Pandemi COVID-19 memaksa pendidikan konvensional yang identik dengan kegiatan belajar mengajar tatap muka untuk mengadopsi sistem pendidikan digital yang identik dengan kegiatan tatap layar. Untuk merespons hal ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pencegahan COVID-19 pada Satuan Pendidikan dengan Pembelajaran Daring. Dalam kebijakan tersebut, Kemendikbud memberi instruksi pelaksanaan pendidikan digital yang kemudian disebut pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Dalam proses penerapan kebijakan, Kemendikbud berupaya untuk mentransformasi pendidikan Indonesia demi mewujudkan adaptasi pendidikan karena adanya pandemi dan pendidikan berbasis teknologi 4.0. Kondisi kebijakan ini juga diperkuat dengan adanya pernyataan Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yang menyatakan bahwa PJJ yang berlandaskan pendidikan digital dapat diterapkan secara permanen setelah pandemi usai.
Berangkat dari hal tersebut, Balairung berkesempatan mewawancarai Samuel Vincenzo Jonathan, pemrakarsa Schole ID, platform edukasi filsafat digital. Dalam wawancara ini, Samuel mengutarakan pandangannya mengenai pendidikan digital sebenarnya bukanlah pengganti pendidikan konvensional, melainkan suatu jembatan menuju esensi pendidikan yang meluas dan solutif saat pandemi.
Bagaimana pandangan Anda mengenai pendidikan konvensional di Indonesia?
Pendidikan konvensional di Indonesia memiliki kecenderungan untuk mengadopsi pendidikan ‘gaya bank’ seperti istilah Paulo Freire. Menurut Freire, proses pembelajaran ‘gaya bank’ merupakan kondisi yang diibaratkan para murid hanya membeo dan guru bertugas hanya sebagai pendikte. Dengan kata lain, guru cenderung berperan sebagai otoritas kebenaran dan pengetahuan, sementara para murid datang ke sekolah ibarat tabula rasa atau kertas kosong yang tidak tahu apa-apa. Saya rasa guru tidak seharusnya sekedar menjadi seorang informan, peran guru jauh lebih kompleks: Guru sudah seharusnya juga berperan sebagai seorang peneliti yang mampu beradaptasi terhadap hal-hal kekinian, konteks pendidikan, dan pedagogi. Bahkan, guru juga harus mampu berperan sebagai filsuf, yang mengakomodasi segala rasa keingintahuan dan kekaguman para murid untuk belajar.
Apakah yang seharusnya dimiliki dan didapat oleh seorang murid ketika belajar di sekolah?
Ada tiga hal fundamental yang seharusnya dimiliki seseorang ketika belajar, yaitu kekaguman, keingintahuan, dan kritisisme. Dalam proses belajar, guru seharusnya dapat mengarahkan murid agar merasakan kekaguman terhadap hal yang mereka pelajari. Kemudian membuat mereka selalu ingin tahu sehingga menjadi dorongan untuk terus belajar. Selain itu, sikap kritis juga merupakan hal yang mendasar pada kegiatan belajar untuk menganalisis segala isu dan informasi. Tiga hal tersebut yang nantinya mengarahkan murid supaya proses belajar mereka tidak hanya sebatas di sekolah sehingga murid kelak akan menjadi pembelajar seumur hidup. Sayangnya, mayoritas pendidik di Indonesia belum bisa menciptakan keadaan demikian dan umumnya hanya kejar-mengejar materi dan hal-hal yang sebenarnya kurang esensial.
Pandemi memutus banyak koneksi pendidikan konvensional di Indonesia, kemudian pendidikan digital lahir secara mendadak menjadi suatu solusi atas banyak permasalahan yang ada. Bagaimana pandangan Anda mengenai hal tersebut?
Pendidikan digital dan konvensional adalah dua hal yang berbeda. Jadi, keduanya bukanlah hal yang harus ditandingkan dengan yang lain karena sama-sama berfungsi, berguna, dan mempunyai tujuan serta sasarannya masing-masing. Namun, pendidikan konvensional ini punya hambatan karena pandemi. Kemudian pendidikan digital hadir dan dianggap menjadi solusi dari hambatan yang dialami pendidikan konvensional.
Aspek yang sebenarnya paling baik atau yang teratasi dengan cukup baik oleh pendidikan digital ini adalah aspek yang nuansanya lebih kognitif atau intelektual. Namun, berbicara tentang pendidikan bukan hanya tentang kognitif saja. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan merupakan olah hati, olah pikir, olah raga, dan olah rasa. Akan tetapi, di pendidikan digital untuk saat ini, cenderung ada di olah pikirnya saja.
Apakah pendidikan digital itu seperti jembatan menuju pendidikan yang sebenarnya atau pendidikan yang dituju?
