Sebagai salah satu rangkaian dari serial diskusi diseminasi Annual Report Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, pada Selasa (25-01), LBH Pers Yogyakarta mengadakan sebuah diskusi yang merangkum berbagai kasus terkait kebebasan pers dan berekspresi di Yogyakarta. Diskusi bertajuk “Masih Adakah Kebebasan Pers dan Berekspresi di Yogyakarta?” ini digelar secara daring. Pito Agustin Rudiana, Direktur LBH Pers Yogyakarta dan Siput Lokasari, Koordinator Forum Peduli Tanah NKRI hadir sebagai pembicara.
Diskusi dimulai dengan penjabaran Pito mengenai laporan LBH Pers Yogyakarta terkait kondisi kebebasan pers dan berekspresi di Yogyakarta. Berdasarkan laporan tersebut, sepanjang tahun 2021, tiga kasus ancaman kebebasan pers terjadi di Yogyakarta. Kasus pertama terjadi pada Juli 2021, yakni ketika pihak kepolisian melabeli liputan beberapa jurnalis Kompas sebagai berita hoaks. Ketika itu Kompas mengangkat berita banyak pasien meninggal dikarenakan kehabisan tabung oksigen pada masa pandemi di Rumah Sakit Sardjito. “Namun, berita tersebut ditangguhkan karena mendapat label hoaks dari kepolisian,” tambah Pito.
Kasus selanjutnya dialami oleh Pers Mahasiswa Poros dari Universitas Ahmad Dahlan (UAD) pada Agustus 2021. “Mereka dipaksa menurunkan berita yang mengkritik keharusan mahasiswa untuk membeli buku terbitan universitas demi mendapatkan nilai baik dengan ancaman pembekuan,” terangnya. Sementara itu, kasus terakhir berkaitan dengan diancamnya sejumlah wartawan yang berkolaborasi untuk menginvestigasi problematika tanah desa. Ancaman tersebut dilakukan secara psikologis melalui pesan-pesan elektronik dan penyambangan beberapa oknum yang mengaku polisi ke kantor medianya.
Pito melanjutkan bahwa secara kuantitas, jumlah kekerasan terhadap jurnalis di Yogyakarta lebih sedikit dibanding ketika LBH Pers Yogyakarta dibentuk sembilan tahun lalu. Walaupun demikian, Pito merasa bahwa tidak sepatutnya masyarakat Yogyakarta merasa berbangga hati atau langsung menyimpulkannya sebagai sebuah prestasi. “Ancaman terhadap kebebasan pers dan berekspresi itu masih ada di Yogyakarta,” tegasnya.
Ancaman tersebut dapat dilihat dari penanganan kasus wartawan Udin yang belum tuntas sejak 26 tahun lalu. Ketidakjelasan hukum dan lepas tangannya polisi dalam kasus Udin tersebut membuat Pito merasa bahwa LBH Pers Yogyakarta masih memiliki pekerjaan rumah besar untuk menyelesaikannya. “Kasus ini membuat kami berpikir bahwa Jogja itu kawasan yang aman, tetapi mungkin ancaman riskan muncul,” katanya.
Di sisi lain, LBH Pers Yogyakarta merekam setidaknya empat pelanggaran kebebasan berekspresi. Salah satu pelanggaran kebebasan berekspresi dialami oleh Forum Peduli Tanah (Forpeta) NKRI. Berdasarkan pengalaman Siput sebagai koordinator forum, ketika Forpeta NKRI melakukan aksi di depan kantor Badan Pertanahan Nasional DIY pada tanggal 28 Oktober, aksi tersebut mendapatkan perlakuan represif. “Alat-alat demokrasi kita, termasuk spanduk dan sebagainya itu dirampas. Ada beberapa teman yang mengalami pemukulan dilarang masuk ke kantor BPN tersebut,” ujar Siput.
Selanjutnya, Siput mengutarakan tiga catatan mengenai tata kelola pertanahan Yogyakarta yang sejatinya hendak disampaikan pada aksi 28 Oktober. Ketiga hal itu adalah diskriminasi etnis mengenai kepemilikan tanah, peralihan sertifikat tanah desa kepada badan hukum Kasultanan, serta kacaunya prosedur perpanjangan sertifikat hak guna bangunan di atas tanah negara. Dalam hal ini, Forpeta NKRI telah berupaya melakukan pelaporan kepada instansi terkait. “Namun, tidak ada tindak lanjut walaupun sudah mendapat rekomendasi Komnas HAM dan Ombudsman RI,” sambungnya.
Menghadapi berbagai rintangan dan pengabaian tersebut, Siput bersama Forpeta NKRI hanya dapat berharap agar Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi istimewa karena mentaati konstitusi dan peraturan perundangan yang ada. Hal ini menurutnya dapat dilakukan dengan mengembalikan aset publik seperti tanah desa dan Lapangan Kridosono kepada masyarakat serta menghapuskan diskriminasi soal pertanahan yang urusannya kerap diperpanjang pemerintah. “Kalau apa-apa dilakukan atas dasar peraturan perundangan, kebebasan menyampaikan pendapat itu dijamin oleh UU Pers dan hak asasi, tidak ditolak seperti ini,” pungkasnya.
Penulis: Sekarini Wukirasih, Aldi Haydar Mulia, dan Nur Adzim Aminuddin
Penyunting: Muhammad Alfimansyah
Fotografer: Alika Bettyno Sastro