Komite International Women’s Day (IWD) Yogyakarta mengadakan diskusi publik bertajuk “Masih Adakah Ruang Aman Bagi Korban Kekerasan Seksual?” pada hari Rabu (02-03). Diskusi yang dilakukan secara daring menjelang Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret 2022 ini menghadirkan lima narasumber, yaitu Tathya Adjani Dhavantari, Ketua Srikandi UGM; Fiana Dwiyanti, Lead Social Change Never Okay Project; Ignatius, perwakilan dari HopeHelps UGM; Zhafran Alfani, perwakilan dari Focal Point Intimuda Indonesia; Marsinah Dede, aktivis perempuan disabilitas; dan Ravieka Fathya Rimsha, perwakilan dari IWD Yogyakarta selaku moderator.
Ravieka membuka diskusi dengan memaparkan jumlah kasus kekerasan seksual Indonesia belakangan ini oleh Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2021. Data tersebut menunjukkan 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan dilaporkan sepanjang tahun 2020. “Ini angka yang sangat besar di tengah regulasi penanganan dan pencegahan kasus kekerasan dalam RUU PKS yang tak kunjung disahkan dari setahun yang lalu”, tambah Ravieska.
Melanjutkan sesi pemaparan, Tathya kemudian menyinggung kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus dari hasil survei oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengenai kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi pada tahun 2020. Data tersebut menunjukkan 77 persen dosen mengakui bahwa ada kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus, tetapi 63 persen diantaranya memilih untuk tidak melaporkan kasusnya. “Hal ini bisa terjadi karena pelaporan kasus oleh korban banyak pertimbangan yang diambil mulai dari psikologis, keamanan, bahkan ancaman yang mungkin akan datang dari pihak kampus,” ujarnya.
Namun, menurut Ignatius, situasi memprihatinkan ini pada akhirnya menemui titik terang lewat regulasi kekerasan seksual di lingkungan kampus oleh Kemendikbud. Salah satu regulasinya menekankan pasal bahwa keamanan dan kepentingan korban selalu diutamakan dan frasa penanganan kasus kekerasan harus sesuai dengan keinginan korban. Regulasi yang dimaksud Ignatius adalah Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Menurut Ignatius, salah satu poin penting dalam upaya penanganan kasus kekerasan seksual adalah independensi. “Berkaca pada penanganan kekerasan seksual di beberapa kampus, pihak kampus masih mencampuri beberapa upaya penanganan demi menjaga nama baiknya,” ungkap Ignatius. Akibatnya, menurut Ignatius, hasil pengusutan kasus kekerasan seksual tidak independen dan tidak sesuai keadilan yang diharapkan korban. Ignatius mengungkapkan bahwa Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 akan mempertegas independensi sehingga kampus harapannya tidak mementingkan nama baik lagi dalam menangani kasus kekerasan seksual.
Di sisi lain, Fiana menjelaskan mengenai pentingnya menyoroti pelecehan seksual di dunia kerja dan kaitannya dengan keselamatan pekerja. Ia menguraikan dua penyebab kekerasan seksual yang terjadi di dunia kerja. Pertama, Quid Pro Quo yakni adanya relasi antara atasan dan bawahan yang dibalut dalam sebuah hubungan. Dalam kasusnya terdapat promosi jabatan untuk korban ke pekerjaan yang memiliki tingkat yang lebih tinggi. Fiana juga melihat bahwa implikasi dari kasus ini yakni ancaman kehilangan pekerjaan bagi korban sehingga mereka dalam posisi rentan.
Kedua, Hostile Environment yakni situasi kerja yang tidak kondusif dan intimidatif, seperti adanya pengucilan terhadap seseorang yang memiliki orientasi seksual yang berbeda. “Itu membuat mereka kesulitan melakukan pekerjaan dan menyelesaikan tujuan utama dari bekerja itu sendiri, yakni mencari nafkah dan membangun karir,” ujar Fiana.
Sementara itu, Zhafran memberikan spektrum lain dari kasus kekerasan seksual dan kerentanannya pada kelompok lesbian, gay, bisexual, transgender, queer, dan intersex (LGBTQI+). “Kekerasan terhadap kelompok LGBTQI+ terdapat sebanyak 89,3 persen yang mencakup 46,3 persen kekerasan fisik dan 26,3 persen kekerasan ekonomi,” tambahnya. Ia juga menuturkan bahwa stigma negatif merupakan akar terbesar kekerasan seksual terhadap kelompok LGBTQI+.
Di penghujung diskusi, Zhafran menyatakan bahwa kita perlu mendukung dan mengakhiri stigma terhadap kelompok LGBTQI+. “Karena stigma negatif itu tidak akan membuat kelompok ini berubah ataupun sembuh,” ungkapnya. Ignatius juga menambahkan agar masyarakat tidak berhenti membuat ruang aman baik bagi perempuan, kaum LGBT, maupun laki-laki korban kekerasan seksual.
Penulis: Denok Widyaningsih, Salma Shidqiyah, dan Sinta Damayanti
Penyunting: Kartika Situmorang
Fotografer: Aditya Muhammad Bintang