
©Risa/Bal
Senin (24-1), Kurawal Foundation bersama Galeri Buku Jakarta dan Gusdurian mengadakan forum diskusi buku bertajuk “Kemunduran Demokrasi Indonesia?”. Forum diskusi ini merupakan lanjutan dari bedah buku Demokrasi di Indonesia: Dari Stagnasi ke Regresi? yang berlangsung di Simetri Coffee, Yogyakarta. Gendis S. Widodari, alumnus Departemen Politik dan Pemerintahan UGM, hadir sebagai moderator dalam forum diskusi. Acara diskusi ini menghadirkan tiga pembicara, yakni Abdul Gaffar, Kepala Departemen Politik dan Pemerintahan UGM; Shinta Maharani, Ketua AJI Yogyakarta; dan Donny Ardyanto, Program Manager Kurawal Foundation. Acara diselenggarakan dengan tujuan membangun kesadaran berdemokrasi masyarakat sipil. Sejumlah akademisi, mahasiswa, dan pers turut serta menghadiri forum diskusi.
Gendis mengawali sesi diskusi dengan pembahasan mengenai transisi demokrasi. Sebagai pemantik, ia mengutip subjudul buku, yaitu “Dari Stagnasi ke Regresi?”. Pada dasarnya, menurut Gendis, demokrasi di Indonesia dalam beberapa aspek menunjukkan kemajuan. Gendis melanjutkan dengan membandingkan pola demokrasi di Indonesia dengan negara-negara di Asia. “Demokrasi di Indonesia berjalan cukup lancar terutama dalam hal pemilu,” ujar Gendis. Namun di sisi lain, Gendis juga menambahkan bahwa terdapat kemungkinan demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran.
Menanggapi pernyataan tersebut, Gaffar memaparkan kemunduran demokrasi di negara-negara maju dari sisi sejarahnya. Pada mulanya, demokrasi dianggap sebagai cara terbaik di antara yang terburuk untuk berpolitik. Akan tetapi pada era 90-an, menurut Gaffar, masyarakat negara maju mulai menyadari bahwa demokrasi elektoral berpotensi melegitimasi diktator. “Dari situ lah kemudian masyarakat mulai menyadari bahwa demokrasi perlu ditakar sehat atau tidaknya,” lanjut Gaffar.
Lebih lanjut, Gaffar memaparkan kemunduran demokrasi di negara berkembang seperti di Indonesia yang terlihat pada beberapa aspek. Gaffar melihat polarisasi sebagai salah satu bentuk kemunduran tersebut. Ia beranggapan bahwa polarisasi yang terjadi melampaui kebutuhan pemerintah dalam usaha menduduki bangku politik. “Kita dikondisikan oleh penguasa untuk selalu berpola mendukung atau tidak mendukung mereka, bukan mengawasi kinerja pemerintahannya,” tegas Gaffar.
Menyambung pernyataan Gaffar, Shinta menjelaskan bahwa gejala kemunduran demokrasi Indonesia juga terjadi akibat pembatasan fungsi pengawasan negara oleh masyarakat sipil. Pembatasan tersebut tercermin pada kasus kriminalisasi, kekerasan, sampai peretasan yang dialami aktivis dan pers. “Jika masyarakat tidak melakukan sesuatu maka kekuasaan pemerintah akan semakin absolut dan semakin melemahkan demokrasi,” tegas Shinta.
Dinamika kemunduran demokrasi yang dipaparkan Shinta menunjukkan melemahnya fungsi pengawasan oleh masyarakat sipil. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa masyarakat sipil harus berkonsolidasi dalam melawan kriminalisasi. Melanjutkan pernyataan Shinta, Gaffar beranggapan bahwa masyarakat yang terkonsolidasi juga harus sadar bahwa tugasnya tidak terbatas pada sektor elektoral. “Langkah yang menurut saya perlu dilakukan adalah membalikkan fungsi pengawasan rakyat kepada siapapun yang berkuasa,” tambah Gaffar. Meneruskan pernyataannya, Gaffar menjadikan gerakan mahasiswa sebagai contoh fungsi pengawasan negara oleh masyarakat sipil.
Menurut Gaffar, salah satu elemen masyarakat sipil yang mampu berkontribusi pada proses demokratisasi adalah mahasiswa. Faktanya, beberapa demonstrasi mahasiswa mampu merubah tatanan negara. Melanjutkan pernyataan Gaffar, Shinta beranggapan bahwa gerakan mahasiswa seperti aksi massa RUU KUHP dan Omnibus Law adalah kekuatan yang dominan dalam pemulihan demokrasi Indonesia. “Terlihat jelas bahwa teman-teman melawan rancangan aturan yang tidak masuk akal,” tegas Shinta.
Shinta berpendapat bahwa mahasiswa harus berkontribusi secara aktif terkait isu-isu di masyarakat. Mahasiswa dengan keunggulan seperti sumber daya untuk belajar, tidak boleh memisahkan dirinya dengan apa yang terjadi di dalam masyarakat. Lebih lanjut, Gaffar beranggapan bahwa mahasiswa memiliki kewajiban untuk mengawal isu masyarakat di samping isu internal lewat gerakan dan pers mahasiswa.
Azzam, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yang hadir di acara, memberikan opini yang serupa dengan Gaffar. Menurut Azzam, peran mahasiswa dalam pemulihan demokrasi adalah sebagai pengawal suara masyarakat. “Hal utama yang perlu dilakukan adalah memberikan perhatian yang sama antara isu kampus dengan isu masyarakat demi kepentingan bersama,” tegasnya.
Penulis: Aurelius Aquila Tapiheru dan Maria Adelina Puspaningrum
Penyunting: Valentino Yovenky
Fotografer: Noor Risa Isnanto