Jumat (4-3), Institute of International Studies (IIS) UGM bekerjasama dengan International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN) mengadakan diskusi daring bertajuk “Indonesia dan Ancaman Perang Nuklir”. Diskusi ini dilaksanakan secara daring dan terbuka untuk publik. Tiga pembicara utama hadir dalam forum ini, antara lain Muhadi Sugiono, Peneliti Institute of International Studies; Brigjen TNI Binsar Sianipar, Direktur Kerja Sama Internasional Pertahanan di Kementerian Pertahanan RI; Yohpi Ichsan Wardana, Koordinator Fungsi Isu Senjata Pemusnah Massal dan Senjata Konvensional Kementerian Luar Negeri RI. Di tengah panasnya konflik Rusia-Ukraina, diskusi ini membahas ancaman perang nuklir serta peran Indonesia dalam mengatasinya.
Untuk memahami bahaya perang nuklir, Binsar Parluhutan Sianipar menjelaskan macam-macam penggunaan teknologi nuklir, khususnya sebagai sebuah senjata. Dalam bidang pertahanan, sebenarnya teknologi nuklir bisa dimanfaatkan sebagai energi yang menggerakkan alat atau senjata. Meski penggunaan energi nuklir untuk perdamaian diperbolehkan dalam Traktat Non-Proliferation of Nuclear Weapons (NPT), energi nuklir mendapat penolakan besar. “Sebab, pada kenyataannya, perubahan fungsi nuklir dari energi menjadi senjata tidak membutuhkan waktu yang lama,” jelas Binsar.
Binsar kemudian menjelaskan bahwa seiring dengan berkembangnya teknologi, penggunaan senjata nuklir semakin canggih dan mengancam. Pesawat bomber atau pesawat tempur strategi kini bisa membawa delapan bom nuklir sekaligus. “Tidak hanya itu, delapan bom nuklir tersebut dapat dibawa dalam kecepatan yang tinggi dan mampu menempuh jarak yang jauh,” tegas Binsar.
Menyambung Binsar, Muhadi Sugiono memberikan penjelasan mengenai potensi perang nuklir dalam perang Rusia-Ukraina. Menurutnya, krisis tersebut bisa membuat penggunaan senjata nuklir tidak bisa dihentikan lagi. Hal tersebut berdampak pada normalisasi pemakaian senjata nuklir untuk menyelesaikan konflik antarnegara. Muhadi menambahkan, sekalipun sekarang ini senjata nuklir baru menjadi ancaman yang dikeluarkan Rusia, bukan tidak mungkin perang nuklir akan terjadi. “Terutama apabila konflik di Ukraina mengalami eskalasi dan melibatkan North Atlantic Treaty Organization (NATO) yang beranggotakan banyak negara pemilik senjata nuklir,” lanjut Muhadi.
Kemudian, Muhadi menerangkan, apabila senjata nuklir betul-betul digunakan di dalam perang, eskalasi konflik di Ukraina itu tidak bisa dihindari. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa dampak dari penggunaan senjata nuklir oleh Rusia tidak dapat dibatasi hanya di Ukraina. Padahal, Ukraina berbatasan langsung dengan negara-negara anggota NATO yang beranggotakan banyak negara pemilik senjata nuklir. “Perang Ukraina kan lebih mengerikan apabila senjata nuklir itu akhirnya betul-betul digunakan,” papar Muhadi.
Selaras dengan pemaparan Muhadi, Yophi menunjukkan peran Indonesia dalam konteks pencegahan pelucutan senjata massal, yang salah satunya adalah senjata nuklir. Ia menegaskan bahwa senjata pemusnah massal menjadi isu global karena dampaknya yang sangat merugikan. “Meskipun indonesia tidak memiliki senjata nuklir tetapi kita punya kepentingan memastikan senjata nuklir tidak digunakan,” tegasnya. Menurut Yophi, upaya-upaya Indonesia untuk melucuti senjata pemusnah massal melakukan berbagai upaya diplomasi dengan melibatkan diri dalam perjanjian internasional.
Melalui jalan diplomasi, Indonesia turut berperan dalam pelarangan pemakaian senjata nuklir melalui perjanjian Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW). “Kita berharap bahwa banyak negara akan meratifikasi dan menandatangani TPNW karena akan menjadi instrumen hukum internasional”, lanjutnya. Sebagai penutup, Yophi menyatakan bahwa Indonesia perlu mendorong optimalisasi pemanfaatan teknologi nuklir kimia dan biologi bagi kesejahteraan masyarakat melalui penggunaannya secara damai.
Penulis: Eleonora Astrid, Jasmine Hasna, dan Maria Adelina Puspaningrum
Penyunting: Valentino Yovenky
Fotografer: Alika Bettyno Sastro