Transisi menuju ekonomi hijau sudah banyak dibicarakan masyarakat dunia sebagai respons atas krisis iklim yang semakin parah. Sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa negara, Indonesia juga mulai bergegas ke arah sana. Implementasi pajak karbon digadang-gadang dapat menjadi langkah awal yang signifikan
Perubahan iklim mulai menjadi perhatian bagi banyak orang beberapa waktu belakangan. Hal ini tidak lepas dari dampaknya yang langsung dirasakan oleh manusia. Sebab, iklim memegang peran penting dalam banyak aspek kehidupan bumi termasuk keamanan pangan, kesehatan, dan energi (Bayhaqi, 2019). Jika kondisi iklim berangsur memburuk dari waktu ke waktu, manusia akan merasakan dampak negatifnya.
Perubahan iklim merupakan kondisi unsur iklim yang berubah, baik pola maupun intensitas pada periode waktu yang dapat dibandingkan (Sumampouw, 2019). Secara umum, perubahan ini berlangsung pada kurun waktu yang lama dengan perubahan yang lambat (Aldrian dkk., 2011). Dikutip dari situs United Nations Indonesia, perubahan ini merupakan kejadian alamiah yang dapat terjadi akibat siklus matahari, tetapi sejak tahun 1800-an manusia menjadi penyebab utama akibat emisi dari bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak, dan gas. Menurut profesor ilmu bumi Stanford University, Rob Jackson, emisi karbon dunia pada 2019 menjadi yang tertinggi, yakni mencapai 37 miliar ton. Emisi pada 2019 tersebut mengalami kenaikan sebesar 0,6% jika dibandingkan dengan tahun 2018. Kenaikan emisi karbon tersebut menyebabkan suhu bumi naik, bahkan suhu permukaan global selama lima tahun terakhir merupakan yang terpanas sejak tahun 1850 (IPCC, 2021). Tidak hanya itu, BBC juga menyebutkan jumlah hari dengan total suhu di atas 50oC meningkat setiap tahun dalam empat dekade terakhir.
Indonesia sebenarnya memiliki peranan penting dalam upaya pengendalian iklim. Negara yang disebut menjadi paru-paru dunia ini memiliki hutan yang sangat luas untuk dapat menjaga suhu bumi. Seperti yang sudah diketahui bahwa hutan dapat menjadi penyerap karbon yang efektif (Aminudin, 2008). Sayangnya luas lahan di Indonesia berkurang dengan pesat. Menurut data dari BPS, dalam 6 tahun terakhir saja angka deforestasi di Indonesia mencapai 2,1 juta hektare. Hal ini akan berdampak buruk, mengingat deforestasi merupakan salah satu pemicu dampak besar dari perubahan iklim (Sirait, 2019).
Sebagai negara dengan populasi yang sangat besar, Indonesia menyumbang emisi karbon yang besar. Berdasarkan data dari World Research Institute, Indonesia menyumbang 2% dari total emisi karbon dunia. Angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai salah satu dari 10 negara penyumbang emisi terbesar di dunia. Dengan emisi karbon sebesar itu, akibat dari perubahan iklim berdampak pada kehidupan masyarakat secara signifikan. Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana, hanya dalam waktu empat bulan pertama pada tahun 2021, terdapat 1.205 bencana alam yang didominasi oleh banjir, puting beliung, dan tanah longsor. Intensitas hujan yang tinggi di Indonesia menjadi penyebab utama sering terjadinya bencana banjir. Masalah iklim yang berpengaruh pada peningkatan suhu akan mengubah pola dan distribusi curah hujan sehingga efeknya adalah kelestarian sumber daya air, produktivitas tanaman, serta aktivitas masyarakat pun akan terganggu (Julismin, 2013).
Revolusi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi sejak abad ke-20, bukan hanya meningkatkan kemampuan ekonomi negara-negara di seluruh dunia, tetapi juga meningkatkan penggunaan sumber daya alam. Eksploitasi dan penggunaan sumber daya alam yang tidak bijak menyebabkan konsumsi energi yang berlebihan dan kerusakan lingkungan. Emisi gas rumah kaca telah mengancam ruang hidup seluruh umat manusia. Oleh karena itu, dalam rangka mengurangi dampak perubahan iklim global dan mencapai pembangunan berkelanjutan, negara-negara di seluruh dunia mulai memprioritaskan pembangunan hijau (He dkk., 2022).
Upaya Pemerintah Menuju Ekonomi Hijau
Dampak perubahan iklim yang juga dirasakan oleh masyarakat Indonesia mendorong pemerintah untuk mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyebutkan ekonomi hijau merupakan salah satu strategi utama transformasi ekonomi dalam jangka menengah panjang. Strategi ini juga akan membantu Indonesia dalam mewujudkan target tujuan pembangunan berkelanjutan.
