Minggu (13-3), di sebuah rumah yang terletak di Jalan Sagan, tim Balairung disambut oleh sesosok perempuan paruh baya. Sembari tersenyum, perempuan bernama Pariyem atau Yu Par tersebut mulai menceritakan kisahnya sebagai salah satu pedagang makanan yang populer di kalangan mahasiswa UGM. Sejak tahun 1987, Yu Par sudah membantu orang tuanya berjualan. Yu Par remaja mulai berjualan nasi bersama orang tuanya di dekat Bundaran UGM, tepatnya di sebelah utara Rumah Sakit Panti Rapih.
Namun, hal tersebut tidak berlangsung lama karena Rektor UGM pada waktu itu, Koesnadi Hardjasoemantri, mengeluarkan larangan berjualan di pinggir jalan. Selain mengeluarkan larangan, menurut Yu Par, Koesnadi juga memberikan solusi bagi para pedagang untuk berjualan di Kantin Rekadaya Boga Plaza Humaniora atau yang dikenal dengan Kantin Bonbin. “Dari semua pedagang yang berjualan, hanya saya yang mengikuti arahan rektor,” ucap Yu Par. Hal tersebut membuat Yu Par menjadi satu-satunya pedagang nasi di Bonbin.
Menjadi satu-satunya pedagang nasi di Bonbin, dagangan Yu Par laku keras. Ia dikenal sebagai pedagang yang memasang harga murah. Tidak hanya murah, makanan yang dijajakan Yu Par juga memiliki harga yang berbeda-beda setiap harinya, yang disesuaikan dengan kantong mahasiswa. Hal tersebut membuat mahasiswa berbondong-bondong ke tempatnya. “Pelanggannya tidak hanya mahasiswa, tetapi juga karyawan,” ungkap Yu Par.
Meskipun sering memasang harga murah untuk makanannya, Yu Par tidak jarang menemui seorang pelanggan yang makan tanpa membayar. Namun, Yu Par jarang menagih pelanggan yang makan tanpa membayar. “Yang makan lalu pergi itu banyak sekali, tapi saya nggak papa. Maksudnya yang mau pergi silakan,” ujar Yu Par.
Kedermawanan Yu Par tersebut menyebar dari mulut ke mulut. Perlahan-lahan, Yu Par pun menjelma menjadi ikon Kantin Bonbin. Menurut Ahi Rohiman, Alumnus Fakultas Filsafat UGM, Yu Par menjadi ikon karena banyak mahasiswa menjadikan tempat Yu Par sebagai tempat makan favorit mereka. Oleh karena itu, menurut Ahi, segala perbincangan mengenai Kantin Bonbin pasti selalu dikaitkan dengan keberadaan Yu Par. “Orang kalau makan di FIB harus ke Yu Par atau kalau denger kantin FIB pasti kepikirannya Yu Par,” ujar Ahi.
Kepopuleran Yu Par sebagai ikon Kantin Bonbin membuat beberapa istilah unik bermunculan. Salah satunya adalah istilah “beasiswa” Yu Par. Siti Aisyah Yasmin, Alumnus Sastra Prancis UGM, mengungkapkan bahwa istilah tersebut merujuk pada porsi makanan warung Yu Par yang banyak. “Meskipun porsinya banyak, harganya tetap murah. Ini yang sering disebut sebagai ‘beasiswa’ Yu Par,” jelas Yasmin.
Di balik sosoknya sebagai ikon Bonbin, Yu Par memiliki kesan tersendiri di beberapa mahasiswa yang menjadi pelanggannya. Walaupun sudah berjualan selama puluhan tahun, menurut Ahi, Yu Par masih mengingat beberapa pelanggan lamanya yang datang kembali. “Banyak mahasiswa dan alumni yang mengenal sosok Yu Par sebagai pribadi ramah dan pengertian terhadap kondisi mahasiswa,” ungkapnya.
Kepedulian Yu Par terhadap kondisi mahasiswa, sebagaimana diungkapkan oleh Ahi, dibuktikan dengan intensitas Yu Par dalam berkenalan dan mengobrol dengan mahasiswa. “Bahkan, Yu Par sering bantu-bantu sedikit karena perhatian ke kondisi mahasiswa, terutama mahasiswa perantauan pas akhir bulan,” tambah Ahi. Yu Par sering memperbolehkan para mahasiswa tersebut untuk ngutang terlebih dahulu apabila tidak memegang uang yang cukup.
Meskipun menemui mahasiswa yang ngutang, menurut penuturan Ahi, Yu Par tidak perhitungan dan menaruh curiga sama sekali. Yu Par juga tidak menegur dan mengkritik para mahasiswa yang terlalu sering ngutang. “Kalo dari awal udah terus terang ga punya uang, Yu Par akan toleran kepada mahasiswa yang ngutang ,” ucap Ahi.
Menanggapi tingkah pelanggannya yang suka ngutang, Yu Par tidak pernah mempermasalahkan hal itu. “Saya tidak pernah menghitung dan menanyainya, kalau mau makan silakan ambil saja,” tutur Yu Par dengan senyum khasnya. Yu Par sendiri tidak tahu mengapa ia melakukan hal tersebut, yang penting setiap harinya Yu Par mendapatkan keuntungan. Biarpun tidak banyak, Yu Par sudah merasa cukup.
