Dominasi nilai-nilai patriarki di dalam masyarakat modern masih menjerat peran dan identitas perempuan. Perempuan sebagai individu tidak memiliki kebebasan atas dirinya sendiri.
Judul Buku: Susu dan Telur
Judul Asli: 夏物語 (Natsumonogatari)
Penulis: Kawakami Mieko
Penerjemah: Asri Pratiwi Wulandari
Penerbit: Taman Moooi Pustaka
Tahun terbit: 2021
Tebal: iv+503 halaman
ISBN: 978-623-93966-6-4
Novel Susu dan Telur karya Kawakami Mieko menceritakan berbagai fenomena yang berkaitan dengan kehidupan perempuan modern di tengah masyarakat Jepang yang erat dengan patriarki. Patriarki adalah struktur sosial, dan budaya yang didominasi oleh laki-laki dengan melakukan penindasan dan eksploitasi terhadap perempuan (Wallaby, 1989). Masyarakat dengan struktur sosial patriarkal mengatur berbagai peran dan identitas perempuan termasuk hal-hal yang dimiliki perempuan pada tubuhnya, di dalam dirinya.
Susu dan Telur terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berlatar di musim panas tahun 2008 dengan narator dan karakter utama seorang penulis lepas bernama Natsuko Natsume. Natsuko kedapatan kunjungan dari kakak perempuannya Makiko dan keponakannya Midoriko. Kedatangan Makiko tidak hanya untuk liburan musim panas di Tokyo, dia memiliki maksud lain untuk membicarakan tentang operasi implan payudara di sebuah klinik dengan harga terjangkau.
Kemudian, bagian kedua novel ini menceritakan tentang keinginan Natsuko untuk memiliki anak seorang diri dengan bantuan donor sperma. Eksplorasi tentang dunia perempuan di dalam buku ini tidak hanya bertumpu pada cerita Natsuko dan Makiko yang masing-masing menjadi sorotan utama dalam dua bagian novel. Tokoh-tokoh pendukung di dalam novel ini juga berhasil membangun cerita betapa kompleksnya dunia keperempuanan di era modern saat ini.
Otonomi Perempuan atas Tubuhnya
Otonomi tubuh dipahami sebagai kemampuan diri atas pengendalian tubuh yang didasari motif, alasan, atau nilai-nilai yang dimiliki seseorang. Setiap individu memiliki hak penuh dan kendali atas tubuhnya, tidak terkecuali perempuan. Narasi tentang otonomi tubuh perempuan terasa jelas di dalam novel. Meskipun novel ini terbagi menjadi dua bagian yang berbeda, ide utama mengenai otonomi perempuan menjadi sorotan yang sama di kedua bagian novel.
Pada bagian pertama, kebebasan perempuan atas dirinya dibawakan oleh keinginan Makiko untuk melakukan operasi implan payudara. Keinginan Makiko bukan tanpa sebab. Dia ingin melakukan operasi implan payudara karena pekerjaannya sebagai seorang hostes di sebuah pub di Osaka. Makiko sangat terobsesi dengan payudara miliknya, terlihat dari usaha Makiko untuk mencoba mengubah warna puting payudaranya menjadi merah muda dan mengumpulkan setiap informasi tentang operasi implan payudara. Obsesi aneh Makiko membuat Natsuko bertanya-tanya alasan dibalik obsesi Makiko terhadap bentuk dan warna payudara. Meskipun Natsuko begitu penasaran dengan alasan obsesi kakaknya, dia tidak mampu menanyakannya kepada Makiko. Bagi Natsuko, setiap perempuan boleh saja memiliki obsesi tersendiri untuk menjadi cantik, “Sebab seseorang tak butuh alasan untuk menginginkan kecantikan”.
Pada bagian kedua, otonomi atas tubuh dituliskan dengan keinginan Natsuko untuk memiliki seorang anak sendiri dengan bantuan donor sperma. Keinginan Natsuko tidak lebih dari alasan bahwa dirinya ingin bertemu dengan anaknya. Natsuko sadar bahwa pilihannya sangatlah egois, tapi pilihan itu menjadi bentuk kebebasan Natsuko terhadap tubuh yang dimilikinya. Dia masih memiliki sel telur yang belum pernah dibuahi, dia memiliki uang yang cukup untuk menghidupi anaknya, dan pilihannya tidak merugikan siapa pun. Natsuko merasa dirinya memiliki semua hal yang diperlukan untuk melahirkan satu nyawa ke dunia ini, kecuali kepemilikan sel sperma.
Kawakami Mieko juga menuliskan narasi bila perempuan memiliki keterbatasan atas otonomi tubuhnya. Seperti pada karakter Konno Rie, teman Natsuko saat bekerja paruh waktu di toko buku. Konno Rie tidak dapat merasakan kebebasan atas dirinya setelah menikah dan memiliki anak. Dia dibelenggu oleh jerat patriarki yang mengharuskannya mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Konno Rie menjadi salah satu gambaran perempuan modern yang masih terjerat dalam sistem patriarki.
Kemudian, isu otonomi tubuh perempuan mengalami krisis dalam pembahasan kehamilan di dalam bagian kedua buku. Baik kehamilan dengan cara konvensional (melalui hubungan seks) atau dengan menggunakan bantuan teknologi. Pilihan Natsuko yang ingin hamil dengan bantuan donor sperma membuat narasi kehamilan memasuki eksplorasi yang lebih jauh. Kehamilan tidak hanya berhubungan dengan keputusan perempuan terhadap tubuhnya. Akan tetapi, kehamilan juga berhubungan dengan nasib anak yang akan dilahirkan.
