Dengan keistimewaan intelektual yang dimilikinya, mahasiswa menjadi kekuatan moral ketika Indonesia masih merangkak. Untuk menampung segala kontribusi intelektual tersebut, sebuah wadah yang lazim disebut pemerintahan mahasiswa dibentuk. Namun, seiring berjalannya waktu, wadah ini disinyalir oleh beberapa pihak semakin tidak relevan. Pada akhirnya timbul pertanyaan, masihkah kita memerlukan pemerintahan mahasiswa ini?
Kemunculan pemerintahan mahasiswa di UGM ditandai dengan lahirnya Dewan Mahasiswa (Dema) UGM pada tahun 1950. Luthfi Hamzah, Ketua BEM KM UGM 2011, menjelaskan bahwa pembentukan Dema berfungsi untuk menaungi semua aktivisme mahasiswa UGM yang terkotak-kotakan berdasarkan politik aliran menjadi satu di bawah bendera kampus. Luthfi mengungkapkan bahwa mahasiswa UGM membentuk Dema agar privilese mengenyam pendidikan yang mereka miliki dapat berguna bagi Indonesia. “Mereka bertujuan untuk menjadi kekuatan moral lewat kontribusi intelektual ketika Indonesia baru merdeka,” ujar Luthfi.
Luthfi juga menjelaskan bahwa pemerintahan mahasiswa di UGM sudah mengadopsi bentuk pemerintahan layaknya negara sejak awal didirikan. Hal ini dibuktikan dengan dijalankannya fungsi eksekutif oleh Dema dan fungsi legislatif oleh Majelis Mahasiswa. “Karena mengatasnamakan universitas, perlu ada mekanisme kontrol di internal mahasiswa agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan,” terang Luthfi. Meskipun pemerintahan mahasiswa terkesan seperti negara, menurut Luthfi, filosofi dasar dari pemerintahan mahasiswa adalah menjadi melting pot, yaitu tempat berkumpulnya gerakan moral dan ideologi yang berbeda-beda.
Terkait hal tersebut, Syahdan Husein, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya angkatan 2015, mengungkapkan bahwa Dema sebagai gerakan moral bukanlah sekadar filosofi semata. Ia menjelaskan bahwa Dema aktif terlibat dalam membangun jembatan di berbagai daerah. Tak hanya itu, Syahdan menjelaskan bahwa Dema pernah menggerebek kantor pers yang menarasikan muatan pro terhadap kolonialisme. “Hal tersebut membuktikan Dema sebagai gerakan moral dan juga perjuangan politik mahasiswa untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia,” ujar Syahdan.
Joko Susilo, Pegiat Magister Administrasi Publik Corner UGM, menjelaskan bahwa bentuk Dema bertahan hingga 1978. Kemudian, Dema dibekukan karena adanya NKK/BKK pada tahun tersebut. Pria yang akrab dipanggil Josu tersebut mengungkapkan bahwa tujuan dari NKK/BKK adalah untuk menjaga stabilitas politik Soeharto. “Implikasi dari kebijakan tersebut adalah tidak bolehnya mahasiswa melakukan aktivisme di kampus,” terang Josu.
Mengutip arsip Balairung, pemerintahan mahasiswa di UGM pasca NKK/BKK mengalami banyak perubahan sampai akhirnya terbentuk Keluarga Mahasiswa (KM) UGM pada tahun 1992. KM UGM merupakan hasil kompromi mahasiswa atas SK Mendikbud No. 0475/U/1990 yang melahirkan Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi. Pada akhirnya, kosongnya pelaksana fungsi eksekutif melahirkan BEM KM UGM yang melengkapi KM UGM.
Josu menjelaskan bahwa BEM KM UGM dan Senat KM UGM adalah dua kekuatan yang paling sentral dalam pemerintahan mahasiswa pasca-Reformasi 1998. Kemudian, digagaslah Pemilihan Mahasiswa (Pemilwa) yang berbasis partai mahasiswa. “Bersamaan dengan itu, istilah presiden mahasiswa mulai digunakan,” terang Josu.
