
©Istimewa/PedesJog
“Deklarasi Darurat Iklim sekarang juga!” sorak dari massa mengiringi aksi “Global Climate Strike Yogyakarta” pada Jumat (25-03). Adapun aksi ini bertajuk “Tidak Akan Ada Kehidupan di Planet Mati,” yang mencakup tuntutan deklarasi, adaptasi, mitigasi dan demokrasi. Aksi tersebut terdiri dari puluhan massa aksi yang dikoordinatori oleh Komunitas Jeda untuk Iklim dan Extinction Rebellion. Lebih lanjut, Tugu Yogyakarta menjadi titik kumpul massa aksi sebelum melakukan longmars ke Jembatan Kewek di Jalan Kali Code, Yogyakarta. Di samping itu, massa aksi tampak serentak memegang poster tuntutan, salah satunya berisi “Ibu bumi sampun maringi ojo dirusak!”.
Massa aksi membawa tuntutan demokrasi yang memuat poin perubahan sistem ekonomi berbasis Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi sistem ekonomi pemenuhan kehidupan. Wahyu Aji, Koordinator Global Climate Strike Yogyakarta, menerangkan bahwa hal ini berkaitan dengan pemanfaatan lingkungan secara adil untuk masyarakat yang merupakan hak dasar masyarakat. Apabila mengejar PDB, ujar Aji, alam hanya dimanfaatkan untuk mendukung kemajuan ekonomi makro negara dengan pesan modernitas dan kesejahteraan semu. Aksi ini pun menuntut adanya Balai masyarakat, jelas Aji, yang dapat mewujudkan negara yang partisipatif, inklusif yang berdasarkan kebutuhan warga, serta tidak berdasarkan pada skema PDB.
Masyarakat yang tanahnya diambil ini terancam merasakan dampak dari krisis iklim dan dampak lainnya akibat perampasan tersebut. Aji mencontohkannya dengan kejadian yang dialami masyarakat Wadas. Awalnya mereka hidup makmur di lahan subur kemudian terpaksa menjadi buruh perkotaan dengan minimnya pilihan yang ada sebagai dampak dari pembangunan yang tidak bersifat demokratis. “Kalau masyarakat di bawah tidak membutuhkan batu-bara, bendungan, dan lainnya kenapa kita harus membangunnnya?” kata Aji.
Aji menyebut Proyek Strategis Nasional (PSN), sebagai wujud pembangunan yang tidak berdasarkan sistem ekonomi pemenuhan kehidupan, dilaksanakan tanpa menggunakan sistem demokrasi. Pendapat masyarakat minim dimasukkan dalam pelaksanaan proyek-proyek negara. Aji mencontohkan Pulau Komodo yang dicanangkan sebagai real estate taman nasional yang bersifat eksklusif. “Saya rasa PSN yang tidak dibangun dengan demokratis ini tidak sesuai kebutuhan bahkan berdampak buruk pada masyarakat sipil,” kata Aji. Fokus dari pembangunan tersebut adalah kinerja suatu sistem dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi yang kini dipermudah dengan adanya Omnibus Law yang oleh Aji disebut sebagai alat memperlancar PSN.
Aji juga menyebutkan bahwa masih kurangnya jaminan keselamatan aktivis lingkungan oleh negara. Ia memberikan contoh seperti Haris Azhar dan Fathia Maulidiyanti yang dikriminalisasi karena menyuarakan mengenai kerusakan tanah Papua oleh perusahaan. “Memang kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan merupakan kasus yang sering terjadi,” tuturnya.
Terkait masalah pembangunan, komunitas-komunitas yang ikut meramaikan aksi juga menyuarakan tuntutan mereka. “Kami selalu menuntut trotoar yang layak dan jaringan transportasi publik yang memadai,” ungkap Abiyyi, perwakilan komunitas Pedestrian Jogja. Ia menyebutkan bahwa Pemerintah Yogyakarta masih kurang dalam menggabungkan keinginan masyarakat dengan kebijakan yang dikeluarkan.
Di sisi lain, Kisah, perwakilan dari Komunitas Child Campaigner, menyuarakan mengenai tutupnya Tempat Pembuangan Sampah Terpadu Piyungan. Kisah menuntut perlu adanya manajemen sampah yang lebih baik. “Anak-anak yang kami dampingi berasal dari keluarga pemulung,” ujar Kisah. Ia menjelaskan bahwa anak-anak tersebut tinggal di pinggiran sungai yang tidak layak dan banyak sampah. Oleh karena itu, banyak dari mereka yang terjangkit penyakit dan barang-barangnya hanyut terkena air.
“Jogja! Jogja! Istimewa Jogjanya, istimewa iklimnya!” seru massa aksi menutup aksi yang dilatari mural bernuansa iklim tersebut. Kemudian dilanjut dengan pembacaan tuntutan sekaligus ajakan untuk mengawal integritas demokrasi pada kelompok minoritas. Akan tetapi, berdasarkan laporan pasca aksi, mural tersebut ternyata dihapus oleh oknum yang tidak bertanggungjawab.
Penulis: Catharina Maida, Isroq Adi Subakti, dan Megantara Massie
Penyunting: Naufal Ridhwan Aly
Fotografer: Istimewa/PedesJog