Keputusan perempuan untuk hamil juga digambarkan sebagai pilihan yang egois dari setiap orang tua. Setiap anak tidak pernah meminta untuk dilahirkan ke dunia ini kepada orang tua. Hidup seorang anak akan bahagia setelah dilahirkan pun tidak bisa terjamin. Keegoisan orang tua untuk melahirkan seorang anak akan menimbulkan adanya pertanyaan dari sang anak, mengapa dia dilahirkan oleh orang tuanya. Hal ini disertakan dalam karakter Zen Yuriko, seorang perempuan yang lahir dari hasil pendonoran sperma dan korban kekerasan seksual oleh ayahnya. Zen Yuriko menyadari bahwa keberadaan seorang anak di dunia perlu dipikirkan oleh setiap orang tua. “Bukankah ada? Anak-anak yang sampai mati hanya menderita. Tanpa pernah dapat melihat dunia yang dihuni seperti apa, tanpa pernah memiliki kata-kata untuk memahami jati diri, mereka dibuat ada secara tiba-tiba dan menjadi gumpalan yang menderita sampai akhir hayat.” ucap Zen Yuriko kepada Natsuko. Bagi Zen Yuriko, tidak ada satu pun orang tua yang memikirkan sang anak sebelum melahirkannya ke dunia.
Pandangan Zen Yuriko yang menolak dengan gigih kelahiran seorang anak membuat jelas narasi antinatalis pada karakternya. Antinatalitas sendiri merupakan pandangan filosofis yang secara radikal mendukung pengurangan kelahiran manusia. Bagi antinatalis, kegiatan reproduksi manusia merupakan hal yang tidak perlu, tidak dapat dipertahankan, bahkan dianggap berbahaya terlepas dari keadaan dan situasi dalam hidup. Sikap antinatalis pada karakter Zen Yuriko sangat terlihat pada pandangannya yang menganggap kelahiran dan kehamilan hanya sebagai sebuah taruhan yang dilakukan orang tua kepada anak mereka.
Patriarki dalam Konstruksi Identitas Perempuan
Tidak hanya persoalan otonomi tubuh perempuan yang dibahas di dalam buku ini. Pengaruh patriarki dalam menempatkan perempuan sebagai gender kedua di masyarakat juga dicantumkan. Di dalam buku, perempuan diperlihatkan sebagai objek pasif yang harus terlihat memikat. Seperti pada keinginan Makiko untuk melakukan implan payudara. Pekerjaan Makiko sebagai hostes memaksanya untuk memiliki penampilan yang memikat. Hal ini membuat para hostes rela menghabiskan uang agar terlihat lebih memikat. Tolok ukur daya tarik perempuan yang didasarkan tuntutan masyarakat patriarkal membuat terbentuknya ketimpangan antar sesama pekerja perempuan.
Pada novel ini, ketimpangan tersebut terlihat saat tempat kerja Makiko kedatangan hostes baru, seorang perempuan muda yang memiliki penampilan lebih cantik dari hostes lain. Hostes muda tersebut mendapat perhatian yang lebih dari pelanggan, menjadi favorit pelanggan, dan mendapat upah yang lebih banyak daripada hostes lain. Standar kecantikan yang dituntut dalam masyarakat patriarkal membuat perempuan yang ‘tidak masuk standar’ mengusahakan diri mereka agar sesuai dengan standar kecantikan. Usaha yang dilakukan perempuan yang ‘tidak masuk standar’ seperti Makiko membuat identitas perempuan hanya berputar pada gender yang harus memenuhi standar laki-laki.
Kawakami Mieko dan Feminisme
Kawakami Mieko berhasil membawa pandangan feminis di dalam novel ini melalui tokoh-tokoh yang dia ciptakan. Dia menciptakan setiap karakter perempuan yang ada sebagai contoh perempuan-perempuan yang hidup di era modern. Kawakami Mieko memang dikenal sebagai penulis feminis kontemporer Jepang. Kawakami Mieko juga tidak menyangkal bahwa hal yang disudutkan di dalam karya-karyanya adalah sistem patriarki di Jepang dan tekanan layaknya-agama yang dilakukan oleh banyak orang. Kecondongan tulisannya dengan feminisme juga diakui oleh Kawakami Mieko dalam wawancaranya bersama The Guardian, “Seiring bertambahnya usia, tampak jelas bagi perempuan untuk menjadi seorang feminis.” ujar Kawakami Mieko.
Novel Susu dan Telur membuat simbol ‘Susu’ yang berarti payudara dan ‘Telur’ yang berarti sel telur. Dua bagian tubuh perempuan tersebut menjadi pengendali atas identitas perempuan di masyarakat. Di dalam masyarakat patriarkal, perempuan dianggap menarik karena payudaranya. Perempuan dianggap memiliki kegunaan karena memiliki sel telur di dalam tubuhnya. Kedua hal tersebut membentuk identitas perempuan sebagai gender kedua di masyarakat. Kawakami Mieko mencoba untuk menerobos belenggu yang membatasi perempuan. Belenggu terhadap tubuh, pikiran, dan pilihan untuk dirinya sendiri. Karena setiap perempuan seharusnya dapat dan berhak memilih serta menentukan yang terbaik bagi dirinya sendiri.
Penulis: Elsya Dewi Arifah
Penyunting: M. Ihsan Nurhidayah
Fotografer: Elsya Dewi Arifah
Referensi
Walby, S. (1989). Theorising Patriarchy. Sociology, 23(2), 213–234. https://doi.org/10.1177/0038038589023002004