Pada upacara peringatan Hari Pahlawan 2021 lalu, rektorat memberikan penghargaan Pahlawan Covid-19 kepada puluhan anggota Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 UGM. Di atas kertas, titel tersebut tampak sebagai penghargaan tak terhingga UGM kepada mereka. Kendati demikian, apakah pemenuhan hak dan kewajiban Satgas telah terpenuhi dengan semestinya?
“Saya harus memberikan penanganan awal terhadap pasien kolaps, padahal dulu tinggal panggil ambulans,” keluh Ari Permadi, anggota Satgas unsur non-UGM yang bertugas di Shelter Baciro. Sudah lebih dari dua tahun Satgas Covid-19 UGM berdiri, tetapi sistem ketenagakerjaannya tak kunjung jelas. Pada awal tahun 2022, salah satu Satgas bersuara, menuntut kejelasan sistem. Honorarium yang masih mandek hingga kejelasan alur kerja adalah hutang manajemen Satgas Covid-19 UGM yang belum dituntaskan.
Pada awal pandemi, tugas Ari hanya sebatas memfasilitasi pasien isolasi mandiri saja. Ia cukup memberikan fasilitas yang dibutuhkan pasien, seperti makan dan logistik. Namun, lambat laun tugasnya kian bertambah, terlebih ketika kasus Covid-19 varian Omicron mulai merebak. “Waktu itu hanya saya anggota Satgas yang bertugas di Shelter Baciro,” terang Ari.
Persoalan Satgas Covid-19 UGM ini menjadi perbincangan hangat sivitas akademika UGM lantaran beredarnya isu ketidakjelasan sistem ketenagakerjaan di dalamnya. Perbincangan hangat tersebut bermula ketika Muhammad Rafikal Darojat, Kepala Komisi II Bidang Kemahasiswaan MPM KM UGM, melempar isu ini untuk dibahas di grup Aliansi Mahasiswa UGM pada Februari 2022. Ia melempar isu tersebut karena mendapatkan keluhan langsung dari anggota Satgas. “Saya akan mengupayakan suara mereka di dengar oleh pihak kampus,” tegas Darojat.
Menilik sejarah pembentukannya, Bambang Agus Kironoto, Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Manusia dan Aset menceritakan awal mula pencetusan Satgas Covid-19 UGM. Ia menerangkan bahwa Satgas Covid-19 UGM merupakan bentukan dari kerja sama antara pihak rektorat; dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, Keperawatan; dan para pakar kesehatan. Pembentukan bermula dari adanya kesadaran pihak rektorat dalam menangani dan mengantisipasi penyebaran virus Covid-19 secara serius. “Akhirnya, tim Satgas Covid-19 yang bersifat ad-hoc dibentuk untuk membantu penanganan masalah Covid-19,” ujar Bambang.
Beda Unsur Satgas, Beda Nasib
Menurut Yani Roseptiana, mantan Satgas Covid-19 UGM dari unsur mahasiswa, Satgas Covid-19 UGM terdiri dari tiga unsur meliputi unsur mahasiswa, pegawai UGM, dan non-UGM. Menurutnya, sebagai Satgas unsur mahasiswa, ia merasa tidak terbebani dengan jam kerja sebagai Satgas. Jam kerja yang dimulai pukul 08.00 hingga 16.00 ia anggap normal seperti pekerja kantoran pada umumnya. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa pihak kampus telah menyediakan fasilitas berupa Alat Pelindung Diri (APD) untuk menjamin keselamatan Satgas.
Dalam hal kontrak kerja, Yani menceritakan bahwa Satgas unsur mahasiswa mendapatkan kontrak kerja selama enam bulan. Menurutnya, pembayaran honorarium pun tidak menjadi masalah karena setiap bulan dibayarkan tanpa ada keterlambatan. Selain itu, menurut Yani, alur komunikasi dan koordinasi Satgas unsur mahasiswa jelas dan tertata. Ia mengaku, terdapat grup WhatsApp yang memudahkan komunikasi antar-Satgas unsur mahasiswa ketika bekerja. “Koordinasi biasa dilakukan secara langsung di lapangan atau melalui grup WhatsApp,” tambahnya.
