrabFood sering kali memberikan bonus insentif kepada pengemudinya, bagaimana tanggapan Anda terkait hal tersebut?
Ini yang biasa disebut sebagai era “bulan madu” ketika platform melakukan bakar-bakar uang, yaitu merugi untuk memperoleh untung di masa depan. Hal tersebut dilakukan untuk menarik pengemudi agar mau bergabung dan juga meningkatkan nilai perusahaan. Contohnya Gojek, walaupun harus merugi sampai tahun 2020, nilai perusahaan mereka justru bertambah pesat beberapa tahun setelahnya. Dilihat dari data keuangannya, pada tahun 2010 saat mereka berdiri, mereka hanya bernilai 10 Miliar tetapi sekarang sudah mencapai sampai 450 triliun. Namun, era “bulan madu” pasti memiliki batas akhirnya, itu yang terjadi pada Gojek di tahun 2020. Mereka mulai memangkas bonus insentif dan membuat penambahan-penambahan biaya agar mendapat keuntungan. Pemangkasan insentif yang paling kentara adalah ketika mereka memotong tarif pengemudi untuk layanan antar makanan.
Bagaimana pendapat Anda mengenai regulasi yang mengatur tarif batas bawah pengemudi ojol layanan antar makanan?
Belum ada regulasi yang mengatur tarif batas bawah untuk layanan antar makanan dan barang. Sejauh ini, regulasi mengenai tarif batas bawah dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 12 Tahun 2019 hanya mengatur layanan antar penumpang saja. Pengaturan tarif batas bawah untuk layanan antar makanan masih didasarkan pada asumsi perusahaan saja. Asumsi bahwa pengemudi dapat melakukan pengantaran sejauh 100 kilometer dalam sehari. Harapannya, mereka akan memperoleh pendapatan sekitar 200.000–300.000 rupiah perhari. Akan tetapi, pada kenyataannya belum tentu demikian, bisa saja dalam sehari mereka hanya mendapat tiga orderan yang nilainya hanya 10.000–15.000 rupiah. Pengemudi memerlukan jaminan pendapatan dasar atas jumlah orderan yang harus mereka terima setiap harinya atau setiap minggunya.
Bukankah ketiadaan regulasi akan menimbulkan pelanggaran dalam skema pengupahan pengemudi?
Tentu saja. Salah satunya adalah ketika perusahaan platform memotong tarif pengemudi untuk memberikan promo kepada konsumen. Padahal, untuk memberikan promo tersebut, perusahaan dapat memotong biaya-biaya tambahan yang diberikan kepada konsumen. Contohnya, perusahaan platform dapat memberikan diskon pada biaya pemesanan, biaya bungkus, dan biaya asuransi. Selain itu dalam asumsi pengupahan pengemudi layanan antar makanan, perusahaan platform belum memperhitungkan upah waktu tunggu bagi pengemudi. Hal ini makin diperparah ketika pelanggan tiba-tiba melakukan pembatalan pesanan karena waktu tunggu yang lama. Tentu pada akhirnya pihak pengemudi yang menjadi korban.
Menurut Anda, apakah gerakan pengemudi ojol mampu memberikan tekanan kepada pemerintah dalam pembuatan regulasi terkait tarif pesan antar makanan?
Saya rasa bisa saja. Beberapa regulasi yang ada hari ini disahkan karena perjuangan yang panjang dari para pengemudi ojol untuk menuntut hak mereka. Permenhub Nomor 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor Yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat, misalnya, yang dalam Pasal 11 Ayat 5 mengatur mengenai batas bawah tarif ojol. Sekarang tantangannya adalah memperjuangkan supaya aturan serupa juga ditetapkan untuk layanan antar barang. Tentu ini bukan perkara yang mudah, mengingat bahwa pergerakan pengemudi ojol di Indonesia bisa dibilang masih cukup lemah. Meskipun mereka mampu memberikan tekanan, hasilnya mungkin tidak semaksimal yang mereka harapkan.
Mengapa tekanan dari pengemudi ojol masih dianggap lemah dalam menuntut kesejahteraan?
Dalam kondisi tersebut, keberadaan serikat ojol bukan berarti tidak mampu memberikan kesejahteraan. Masalahnya ada pada kekuatan serikat yang kurang mampu dalam mengakomodasi daya tawar dalam mendorong kondisi kerja maupun tarif yang adil dan layak. Karena itu, keputusan platform cenderung mendahului kebijakan pemerintah. Mengingat pula, sebagian besar dari ojol bergabung dalam komunitas karena serikat ojol yang relatif kecil. Hal ini diperparah dengan adanya “pembelahan” melalui pembagian sistem layanan dan peringkat pada tiap-tiap pengemudi ojol. Akibatnya, gerakan pengemudi ojol menjadi relatif tidak padu. Misalnya, ketika GoJek atau Grab menurunkan tarif, mereka tidak langsung menerapkannya pada semua jenis layanan. Penurunan tersebut hanya terbatas pada beberapa jenis layanan sehingga protes dan gerakan dari pihak pengemudi tidak terlalu besar.
Apakah ada independensi dari pengemudi ojol sebagai bentuk pergerakan?
Untuk memecahkan masalah ketidakadilan, langkah awal yang dapat dilakukan adalah membangun kekuatan kolektif. Saya dapat memastikan bahwa tidak mungkin pemilik modal memberikan upah dan kondisi kerja yang layak. Kecuali, ada tekanan kuat dari serikat ojol ke perusahaan untuk menjalankan tuntutan mereka. Oleh karenanya, pengemudi harus mampu membuat platform sendiri sebagai bagian dari independensi. Misalnya, pengemudi di New York telah mengembangkan koperasi dan aplikasi dari sekitar 2.000 pekerja. Begitu pula di Italia maupun Kanada, yang menghimpun pengemudi untuk menciptakan platform sendiri dalam bentuk koperasi pengemudi.
Mengenai koperasi sebagai alternatif pergerakan pengemudi, apakah pengemudi ojol di Indonesia mampu mengadopsi sistem koperasi tersebut?
Tentu. Sudah ada beberapa organisasi yang memiliki keinginan untuk membangun platform sendiri. Akan tetapi, rata-rata dari mereka masih terkendala pada proses pemasaran, manajemen, dan cara membuat, serta mengembangkan aplikasi. Tidak luput pula keamanan aplikasi yang akan digunakan oleh para pengemudi ojol tersebut. Di samping itu, kita dapat berkaca dari negara-negara lain yang dapat mengelola aplikasi secara digital sekaligus menginisiasi koperasi serupa. Lebih lanjut, saya merasa sistem koperasi tersebut memiliki masa depan lebih baik dibanding kapitalisme platform yang tidak mencerminkan kesejahteraan.
Penulis: Catharina Maida M, Isroq Adi Subakti, dan Muhammad Khoirul Imamil Muttaqin
Penyunting: Akbar Bagus Nugroho
Illustrator: Allysa Diandra Permana