
©Bintang/Bal
Menjelang pemilihan Rektor UGM periode 2022-2027, Majelis Wali Amanat Unsur Mahasiswa (MWA UM UGM) menyelenggarakan forum bertajuk “Sarasehan: Nyawiji Menuju UGM-1” pada Minggu (10-04). Forum ini dilaksanakan secara daring dengan menghadirkan dua pemantik diskusi, yakni Bhram Kusuma Setya Hadi, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM dan Rr. Widiartyasari Prihatdini, mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UGM. Forum ini diselenggarakan untuk memberikan wadah penyaluran aspirasi mahasiswa kepada enam Bakal Calon Rektor UGM.
Salah satu keluhan yang disampaikan pada forum dan menjadi keresahan mahasiswa adalah permasalahan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Widiartyasari, atau yang kerap disapa Arty, mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan beban UKT antarklaster dan antarfakultas di UGM. “Klaster saintek dan medika saat ini memiliki beban UKT yang lebih besar dibandingkan klaster soshum,” ungkap Arty.
Sebagai contoh, Arty memaparkan data berupa grafik yang menampilkan perbedaan jarak antargolongan UKT di beberapa fakultas UGM. Data yang dipaparkan, antara lain adalah UKT Fakultas Ilmu Budaya dan Fakultas Filsafat dari klaster soshum, serta Fakultas Kedokteran Gigi dan Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan dari klaster medika. Pada grafik tersebut, nominal golongan UKT 3 klaster soshum berada di rentang 3 juta rupiah, sementara klaster medika berada di rentang 8 juta rupiah.
Sebagai mahasiswa klaster saintek, Arty menyatakan keresahannya mengenai adanya jarak antargolongan UKT di klaster saintek cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan klaster soshum. “Semakin saintek semakin berat dan tandanya beban pengeluaran itu memang berbeda,” ungkapnya. Padahal bagi Arty, setiap klaster dan fakultas seharusnya memiliki beban yang setara.
Ketimpangan UKT juga berimbas pada penerima golongan UKT menengah. Dari golongan UKT 1 sampai 8 yang ada di UGM, Arty menyatakan bahwa yang paling rentan adalah golongan 4 dan 5. Menurut Arty, hal ini disebabkan karena kedua golongan UKT tersebut tidak termasuk ke dalam kategori UKT golongan kurang mampu. “Mereka dianggap cukup mampu sehingga sulit untuk mendapat beasiswa,” tuturnya.
Dalam sesi diskusi, Pandu Wisesa Wisnubroto, mahasiswa Fakultas Hukum, menegaskan pendapat Arty dengan menjabarkan kondisi ketimpangan UKT di lapangan. “Banyak mahasiswa yang memiliki kondisi ekonomi dan situasi yang sama, tetapi mendapatkan golongan UKT yang berbeda,” ungkapnya. Menurut Pandu, hal ini disebabkan karena ketiadaan indikator baku dalam menentukan golongan UKT mahasiswa.
Muhamad Rifa’i, mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, juga mengungkapkan kondisi yang serupa. “Masih ada beberapa mahasiswa, utamanya mahasiswa baru, merasa kaget dengan UKT yang didapatkannya,” ungkapnya. Rifa’i mengatakan bahwa hal ini disebabkan karena UKT di UGM masih didasarkan dari penghasilan kotor dan penghasilan tambahan orang tua. Menurutnya, dua indikator tersebut tidak dapat dijadikan sebagai acuan karena orang tua yang memiliki jumlah anak berbeda akan memiliki tanggungan finansial yang berbeda pula.
Arty berpendapat bahwa reformulasi UKT bisa menjadi solusi dari beban UKT yang tinggi. Menurutnya, reformulasi UKT salah satunya bisa dilakukan dengan menambah golongan UKT yang baru. “Semakin banyak golongan UKT, maka akan semakin beragam beban finansial perstrata penghasilan,” ujarnya. Arty berharap, penambahan golongan UKT dapat memberikan kesetaraan dalam memperoleh kualitas pendidikan karena sistem yang digunakan ialah subsidi silang.
Renno Meidi Akrommin, mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian, juga berpendapat bahwa reformulasi UKT perlu dilakukan. Pendapatnya didasari oleh jarak nominal antargolongan UKT yang cukup besar di fakultasnya. “Golongan UKT 2 di Fakultas Teknologi Pertanian sebesar 1 juta rupiah, sementara golongan UKT 3 sebesar 5,5 juta rupiah,” paparnya. Menurut Renno, jarak yang besar ini tidak sebanding dengan dengan rentang penghasilan yang diatur.
Lebih lanjut, Arty membicarakan perihal adanya dana abadi UGM. Dana abadi UGM merupakan sebuah dana yang nominalnya tidak tetap. Pada tahun 2021, dana abadi UGM direncanakan senilai 250 miliar rupiah. Arty menyatakan bahwa dana abadi dapat digunakan untuk kebutuhan beasiswa mahasiswa. “Namun, bentuk penyalurannya sering kali membutuhkan waktu yang lama,” ungkapnya. Di samping itu, Arty menambahkan bahwa mahasiswa sering kali membutuhkan dana darurat yang sifatnya cepat dan dapat segera dicairkan. Oleh karenanya, Arty berharap Rektor UGM yang terpilih nantinya dapat membuat skema beasiswa yang lebih efektif dan efisien.
Penulis: Keisha Devana Rahadini dan Lindra Prastica
Penyunting: Renova Zidane Aurelio
Fotografer: Aditya Muhammad Bintang