Bukan hanya Satgas unsur mahasiswa, alur kerja yang lancar serta tugas pokok dan fungsi kerja yang jelas juga diterima oleh Satgas unsur pegawai UGM. Rustamadji, Komandan Satgas Covid-19 UGM, menerangkan bahwa tugas mereka yaitu menjalankan pemeriksaan medis terhadap pasien dan melakukan penyuntikkan vaksinasi. Pemeriksaan medis tersebut, meliputi pemantauan jarak jauh kepada pasien. “Satgas medis yang bertugas mayoritas dari pegawai Gama Multi Center,” ujar Rustamadji.
Semua keteraturan sistem ketenagakerjaan Satgas yang dirasakan Satgas unsur mahasiswa dan pegawai UGM ternyata berbanding terbalik dengan yang dialami oleh Satgas unsur non-UGM. Ari menjadi salah satu Satgas yang merasakan ketimpangan tersebut. Ia merupakan seorang pekerja tambal ban di Jalan Magelang yang direkomendasikan oleh salah satu temannya untuk menjadi pekerja di Satgas Covid-19 unsur non-UGM di Shelter Baciro. Teman Ari mendapat informasi rekrutmen tersebut dari grup WhatsApp alumni SMP. Singkat cerita, Ari diterima menjadi pekerja karena kondisi Satgas Covid-19 UGM yang kekurangan pekerja. “Proses rekrutmen sebenarnya lucu, karena saya hanya pegawai swasta yang menjadi tukang ganti ban dan velg,” ungkap Ari.
Merespons ketidakjelasan rekrutmen tersebut, Rustamadji tidak menjelaskan banyak mengenai skema dan ketentuan rekrutmen ketika dikonfirmasi. Ia hanya mengungkapkan bahwa sistem rekrutmen pekerja non-UGM dilakukan dengan sistem panggilan. Rustamadji mengakui bahwa Satgas Covid-19 UGM menerima Ari sebagai Satgas karena direkomendasikan oleh rekannya yang menjadi Satgas terlebih dahulu. “Iya, Ari itu direkomendasikan oleh Danang, temannya Ari, jadi kami terima,” ujarnya.
Selama menjadi Satgas, Ari mengaku harus bekerja 24 jam karena kurangnya ketersediaan pekerja yang membantu tugasnya. Belum lagi, tidak adanya penambahan pekerja Satgas di Shelter Baciro membuat tanggung jawab Ari semakin bertambah. Jika pada awal masa kerja ia hanya membantu kebutuhan pasien, sekarang ia juga melakukan penanganan pertama kepada pasien jika kondisi darurat. “Saya harus menentukan dan membuat penilaian, apakah pasien harus dirujuk ke rumah sakit atau cukup istirahat,” tambahnya.
Tidak hanya itu, Ari mengaku juga harus menjalankan pekerjaan di luar tugas pokok dan fungsi. Ari bahkan pernah bersusah payah mengantar jemput pasien yang terinfeksi Covid-19. Padahal, dalam kontrak kerjanya, Ari hanya ditulis sebagai pegawai Shelter Baciro. Tidak menampik, Rustamadji mengamini pernyataan yang dilayangkan Ari. “Memang seharusnya Ari tidak melakukan pengantaran dan penjemputan pasien karena bukan termasuk tugasnya,” tegas Rustamadji.
Perihal alur komunikasi dengan komandan dan anggota manajemen Satgas lainnya pun Ari mengaku kesulitan. Tidak adanya wadah pengorganisasian Satgas membuat Ari hanya bisa berkoordinasi dengan manajemen Satgas saat apel di pagi hari. “Terkadang saya sudah kirim surel dan pesan kepada mereka, tapi mungkin mereka lupa membalas jadi responsnya sangat kurang,” ujarnya.
Pemenuhan Hak dan Kewajiban yang Kontradiktif
Tanggung jawab besar yang melebihi Satgas unsur lainnya ternyata tidak membuat pembayaran honorarium Ari berjalan lancar. Justru pada tiga bulan awal 2022 pembayarannya tersendat. Ari menyebut bahwa keterlambatan ini disebabkan kontrak kerja yang tak kunjung turun dari manajemen Satgas. “Waktu itu saya sempat merasa sedikit tidak nyaman karena kontrak kerja saya belum turun,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Ari menjelaskan bahwa proses verifikasi menjadi salah satu penyebab atas keterlambatan turunnya kontrak kerja. Sementara itu, berdasarkan penjelasan Rustamadji yang ia terima, keterlambatan turunnya kontrak kerja ini disebabkan oleh proses administrasi yang sulit. “Harus konsultasi dengan Wakil Rektor terlebih dahulu,” tutur Ari menirukan ucapan Rustamadji.
