Deru suara hujan menemani obrolan Tim Balairung dengan sosok wanita dalam aplikasi pertemuan daring. Kala itu ia tak bisa menyalakan kamera perangkatnya sebagaimana akibat masalah koneksi sinyal. Wanita itu bernama Azka Yahdiyani Putri, pendiri dari komunitas Sedekah Baju Yogyakarta. Suaranya yang sempat terputus-putus menuturkan keresahan terhadap gaya hidup lingkungannya yang masih kerap memakai produk dari fast fashion.
Azka mengungkapkan bahwa budaya fast fashion merupakan fenomena yang muncul ketika individu membeli pakaian bukan karena kebutuhan primer, melainkan karena ingin mengikuti tren pasar. Dilansir dari The Feast (2020), fast fashion muncul karena adanya sikap fear of missing out (FOMO) dalam diri individu yang membuat mereka terjebak dalam perilaku impulsif dan konsumtif. Sikap inilah yang memicu implikasi buruk terhadap kestabilan lingkungan. Dampak negatif terhadap lingkungan terjadi karena kurangnya tanggung jawab dalam proses produksi dan konsumsi pakaian yang mengakibatkan akumulasi limbah konsumsi pakaian. Keprihatinan ini selaras dengan data himpunan BPS dalam siaran pers Kemenperin yang menyebutkan bahwa jumlah pabrik sektor industri tekstil dan pakaian di Indonesia meningkat secara ekstrem hingga 18,98 persen di penghujung tahun 2019 dibandingkan beberapa tahun sebelumnya.
Dampak negatif dari budaya fast fashion bagi lingkungan seolah menjadi semangat pendorong Azka untuk mendirikan sebuah komunitas yang bergerak dalam pencegahan efek buruk limbah konsumsi pakaian. Dalam wawancaranya dengan tim Balairung, Azka menjelaskan bahwa tujuan utama dari komunitas Sedekah Baju Yogyakarta adalah untuk menjadi pelopor pencegahan kerusakan lingkungan sebagaimana akibat limbah konsumsi pakaian. “Sebagai tujuannya yang sekunder, komunitas ini bervisi menghubungkan masyarakat yang memiliki pakaian berlebih dan mereka yang kekurangan pakaian,” tambah Azka..
Dalam menjelaskan implementasi tujuan Sedekah Baju Yogyakarta, Azka memaparkan ragam kegiatan yang dilakukan oleh komunitas Sedekah Baju Yogyakarta. Pertama, Sedekah Baju Yogyakarta bekerja sama menjual baju bekas siap pakai secara luring dengan kalangan mahasiswa di beberapa universitas di Yogyakarta. Dalam kegiatan ini, komunitas menjual baju bekas di kampus dan uang hasil penjualannya digunakan untuk kegiatan sosial yang berbasis pengabdian masyarakat. “Baju yang dijual berasal dari donatur dan hibah mahasiswa,” tandas Azka dalam memaparkan sumber baju yang akan dijual.
Kedua, Sedekah Baju Yogyakarta mengadakan kegiatan bertajuk Preloved Online. Kegiatan ini dilaksanakan dengan menjual pakaian bekas layak pakai melalui platform daring. Adapun, dalam penjabaran Azka, platform daring yang digunakan adalah aplikasi Instagram yang banyak diminati oleh masyarakat konvensional. Dalam Preloved Online ini, para mahasiswa juga turut mengambil bagian sebagai partner kolaborasi Sedekah Baju Yogyakarta. Mereka menjadikan komunitas ini sebagai sebuah wadah pengumpulan dana usaha melalui program Preloved Online. “Para mahasiswa biasanya mendapatkan keuntungan 90 persen dari hasil Preloved Online,” ujar Azka.
Ketiga, Azka juga menegaskan bahwa komunitas Sedekah Baju sudah melakukan beberapa aksi kolaboratif dengan berbagai lembaga dan organisasi yang memiliki visi senada. Salah satu komunitas tersebut adalah Zero Waste Indonesia. Dalam kegiatan kolaboratifnya, Sedekah Baju Yogyakarta dan Zero Waste Indonesia mengadakan kampanye sosial tukar baju.“Sinergi Sedekah Baju Yogyakarta dengan TNI dalam mengumpulkan 6 ton baju bekas untuk korban banjir di NTT pada tahun 2021 merupakan kolaborasi yang paling membekas,” imbuh Azka. Selain itu, Sedekah Baju Yogyakarta juga berkolaborasi dengan Karang Taruna Dlingo dan Karang Taruna Jogja Kilometer Nol (Paramadina).