Pendidikan digital hanya sebagai sarana saja, sedangkan untuk pendidikan yang sebenarnya dapat diwujudkan dengan pendidikan konvensional. Banyak masalah dalam pendidikan konvensional yang dapat diatasi dengan adanya pendidikan digital, tetapi pendidikan digital bukanlah sebuah one magic bullet yang mampu memecahkan seluruh permasalahan yang ada dalam pendidikan. Misalnya, dalam kasus edukasi karakter dan emosi, bagi saya, hal ini hanya dapat diperoleh melalui pendidikan konvensional. Mengapa? Sebab, pendidikan konvensional merupakan pendidikan dalam kelas, pertemuan guru dengan murid tersebut tetap berpotensi besar dalam mendidik murid: kebertubuhan.
Dapat dikatakan bahwa aspek paling utama dalam pendidikan adalah relasi antarguru dan muridnya. Saya merasakan perbedaan ketika tiga tahun menjadi guru dan satu tahun di Edutech. Umumnya, pendidikan digital itu memfokuskan pada intelektualitas, berpikir kritis, dan semacamnya. Namun, tentang moral dan pendidikan karakter itu adalah sesuatu yang harus dialami dan para murid harus punya seseorang yang dijadikan teladan. Mereka harus melihat sikap yang sesuai dengan apa yang dikatakan oleh seseorang yang dijadikan teladan tersebut.
Berpikir kritis, rasa penasaran, dan kekaguman adalah hal fundamental yang harus dimiliki para murid. Apakah pendidikan digital mampu menawarkan hal tersebut?
Memang pendidikan digital adalah metode yang paling berpotensi untuk menawarkan hal-hal itu, tetapi pada aspek lain, saya masih sulit untuk mengimajinasikan. Saya tidak terlalu optimis pada pendidikan digital. Saya percaya itu berguna, tetapi saya tidak percaya ini bisa menggantikan secara menyeluruh pendidikan konvensional. Jadi, yang bermasalah bukan pendidikan konvensional, tetapi nilai-nilai yang dipegang oleh pendidikan konvensional tersebut. Misalnya, pendidikan neoliberal, guru sebagai informan, dan lainnya. Sebenarnya, jika membicarakan tandingan tentang pengetahuan, murid juga bisa lebih pintar dari guru di zaman sekarang, sumbernya ada di mana-mana. Namun, olah rasa dan olah hati itu yang akan dilewati.
Dengan pentingnya pendidikan konvensional, apakah hal tersebut berarti bahwa pendidikan digital tidak pernah bisa menggantikan pendidikan konvensional?
Pendidikan konvensional dan pendidikan digital bukan dua hal yang yang harus dipertentangkan. Saya cukup yakin bahwa pendidikan konvensional itu tetap diperlukan, tetapi pada waktu yang sama pendidikan digital juga diperlukan. Keduanya memiliki tujuan yang berbeda. Pendidikan konvensional memiliki tujuan terkait dengan memanusiakan manusia, sedangkan pendidikan digital memiliki hal lain yang tidak dimiliki pendidikan konvensional, yaitu asinkronus dan akses yang tidak terbatas. Pendidikan digital mampu mengatasi permasalahan akses pendidikan konvensional yang berkualitas, hanya saja saya masih yakin dengan peran penting dari pendidikan konvensional.
Apakah mungkin untuk dilakukan digitalisasi pendidikan sepenuhnya, terutama di saat pandemi yang sulit untuk melakukan kegiatan atau realisasi lapangan secara sempurna?
Saya tidak percaya itu bisa terjadi, apalagi konteksnya di Indonesia. Nadiem Makarim juga bingung, jika nanti balik atau tidak ke sekolah, sepertinya para murid itu tidak belajar sama sekali di rumah. Kita harus membayangkan masyarakat yang sangat ideal untuk melaksanakan digitalisasi pendidikan sepenuhnya, seperti keadaan orang tua harus baik-baik saja, internet baik, dan menghindari gangguan-gangguan lain. Saya percaya, pendidikan digital itu kuat karena bersifat asinkronus dan dapat menjangkau banyak orang. Namun, tetap saja bukan jawaban untuk perkara pendidikan.
Apa harapan Anda untuk pendidikan konvensional?
Harapan kedepannya, pendidikan konvensional kita mampu mencapai esensi yang sebenarnya, yaitu pendidikan yang membebaskan. Dalam hal ini, murid bebas dan merasa nyaman untuk mempelajari apa pun yang mereka inginkan, tanpa adanya tekanan lagi dari guru yang sebelumnya hanya sebagai otoritas akan kebenaran. Dengan demikian, para murid tidak dianggap hanya berdasarkan nilai mereka, melainkan keunikan yang masing-masing dari mereka miliki. Pendidikan ibaratnya sebuah meja yang setiap anak apa pun keadaannya, boleh duduk bersama untuk berdialog. Untuk mewujudkannya, guru harus berperan sebagai instruktur, bukan pendikte, apalagi otoritas akan kebenaran.
Penulis : Denok Widyaningsih, Edo Saut Hutapea, dan Siti Fatria Pelu (Magang)
Penyunting : Fauzi Ramadhan
Illustrator : Hana Zusma (Magang)