Menanggapi hal tersebut, Bambang mengakui bahwa proses keterlambatan pembayaran honorarium sangat mungkin terjadi karena dana anggaran sebesar 5 miliar rupiah harus diaudit secara benar. Ia menjelaskan dalam proses pemberian honorarium harus mengikuti aturan yang sudah berlaku di UGM. Sementara itu, menurutnya, anggaran untuk honorarium Satgas termasuk dalam Standar Biaya Khusus yang tidak terwadahi. Akibatnya, proses verifikasi memerlukan waktu yang lebih lama. “Jadi kan tidak boleh apabila kita mengeluarkan anggaran tidak sesuai standar yang ada,” ungkapnya.
Selanjutnya, Bambang turut menjelaskan bahwa anggaran dana Satgas berada di bawah Direktorat Keuangan, tetapi secara mandiri dikelola oleh manajemen Satgas. Menurutnya, anggaran tersebut dialokasikan untuk honorarium petugas Satgas dan juga untuk fasilitas yang dibutuhkan Satgas selama bekerja. “Di antaranya untuk membeli masker, hand sanitizer, dan baju APD hazmat,” jelas Bambang.
Sementara itu, ketika ditemui di lapangan, fasilitas kesehatan yang diterima Satgas ternyata kurang memadai. Salah satu Satgas terlihat hanya mengenakan masker tanpa APD lain untuk membuang sampah pasien Covid-19 di Shelter Baciro. Kemudian, Ari menjelaskan bahwa ia harus menghubungi pihak Gama Residence terlebih dahulu agar dikirimkan fasilitas kesehatan. “Gama Residence menjadi pusat bantuan administrasi logistik,” jelas Ari.
Sebagai Satgas yang bertugas di lapangan, Ari menilai bahwa masalah-masalah tersebut berakar pada persoalan struktural kelembagaan Satgas Covid-19 UGM yang tidak jelas. Salah satunya yaitu kekosongan posisi koordinator Satgas. Padahal, menurut Ari peran koordinator tersebut sangat penting untuk mengarahkan dan mengatur anggota Satgas. Oleh karena itu, ia pun menuntut supaya posisi koordinator Satgas dibentuk dan diisi oleh orang yang sudah terkualifikasi. “Dengan adanya koordinator maka koordinasi Satgas akan menjadi lebih baik. Arahan dan perintah anggota juga akan terkendali sesuai dengan tupoksi,” terangnya.
Pengarahan anggota ini utamanya dibutuhkan untuk mengembalikan Satgas pada fungsinya yang semula, yaitu sebagai pengurus shelter. Sebab, menurut Ari selama ini Satgas justru menjadi tenaga yang dipanggil saat UGM membutuhkan pengawasan protokol kesehatan dan pengetes antigen di acara-acara kampus. “Koordinator ini nantinya juga bisa menanyakan ke Gadjah Mada Medical Center (GMC) untuk keperluan antigen sehingga dari GMC pun bisa mengirimkan petugas,” terang Ari.
Untuk menguatkan tuntutannya akan kebutuhan koordinator, Ari menyampaikan bahwa dengan adanya koordinator, Satgas dapat makin cepat tanggap dan responsif. Sebab, rantai komando dalam Satgas nantinya tak hanya berpusat pada komandan saja, tetapi juga dapat dibagi dengan koordinator. “Dengan begitu, Pak Rustamadji tidak perlu memikirkan semuanya sendiri, cukup jadi pengarah saja,” tukasnya.
Ade Agoes Kevin Dwi Kesuma Parta, Majelis Wali Amanat Unsur Mahasiswa UGM turut menyimpulkan bahwa masalah Satgas Covid-19 UGM ini berkaitan erat dengan transparansi keterlibatan unsur-unsur yang ada di dalamnya. Darojat mengamini hal tersebut dengan menyatakan bahwa masalah sistem kerja serta tugas pokok dan fungsi Satgas masih menjadi PR besar dalam pelaksanaannya. “Perlu diperjelas lagi posisi Satgas yang sebenarnya, bagaimana alur perekrutannya, dan juga sistem kerjanya. Jangan sampai asal dipekerjakan,” pungkasnya.
Penulis: Dhestia Arrizqi Haryanto, Hadistia Leovita Subakti, dan Sekarini Wukirasih
Penyunting: Yeni Yuliati
Fotografer: Winda Hapsari