Menurut United Nations Environment Programme (UNEP) (2011) yang dikutip dari Hidayatullah (2020), Ekonomi Hijau (Green Economy) merupakan sistem ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia tanpa mengorbankan hak generasi yang akan datang dalam menikmati sumber daya alam. Selain itu, berdasarkan situs resmi UNEP, ekonomi hijau juga dapat didefinisikan sebagai ekonomi yang rendah karbon, efisiensi sumber daya, dan inklusif secara sosial. Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa ekonomi hijau adalah bentuk kepedulian akan generasi mendatang. Kepedulian tersebut dapat dimulai dengan menurunkan emisi karbon.
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) tahun 2015 menghasilkan Kesepakatan Paris yang bertujuan untuk membatasi kenaikan suhu global tidak lebih dari 2oC. Komitmen setiap negara terhadap Kesepakatan Paris tercantum dalam Nationally Determined Contribution (NDC). Dalam dokumen NDC-nya, Indonesia menunjukkan komitmen dalam menurunkan emisi gas rumah kaca pada tahun 2030 demi mewujudkan ekonomi hijau dan pembangunan berkelanjutan. Indonesia menargetkan penurunan emisi sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan sampai dengan 41% dengan dukungan internasional dari kondisi tanpa aksi atau business as usual (Masripatin dkk., 2017). Persetujuan Indonesia terhadap kesepakatan ini dibuktikan dengan adanya UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change.
Berdasarkan dokumen NDC terbaru yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2021, Indonesia tidak mengubah target penurunan emisi. Sebagai salah satu dari 10 negara penghasil emisi terbesar di dunia, angka-angka tersebut menuai kritikan karena tidak merefleksikan ambisi Indonesia dalam menanggapi krisis iklim. Ambisi yang dimaksud bukan hanya semata-mata memenuhi komitmen kesepakatan internasional, tetapi juga meminimalkan risiko biaya yang harus dikeluarkan untuk membenahi masalah iklim di masa yang akan datang (Jati, 2021). Apabila ekonomi dijadikan sebagai dalih untuk tidak berambisi dalam menanggapi isu perubahan iklim, maka akan terjadi hubungan yang resiprokal antara apa yang manusia perbuat dan apa yang alam akan berikan. Terlebih lagi, jika dunia menjadi 2,0-2,6 oC lebih hangat pada pertengahan abad ini, PDB Indonesia bisa menyusut 16,7-30,2% akibat dari perubahan iklim. Keadaan tersebut dapat tetap terjadi walaupun nantinya Kesepakatan Paris dipenuhi (Bappenas, 2021). Oleh karena itu, ambisi dalam pengambilan aksi mengenai isu perubahan iklim menjadi hal yang sangat krusial.
Menyongsong Naiknya Emisi dengan Pajak Karbon
Menurut Lisa Wijayani, Manager Program Ekonomi Hijau Institute for Essential Services Reform, penerapan pajak karbon bisa menjadi awal yang baik dalam mendorong upaya pengurangan emisi. Pajak karbon utamanya akan dikontribusikan dari sektor ketenagalistrikan, transportasi, dan industri sebagai penyumbang emisi terbesar di Indonesia pada sektor energi (Simanjuntak, 2021). Payung hukum menjadi prakondisi untuk pemberlakuan kebijakan pajak karbon. Payung hukum yang dalam hal ini berbentuk Undang-Undang nantinya akan memberikan mandat kepada otoritas pemungut pajak untuk menerapkan pajak pada setiap emisi karbon yang dikeluarkan (Irama, 2019).
Payung hukum pajak karbon lahir melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Sebagai tahap awal, pajak karbon akan diterapkan pada sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batubara pada 1 April 2022 dengan menggunakan mekanisme pajak berdasarkan pada batas emisi. Tarif Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen diterapkan pada jumlah emisi yang melebihi cap yang ditetapkan (Kemenkeu, 2021). Angka tersebut relatif rendah apabila dibandingkan dengan tarif pajak karbon pada negara maju. Namun, hal tersebut tidak bisa dibandingkan dengan kekuatan ekonomi negara berkembang, seperti Indonesia (Saputra, 2021). Riset yang meliputi wilayah Asia dan Pasifik juga menganjurkan bahwa implementasi pajak karbon dapat dilakukan secara bertahap dan disesuaikan dengan kondisi setiap negara (Ferdian, 2021).