Luthfi menjelaskan bahwa bentuk presidensial yang digunakan oleh BEM KM UGM adalah bentuk sindiran kepada Pemerintahan Soeharto. Menurutnya, proses tercetusnya konsep tersebut tak terlepas dari euforia orde baru dan kesakralan citra Presiden Soeharto yang melebar ke kampus kala itu. “Mahasiswa ingin menunjukkan kalau di kampus bisa juga ada presiden dan partai selain Golkar,” tutur Luthfi.
Pelemahan Akibat Intervensi Pihak Eksternal
Pada zaman sekarang, Josu menjelaskan bahwa neoliberalisasi adalah salah satu tantangan utama pemerintahan mahasiswa. Agenda neoliberalisasi ini, ungkap Josu, berusaha membuat mahasiswa lebih berfokus kepada prestasi akademik serta menyelaraskan diri sesuai standar kebutuhan pasar. Ini tentunya mereduksi nalar kritis mahasiswa dan mendorong organisasi dan gerakan mahasiswa menuju “mesin apolitis”. “Pasca PTN-BH disahkan pada 2013, mahasiswa tidak lagi dituntut untuk melakukan gerakan kolektif, melainkan meningkatkan keterampilan individu,” ujar Josu.
Selain neoliberalisasi, dalam skripsinya, Josu juga menyoroti kebijakan dalam Peraturan Rektor UGM Nomor 1 Tahun 2017 yang secara substantif berisi aspek administratif mengenai kegiatan kemahasiswaaan. Namun, kebijakan tersebut secara politis mengubah BEM sebagai bagian dari UKM Bakat Minat “Kepemimpinan”. Josu menjelaskan menjadikan BEM sebagai UKM bertolak belakang dengan konsep pemerintahan mahasiswa dan hak demokrasi mahasiswa. Dampak lanjutannya, menurut Josu, adalah membuat gerakan mahasiswa terpecah ke dalam unit bakat minat sehingga mulai berkurangnya agenda strategis organisasi-gerakan mahasiswa.
Mirip dengan Josu, Luthfi menyebut Peraturan Rektor UGM Nomor 1 Tahun 2017 mendelegitimasi pemerintahan mahasiswa. Luthfi menolak kebijakan tersebut karena menurutnya BEM dan UKM memiliki perbedaan. UKM menurutnya hanya diikuti oleh orang yang memiliki minat terhadap UKM tersebut. Sementara itu, KM UGM yang dikelola oleh BEM, anggotanya adalah seluruh mahasiswa UGM. “Ini sangat jauh dari filosofi yang seharusnya diamalkan oleh pemerintahan mahasiswa sejak awal berdiri,” tukasnya.
Dzaki Aribawa, salah satu anggota Aliansi Mahasiswa UGM, menyatakan bahwa campur tangan kampus memang lebih mudah terjadi kepada lembaga-lembaga formal seperti pemerintahan mahasiswa. Menurut Dzaki, pada situasi seperti ini kanal pergerakan yang tidak terpaku pada bentuk struktural akan sangat diperlukan agar pergerakan lebih terbuka. “Dengan lembaga pergerakan yang tidak struktural, pergerakan akan lebih inklusif dan pengawalannya juga lebih maksimal,” ujar Dzaki.
Pemerintahan Mahasiswa dalam Gerakan Mahasiswa
Dalam konteks gerakan mahasiswa, Syahdan menyebut bahwa pemerintahan mahasiswa terlalu birokratis ketika melakukan pengawalan isu. Hal yang ia maksud berkaitan dengan proses rapat, tanggung jawab divisi, dan pertimbangan-pertimbangan politik kampus. Sementara itu, pengawalan isu yang dilakukan tanpa pemerintahan mahasiswa jauh lebih cair. “Tidak perlu mempertimbangkan proses politik kampus yang memiliki banyak kepentingan,” imbuh Syahdan.