Di samping itu, Syifa Fajrianti, sukarelawan Sedekah Baju Yogyakarta, menjelaskan pengalamannya berkontribusi dalam kegiatan Sedekah Baju Yogyakarta. Syifa mengungkapkan bahwa sebelum datangnya pandemi COVID-19, Sedekah Baju Yogyakarta dapat berinteraksi langsung secara fleksibel dengan para sukarelawan di lapangan. “Meskipun mobilitas dibatasi saat pandemi melanda, Sedekah Baju Yogyakarta menyempatkan diri untuk membagikan baju ke masyarakat akar rumput dan mengadakan bazar pakaian murah di TPA,” papar Syifa melanjutkan aktivitas Sedekah Baju Yogyakarta saat COVID-19 menyeruak di Indonesia.
Sebagai penanggung jawab utama komunitas tersebut, Azka menuturkan bahwa perjuangannya dengan para sukarelawan tak semata-mata mulus. “Banyak sekali hambatan, terutama dari segi internal komunitas,” keluhnya. Azka menyebut bahwa kurangnya SDM Sedekah Baju Yogyakarta menjadi latar belakang kurangnya keoptimalan pemasaran dan publikasi agenda komunitas.
Dalam kacamata Azka, jika Sedekah Baju Yogyakarta mampu menarik perhatian dari segala kalangan, komunitas ini dapat membantu mengurangi intensitas limbah konsumsi pakaian di kawasan Yogyakarta. “Selain problem tersebut, hambatan internal lainnya juga terlihat saat SDM komunitas yang acap kali masih cenderung mengutamakan pekerjaan utama mereka dibandingkan agenda kegiatan Sedekah Baju Yogyakarta,” ungkap Azka.
Hambatan internal ini tidak serta merta menghalangi langkah Sedekah Baju Yogyakarta dalam meraih prestasi. Meski belum memiliki penghargaan yang mengatasnamakan komunitas, Azka selaku pendiri telah berhasil menyabet beberapa prestasi dengan mengusung nama Sedekah Baju Yogyakarta dalam beberapa kompetisi skala Provinsi dan Nasional. Penghargaan yang diraih, antara lain Juara 1 Kompetisi Remaja Pelopor Yogyakarta dan Juara Umrah Gratis Kompetisi BRI Syariah. “Sedekah Baju memang berfokus pada kegiatan sosial, jadi tidak terlalu berorientasi pada prestasi atau penghargaan,” tegas Azka.
Kegiatan sosial selaku fokus utama agenda-agenda Sedekah Baju Yogyakarta memberikan manfaat yang signifikan bagi masyarakat awam. “Komunitas ini beramal sekaligus mampu mencegah persebaran limbah konsumsi pakaian secara konkret,” papar Sri, selaku warga Bumiharjo yang sering mendapatkan bantuan baju bekas dari komunitas Sedekah Baju Yogyakarta. Sang malam telah menghampiri kala Tim Balairung berkesempatan untuk becakap-cakap dengannya. Dalam sudut pandang Sri, warga Bumiharjo mulai membiasakan gaya hidup reuse dan recycle berkat kampanye pengolahan limbah konsumsi pakaian yang diadakan Sedekah Baju Yogyakarta.
Dengan suaranya yang lembut, Sri menyampaikan bahwa yang dilakukan oleh Sedekah Baju Yogyakarta merupakan bentuk pembaruan dari kegiatan sosial yang telah ada. Ia merasa sangat terbantu dengan adanya lapak pakaian murah yang digelar oleh Sedekah Baju Yogyakarta dalam rangka memeriahkan bazar TPA di daerahnya. Masyarakat biasanya berbondong-bondong datang mencari pakaian murah yang layak pakai. “Kalau ada yang sudah tidak bisa dipakai, biasanya dibuat kembali menjadi barang yang lebih menjual,” kata Sri menanggapi imbas positif tersebut sembari sedikit tertawa lega.
Gelora manfaat tersebut tak hanya diamini oleh masyarakat, tetapi juga dari para sukarelawan yang turut berjuang dan berkontribusi dalam komunitas. Ika Katri Nurhayati, sukarelawan Sedekah Baju Yogyakarta, dengan semangatnya yang berapi-api mengutarakan dengan gamblang peran positif komunitasnya dalam insiden kebakaran di Ngemplak, Sleman pada Agustus 2021. “Masyarakat sangat terbantu dengan kiriman baju bekas gratis dari Sebaya,” pungkas Ika. Baginya, sumbangan pakaian gratis dalam situasi genting dan insidental jauh lebih bermanfaat daripada sumbangan uang yang memungkinkan peluang terjadinya akumulasi fenomena fast fashion yang berikutnya. Nada bicara Ika kala itu memancarkan ekspresi penuh syukur, seolah menyiratkan bahwa komunitas Sedekah Baju Yogyakarta dapat menjadi harapan bagi pengentasan masalah fenomena fast fashion.
Penulis: Inayatul Auliya, Salsabila Khoirun’nisa, dan Ria Agem S.
Penyunting: Albertus Arioseto
Fotografer: Zidane Damar