Rabu (9-2), Solidaritas untuk Warga Wadas menggelar konferensi pers “Kronologi Pengepungan Desa Wadas oleh Aparat Kepolisian” secara daring melalui Zoom Meeting. Agenda konferensi pers digelar setelah terjadinya peristiwa pengepungan Desa Wadas pada Selasa (8-2) oleh ribuan polisi bersenjata lengkap. Konferensi pers ini dipimpin oleh Heronimus Heron yang turut menghadirkan tiga narasumber yakni Adi, Kepala Divisi Advokasi WALHI Yogyakarta; Aniati, Solidaritas Perempuan Kinasih; serta Julian Duwi, Tim Kuasa Hukum Warga Wadas. Konferensi pers ini dihadiri oleh ratusan partisipan dari berbagai awak media dan masyarakat untuk memberikan dukungan terhadap perjuangan warga Wadas.
Heronimus Heron mengawali konferensi pers dengan menceritakan kronologi lengkap pengepungan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Pada Senin (7-2) siang, ribuan aparat kepolisian kembali memasuki Wadas setelah sebelumnya pada April-November telah melakukan enam belas kali patroli. Aparat kepolisian kemudian mendirikan tenda di Lapangan Kaliboto yang terletak di belakang Polsek Bener, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo. Malam hari sebelum terjadinya pengepungan, listrik Desa Wadas dipadamkan sementara di desa lainnya tidak. “Senin malam itu terjadi pemadaman listrik, sementara di desa-desa sekitar listriknya tetap menyala,” tambah Heron.
Pada keesokan harinya Selasa (8-2), Heron menyebutkan telah terjadi penangkapan seorang warga Wadas yang sedang sarapan di warung dekat Polsek Bener. Siang harinya, mulai pukul 12.00 WIB aparat mengepung dan menangkap beberapa warga Wadas tak terkecuali perempuan dan anak-anak dengan alasan yang tidak jelas. Aparat juga memasuki rumah-rumah warga secara sepihak hingga menimbulkan trauma bagi para lansia dan anak kecil di dalamnya. “Sementara itu, proses pengukuran lahan yang dilakukan di hutan tetap berjalan,” ungkap Heron.
Adi, Kadiv Advokasi WALHI Yogyakarta menambahkan jika sejak dua hari yang lalu aparat kepolisian memang secara sepihak memasuki pekarangan warga dan merampas alat-alat pertanian milik warga. Ia juga menyampaikan situasi terkini di Desa Wadas pada pagi hari Rabu (9-2) bahwa polisi masih berjaga bahkan melakukan razia ponsel hingga ke rumah-rumah warga. “Saat ini warga sedang di razia ponselnya. Mohon teman-teman turut mengawasi tindakan aparat di Desa Wadas ini,” imbau Adi.
Bagi Adi, peristiwa ini adalah wujud kebengisan negara dalam bertindak dengan dalih pembangunan infrastruktur demi kepentingan rakyat. Kenyataannya, ruang aman yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara tidak berlaku bagi warga Wadas. “Secara organisasi kami mengecam tindakan represif aparat sampai hari ini,” imbuh Adi.
Selaras dengan Adi, Aniati selaku perwakilan dari Solidaritas Perempuan Kinasih turut mengecam tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Ia menentang pernyataan Ganjar Pranowo di media bahwa polisi yang datang hanya menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Padahal kenyataannya berbanding terbalik dengan pengepungan yang terjadi di Desa Wadas. “Kehadiran aparat di Desa Wadas menunjukkan bahwa negara tidak hadir dalam pemenuhan hak kesejahteraan warganya, tetapi merampas kehidupan warga,” tutur Aniati.
Tidak hanya mengecam, melalui Aniati, Solidaritas Perempuan Kinasih juga mendesak pemerintah untuk melakukan lima hal terkait kasus ini. Pertama, menghentikan intimidasi dan kekerasan di Desa Wadas. Kedua, mengembalikan barang milik warga yang dirampas aparat. Ketiga, menarik mundur pasukan Polri dari Desa Wadas serta membebaskan warga dan pendamping yang ditangkap paksa oleh Polsek Bener. Keempat, menghentikan pengukuran tanah yang dilakukan oleh tim pengukur tanah dari Kantor Pertanahan Purworejo. Kelima, memulihkan trauma warga terutama perempuan dan anak-anak.
Menyoal penangkapan sejumlah warga Wadas, Julian selaku perwakilan dari tim kuasa hukum warga mengatakan jika dirinya belum bisa masuk dan melihat kondisi warga secara langsung. Mereka diharuskan melakukan tes swab untuk pencegahan penyebaran virus Covid-19. Menurutnya, dalam proses penegakan hukum tidak seharusnya aparat penegak hukum dikenai standar ganda semacam itu. “Lalu apakah aparat kepolisian yang disana juga sudah melakukan tes swab,” ungkapnya.
Julian juga mengatakan bahwa persoalan yang terjadi di Wadas bukan hanya tentang siapa pemilik tanah. Lebih jauh, tentang bagaimana tanah tersebut memberikan manfaat kepada anak-cucu, serta manfaat bersama bagi para pekerja yang ikut menanam dan merawat. “Jika ada pihak yang melakukan penyempitan terkait hal ini, artinya mereka tidak memahami situasi di lapangan,” tandasnya.
Bebe, salah satu partisipan dari komunitas seni Taring Padi menyatakan bahwa ia dan kawan-kawan komunitas mendukung perlawanan warga Wadas. Mereka yang sedang melakukan pameran ke berbagai kota turut mengkampanyekan kasus yang terjadi di Wadas. “Harapannya semoga kita bisa menyampaikan informasi terbaru yang terjadi di Wadas ke kota-kota yang kami lewati,” ujar Bebe.
Penulis: Aisyah Masruro dan Selma Karamy
Penyunting: Yeni Yuliati
Ilustrator: Samuel Johannes