Sehaluan dengan Syahdan, Luthfi juga mengkritik tren pemerintahan mahasiswa yang semakin birokratis dalam 10 tahun terakhir. Menurutnya ini sudah keluar dari kodrat pemerintahan mahasiswa sebagai melting pot moralitas. Luthfi lalu membandingkan dengan kondisinya dahulu. Peredaman konflik internal keluarga mahasiswa pada zamannya dilakukan secara kekeluargaan. Surat-menyurat, interpelasi, dan pengeluaran SK membuat penafsiran pemerintahan mahasiswa menjadi terlalu birokratis. “Harusnya, pemerintahan mahasiswa berpegang pada prinsip moralitas dan intelektualitas dengan menyelesaikan masalah internal berdasarkan asas kekeluargaan,” tutur Luthfi.
Syahdan menjelaskan bahwa kehadiran lembaga-lembaga seperti partai mahasiswa dan senat mahasiswa justru akan meminimalisasi minat partisipasi mahasiswa terhadap gerakan mahasiswa. “Beberapa kali saya ikut aksi bersama BEM KM UGM, orangnya itu-itu saja dan isu yang diangkat hanya sedikit,” terangnya. Ia menganggap hal tersebut terkesan seperti gerakan mahasiswa dimonopoli oleh pemerintahan mahasiswa.
Oleh karena itu, Syahdan berpendapat bahwa gerakan mahasiswa masih tetap bisa berjalan tanpa adanya pemerintahan mahasiswa. Syahdan mengacu pada pengalaman pribadinya yang masih dapat berpartisipasi dalam gerakan mahasiswa tanpa terikat dengan lembaga atau jabatan struktural apapun. “Terdapat kekosongan partisipasi dari pemerintahan mahasiswa yang membuat hal tersebut dapat terjadi,” jelas Syahdan.
Senada dengan Syahdan, Dzaki berkomentar bahwa mahasiswa tetap dapat bergerak tanpa pemerintahan mahasiswa. Ada dua hal yang menyebabkan hal tersebut dapat terjadi. Pertama, tanggung jawab moral yang tinggi tapi sumber daya yang terbatas dari pemerintahan mahasiswa. Kedua, lembaga mahasiswa tidak akan pernah merepresentasikan semua mahasiswa, akan ada saja mahasiswa yang tidak setuju dengan pernyataan yang dikeluarkan oleh pemerintahan mahasiswa. “Semua orang berhak menyatakan sikapnya lewat kanal-kanal yang ada, tidak harus terbatas lewat pemerintahan mahasiswa,” sambung Dzaki.
Tak Ada Keluarga dalam Keluarga Mahasiswa
Menanggapi kendala BEM KM UGM pada periode kepemimpinannya, Farhan, Ketua BEM KM UGM 2021, mengakui bahwa sikap yang diambil BEM KM UGM masih belum dapat mewakili KM UGM. Menurutnya, pernyataan sikap yang dikeluarkan oleh BEM KM UGM selama ini hanya dianggap sebagai sikap dari pengurus BEM KM, bukan mahasiswa UGM secara keseluruhan. Sementara itu, pihak di luar UGM akan menganggapnya sebagai sikap dari KM UGM. “Hal tersebut perlu disepakati, agar mencapai hasil final dan tercipta tata kelola yang lebih baik untuk KM UGM,” tegasnya.
Farhan menyadari betul ada kekurangan prasyarat dan legitimasi pemerintahan mahasiswa dalam pengelolaan yang berujung pada masalah representasi. Menurutnya, pemerintahan mahasiswa harus memiliki legitimasi politik, legitimasi sosial, dan legitimasi ekonomi. Namun, pemerintahan mahasiswa hanya memiliki legitimasi politik yang mudah diganggu gugat. “Sekarang itu hanya bergantung pada pendekatan kultural, siapa yang memiliki massa paling banyak,” ujar Farhan.