Pemahaman masyarakat terkait pajak karbon menjadi sangat penting demi implementasinya di masa yang akan datang, terutama sektor bisnis yang menjadi salah satu target utama pajak karbon (Hindarto, 2021). Pajak karbon adalah pajak yang dikenakan pada pemakaian bahan bakar yang mengandung hidrokarbon atau biasa disebut bahan bakar fosil seperti batubara, petroleum, dan gas alam (Hoeller & Wallin, 1991). Pada prinsipnya, pajak karbon dikenakan kepada siapapun yang mengeluarkan emisi dan diwajibkan membayar pungutan yang ditetapkan.
Percepatan penerapan pajak karbon nantinya akan menekan para pencemar untuk mengendalikan produksi emisi karbon sehingga target penurunan emisi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 dapat tercapai (Saputra, 2021). Dengan kata lain, pajak karbon merupakan langkah pemerintah supaya pelaku usaha bertanggung jawab secara signifikan terhadap karbon yang dihasilkan dari sistem produksi mereka (Pitoko, 2021). Penerapan pajak karbon akan mendorong masyarakat dan pelaku usaha untuk mengurangi atau bahkan beralih dari bahan bakar fosil ke energi bersih atau energi baru terbarukan. Langkah ini bisa menjadi stimulus dalam memulai penerapan ekonomi hijau yang berkelanjutan (Ferdian, 2021).
Implementasi dari pajak karbon mungkin tidak akan semulus yang dibayangkan. Dikutip dari Selvi dkk. (2020), pengenaan pajak karbon pada dasarnya akan memunculkan berbagai polemik karena berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi kesejahteraan sosial, bahkan dapat merusak daya saing industri. Kisruh yang terjadi di Paris pada tahun 2018 di mana Perdana Menteri Macron menaikkan secara sepihak tarif pajak karbon tanpa melihat situasi masyarakat sehingga harga bensin dan minyak solar melambung tinggi, dapat menjadi referensi bagi pemerintah. Bagaimana keputusan yang tidak dipikirkan dengan matang memberikan dampak negatif khususnya bagi masyarakat luas. Oleh karena itu, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait pajak karbon haruslah bijaksana dan memperhatikan segala aspek.
Pajak karbon memiliki probabilitas untuk menimbulkan perdebatan atau bahkan penentangan dari masyarakat dan sektor bisnis. Namun, pajak karbon tetap menjadi salah satu mekanisme efektif untuk membatasi emisi yang lebih tinggi (Hindarto, 2021). Meskipun pada awal implementasinya dapat menyebabkan gejolak, inflasi, dan harga barang yang meroket, hal itu hanya akan berlangsung sementara karena sejatinya ekonomi akan terus mencari keseimbangannya. Sementara itu, apabila iklim sudah sangat krisis, akan sulit untuk memulihkannya dengan cepat (Ferdian, 2021). Pemerintah dituntut aktif dalam mensosialisasikan pajak karbon kepada masyarakat khususnya dunia industri dan para pelaku usaha sebelum diterapkan secara resmi pada tahun 2022. Informasi yang jelas dan transparan mungkin sekiranya dapat meminimalisasi penolakan yang terjadi pada masa-masa awal implementasi pajak karbon.
Masuknya pajak karbon ke dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan merupakan langkah yang progresif dalam mengurangi emisi juga sebagai permulaan dari pembangunan rendah karbon. Dilansir dari CNBC Indonesia, Fabby Tumiwa menyampaikan bahwa jangan menjadikan pajak karbon semata-mata hanya untuk menambal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, tetapi harus selaras dengan tujuannya untuk mengurangi emisi karbon. Selain itu, pajak yang dihasilkan nantinya jangan disatukan dengan pendapatan pajak negara. Melainkan dibuat kantong khusus sehingga sebagian besar dari pendapatan pajak karbon dapat digunakan untuk pembangunan yang juga rendah karbon, misalnya untuk subsidi energi terbarukan, riset teknologi hijau, insentif industri hijau, dan lain-lain (Hindarto & Samyanugraha, 2021). Kesungguhan dari pemerintah dan kesanggupan dari masyarakat dalam mengeksekusi kebijakan ini akan menjadi kunci implementasi pajak karbon untuk mencapai ekonomi hijau.
Penulis : Nanang Maulana F. dan Nadya Valentina Putri (Magang)
Editor : Rachel Farahdiba R
Illustrator : Hana Zusma Laila (Magang)
DAFTAR PUSTAKA
Aldrian, E., Karmini, M., & Budiman. (2011). Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di Indonesia. BMKG.
Bappenas (2020). Diskusi NDC dalam Upaya Mengurangi Emisi Nasional. Diakses pada 20 November 2021, dari http://greengrowth.bappenas.go.id/diskusi-ndc-dalam-upaya-mengurangi-emisi-nasional/
Bappenas. (2021). A Green Economy For A Net-Zero Future: How Indonesia Can Build Back BetterAfter COVID-19 with the Low Carbon Development Initiative (LCDI). Jakarta: Bappenas.