Setelah 28 tahun berjualan di Kantin Bonbin FIB, Yu Par harus direlokasi akibat kebijakan tata ruang baru di FIB. Relokasi tersebut menyebabkan warung Yu Par tergusur dari Bonbin FIB. Adanya rencana penggusuran tersebut memicu sikap penolakan dari mahasiswa. Dalam upaya penolakan tersebut, sosok Yu Par menjadi salah satu ikon propaganda. Hal tersebut tampak dari poster-poster yang memuat penolakan terhadap upaya relokasi Bonbin. “Yu Par is My Hero!” bunyi salah satu poster yang menolak relokasi Bonbin.
Yu Par mengaku senang mendapatkan dukungan dari para mahasiswa. Berdasarkan penuturannya, banyak mahasiswa yang meminta warungnya tetap dipertahankan. Yu Par sendiri tidak tahu alasan mahasiswa berbuat demikian. Bagi Yu Par, hal yang terpenting adalah bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan. “Karena masih boleh jualan, kalau gak boleh jualan kayak gini mau makan apa,” ujar Yu Par.
Dari sudut pandang mahasiswa, Ahi juga berbagi pandangannya mengenai kejadian relokasi kantin FIB. Ahi menjelaskan, pada awalnya, FIB ingin membuat kebijakan tata ruang baru sehingga letak kantin FIB dipindahkan ke pusat jajanan lembah (Pujale). Ahi menyebutkan bahwa dia gencar mengikuti demo penolakan kebijakan tersebut dengan banyak mahasiswa lainnya. Ahi menilai, Kantin Bonbin di FIB tepat sekali untuk kebutuhan mahasiswa dengan gaya khas penjual yang menyerupai Yu Par. “Kita, mahasiswa, mengibaratkan Yu Par sebagai orang tua angkat yang disayangi dan perlu dibela,” Tutur Ahi.
Menurut Ahi, Yu Par mampu menghadirkan sosok orang tua angkat bagi mahasiswa lantaran sifatnya. “Dia selalu mempersilahkan mahasiswa untuk makan dahulu sampai kenyang, urusan uang nanti,” ujar Ahi. Terkadang, Yu Par juga menjadi sosok pendengar yang baik bagi mahasiswa yang sedang mengalami masalah. Bahkan, Yu Par tak jarang membantu mahasiswa yang mengalami masalah tersebut. Bagi Ahi, sifat Yu Par tersebut merepresentasikan sosok ibu, yakni hangat dan pengertian.
Meskipun mendapat penolakan, relokasi tetap dilakukan. Setelah relokasi ke Pujale, omset Yu Par dan pedagang lain menurun drastis. Namun, Yu Par dan pedagang lainnya tidak dapat menentang kebijakan kampus. Setelah relokasi pertama terjadi, wacana relokasi kedua bergulir. Para pedagang Bonbin pun akhirnya kembali direlokasi ke Plaza BI yang berada di antara beberapa fakultas klaster sosial-humaniora sekaligus.
Dari relokasi kedua, pendapatan Yu Par justru meningkat. Yasmin mengatakan bahwa hal tersebut terjadi karena jumlah pengunjung di Plaza BI lebih banyak dibandingkan dengan Pujale. “Di Pujale, orang-orang yang kesitu memang terbiasa nongkrong di Pujale, beda dengan Plaza BI yang lebih strategis,” tutur Yasmin.
Sayangnya, pada 2020, Covid-19 melanda sehingga kampus terpaksa menutup beberapa aktivitas, termasuk Kantin Bonbin. Menurut penuturan Ahi, para pedagang mau tidak mau menutup dagangannya. Yu Par juga pernah berjualan kembali pada pertengahan Juli dengan melakukan persyaratan cek suhu dan swab. “Akhirnya hanya bertahan empat hari karena Fakultas Filsafat tidak mengizinkan adanya aktivitas kampus,” tutur Ahi.
Setelah mengalami berbagai pasang surut saat berjualan, Yu Par kini berjualan di kawasan SD Negeri Sagan. Meskipun tidak seramai dulu, beberapa mahasiswa yang loyal masih membeli makanan Yu Par. “Kadang masih ada yang jajan untuk membantu Yu Par,” ucap Yasmin.
Yu Par berharap pandemi Covid-19 segera usai dan dapat berjualan kembali. Saat ini, Yu Par tidak mempermasalahkan tempatnya berjualan, asalkan masih berada di area kampus. Tak terbesit pikiran untuk berhenti berjualan karena ia merasa hanya itu yang dapat dilakukan. “Saya terus berharap supaya masih bisa berjualan, terutama untuk masa tua,” ujar Yu Par.
Penulis: Herlina Rifa, Summayah, Tiara Nabila, dan Tiefany Ruwaida Nasukha
Penyunting: Siti Nurjanah
Fotografer: Noor Risa Isnanto