Ketidakrelevanan pemerintahan mahasiswa juga tampak dari pergelaran Pemilwa. Ahmad Rifqi, salah satu anggota Koalisi Reformasi KM UGM, menjelaskan bahwa rendahnya jumlah pemilih pada Pemilwa kemarin yang hanya menyentuh angka 27 persen membuktikan hal tersebut. Ia berpendapat angka tersebut menunjukkan kegagalan konsep representasi yang digunakan oleh pemerintahan mahasiswa. “Kalau tidak diakui oleh rakyatnya, pemerintah tidak memiliki objek untuk diperintah,” sambung Rifqi.
Bukan hanya tahun kemarin, Josu mengungkapkan tren jumlah pemilih di Pemilwa UGM beberapa tahun sebelumnya juga selalu rendah. Jumlah pemilih pada Pemilwa kerap hanya menyentuh angka 6-7 ribu, padahal mahasiswa aktif UGM ada sekitar 40 ribu orang. Josu percaya hal tersebut merupakan salah satu alasan polemik mengenai pemerintahan mahasiswa terus terjadi. “Rendahnya jumlah pemilih melahirkan pertanyaan tentang representasi BEM dan Senat,” ujar Josu.
Rifqi juga menyoroti rendahnya partisipan kongres akhir tahun KM UGM pada tahun kemarin. Berdasarkan penjelasan Rifqi, forum itu hanya dihadiri tidak lebih dari setengah jumlah partisipan yang seharusnya. Lewat kejadian tersebut, ia pun berpendapat bahwa pada saat ini mahasiswa UGM sudah tidak peduli dengan KM UGM. “Jadi, penyebutan keluarga mahasiswa ini perlu dipertanyakan lagi, apakah benar-benar seperti keluarga?” ujar Rifqi.
Terus Bermasalah, Selanjutnya Bagaimana?
Menyoal relevansi dari keberadaan pemerintahan mahasiswa, Syahdan menilai hal tersebut dapat dilihat dari tujuan dan tolok ukur keberhasilannya. Menurutnya, pemerintahan mahasiswa sekarang tidak relevan karena tidak mempunyai tujuan yang jelas. Selain itu, Syahdan juga menganggap bahwa pemerintahan mahasiswa sarat konflik yang menyita banyak waktu. “Akibatnya, pemerintahan mahasiswa minim berkontribusi pada gerakan mahasiswa,” jelas Syahdan.
Menurut Luthfi, segala permasalahan yang dihadapi pemerintahan mahasiswa menunjukkan lembaga ini semakin jauh dari filosofi pembentukannya. Kendati demikian, Luthfi menjelaskan bahwa permasalahan-permasalahan yang timbul merupakan akibat dari aktor-aktor dalam pemerintahan mahasiswa yang tidak beres. Menghadapi hal ini, ia menyarankan seluruh mahasiswa untuk bekerja sama dan saling mendukung satu sama lain. “Reformasi pemerintahan mahasiswa yang lebih inklusif dapat terwujud dengan sikap kolaboratif,” imbuh Luthfi.
Senada dengan Luthfi, Josu mengatakan kritik-kritik yang terus muncul menunjukkan pemerintahan mahasiswa semakin tidak relevan dan kontekstual. Untuk mengatasi hal itu, Josu berpendapat bahwa mahasiswa perlu membuat kajian guna menciptakan tata kelola pemerintahan mahasiswa yang lebih baik. Gagasan-gagasan yang muncul harus dijadikan landasan empiris untuk melakukan perubahan. “Pekerjaan utama mahasiswa adalah menciptakan model pemerintahan mahasiswa yang kontekstual,” pungkas Josu.
Penulis: Cahya Saputra, Dhestia Arrizqi, dan M. Fahrul Muharman
Penyunting: Aldyth Nelwan Airlangga
Fotografer: Fransiskus Asisi Anggito Enggarjati