Bayhaqi, A. (2019). Ketidakpastian dalam Pemodelan Perubahan Iklim | OSEANA. https://oseana.lipi.go.id/oseana/article/view/30
Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim. 2021. Updated Nationally Determined Contribution Republic of Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta. 46 hal.
Economics Department Working papers 106.
Ferdian, D. (2021, Juli 24). Mencermati Peluang dan Tantangan Pajak Karbon di Indonesia. Retrieved November 25, 2021, from Mongabay: https://www.mongabay.co.id/2021/07/24/mencermati-peluang-dan-tantangan-pajak-karbon-di-indonesia/
He, R., Baležentis, T., Štreimikienė, D., & Shen, Z. (2022). Sustainable Green Growth in Developing Economies: An Empirical Analysis on the Belt and Road Countries. Journal of Global Information Management (JGIM), 30(6), 1-15. http://doi.org/10.4018/JGIM.20221101
Hidayattuloh, M.H., Bambang, A.N., & Amirudin, A. (2020). The Green Economy Concept as Development Strategy of Cempaka Tourism Village toward Sustainable Tourism Development. The Indonesian Journal of Planning and Development , 5 (1), 30-37.
Hindarto, D. (2021, Oktober 11). Implementasi Pajak Karbon di Tahun 2022, Antara Rencana dan Tantangan. Retrieved November 23, 2021, from Mongabay: https://www.mongabay.co.id/2021/10/11/implementasi-pajak-karbon-di-tahun-2022-antara-rencana-dan-tantangan/
Hindarto, D. & Samyanugraha, A. (2021, Juni 11). Pajak Karbon dan Harapan Pembangunan Indonesia Berkelanjutan. Retrieved November 23, 2021, from Mongabay: https://www.mongabay.co.id/2021/06/11/pajak-karbon-dan-harapan-pembangunan-indonesia-berkelanjutan/
Hoeller, Peter & Markku Wallin. 1991. Energy Prices, Taxes and Carbon Dioxide Emissions. OECD
Irama, A. (2019). Potensi Penerimaan Negara dari Emisi Karbon: Langkah Optimis Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia. Jurnal Volume Artha , 3 (2), 133-142.
Jati, G. (2021, Oktober 6). Simak 6 Perbedaan pada NDC Indonesia Tahun 2015 dan NDC Hasil Pemutakhiran 2021. Retrieved November 14, 2021, from IESR: https://iesr.or.id/simak-6-perbedaan-pada-ndc-indonesia-tahun-2015-dan-ndc-hasil-pemutakhiran-2021
Kemenkeu. (2021, Oktober 13). Pajak Karbon sebagai Instrumen Pengendali Perubahan Iklim. Retrieved November 24, 2021, from Kemenkeu: https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/pajak-karbon-sebagai-instrumen-pengendali-perubahan-iklim/
Masripatin, N., Rachmawaty, E., Suryanti, Y., Setyawan, H., Farid, M., & Iskandar, N. (2017). Strategi Implementasi Nationally Determined Contribution (NDC). Jakarta: Ditjen PPI Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Pitoko, R. (2021, Oktober 18). Mengenal Pajak Karbon yang Siap Diterapkan Pemerintah Tahun Depan. Retrieved November 28, 2021, from IDN Times: https://www.idntimes.com/business/economy/ridwan-aji-pitoko-1/mengenal-pajak-karbon-yang-siap-diterapkan-pemerintah-tahun-depan/3
Saputra, A. (2021). Pajak Karbon Sebagai Sumber Penerimaan Negara dan Sistem Pemungutannya. Jurnal Anggaran dan Keuangan Negara Indonesia , 3 (1), 57-71.
Selvi, Rahmi, N., & Rachmatulloh, I. (2020). Urgensi Penerapan Pajak Karbon Di Indonesia. Jurnal Reformasi Administrasi , 7 (1), 29-34.
Simanjuntak, U. (2021, Oktober 28). Menyongsong Naiknya Emisi Pasca Pandemi, Aksi Iklim Indonesia Dinilai Sangat Tidak Memadai. Retrieved November 15, 2021, from IESR: https://iesr.or.id/menyongsong-naiknya-emisi-pasca-pandemi-aksi-iklim-indonesia-dinilai-sangat-tidak-memadai
Sirait, Y. H. (2019). Komitmen Terkait Deforestasi dan Perubahan Iklim: Perspektif dari Doktrin Parens Patriae. Jatiswara, 34.
Sumampouw, O. J. (2019). Perubahan Iklim Dan Kesehatan Masyarakat. Deepublish.