
©Cinda/Bal
Perencanaan pembangunan Kawasan Kerohanian menjadi bahasan penting selama masa kepemimpinan Panut Mulyono sebagai Rektor UGM. Pasalnya, pembangunan Kawasan Kerohanian telah dimasukan ke dalam master plan 2017–2022. Namun, realisasinya masih nihil. Inilah yang mendorong Panitia Kerja Pembangunan Fasilitas Kemahasiswaan (Panja PFK) UGM mengadakan diskusi bertajuk “Tarik Ulur Pembangunan Kawasan Kerohanian: Mempertanyakan Keseriusan Nilai Pancasila UGM”. Diskusi dilaksanakan secara bauran pada Senin (22-11) di Gadjah Mada University Club dan disiarkan melalui Zoom Meeting.Â
Diskusi ini mengundang narasumber, antara lain Djagal Wiseso Marseno selaku Wakil Rektor Bidang Pendidikan, Pengajaran, dan Kemahasiswaan; Muhammad Sulaiman selaku Direktorat Perencanaan; serta Suryadi selaku Direktorat Kemahasiswaan. Selain itu, diskusi turut dihadiri oleh para wakil UKM Kerohanian.Â
Tuntutan penyegeraan pembangunan Kawasan Kerohanian karena kebutuhan mahasiswa dari unsur kerohanian untuk mengadakan ibadah dan perayaan hari besar keagamaan. Chrisna Angelia Zepanya Girsang dari Unit Kerohanian Kristen (UKK) UGM mengatakan universitas dan fakultas kurang mewadahi kegiatan keagamaan. “Bahkan ketika kami ingin melakukan ibadah, kami harus membayar uang gedung,” kata Chrisna.
Demikian pula Ireneus Seno Prasojo dari Keluarga Mahasiswa Katolik Misa Kampus yang menyesalkan minimnya akomodasi ibadah bagi umat Katolik dari pihak UGM. Ia menyampaikan bahwa untuk melakukan acara perayaan keagamaan, Keluarga Mahasiswa Katolik Misa Kampus harus meminta bantuan dari Pusat Pastoral Mahasiswa (PPM) DIY.Â
Selain ketersediaan ruang, lokasi tempat ibadah yang jauh dari UGM juga jadi permasalahan. Fabby Liana dari Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma (KMHD) menyatakan mahasiswa Hindu Dharma harus menempuh 6 km dari UGM untuk melakukan ibadah di pura terdekat. “Imbasnya, kami harus mengalah untuk tidak beribadah setiap hari karena jarak yang jauh,” kata Fabby.Â
Selain tempat ibadah, sekretariat bagi pengurus UKM-UKM keagamaan juga menjadi sorotan. Hal ini disampaikan oleh Santiago Husada dari Keluarga Mahasiswa Buddhis bahwa sekretariat UKM-UKM keagamaan dengan konsep gabungan menyebabkan inventaris peribadatan lintas agama jadi tercampur. “Kawasan ini sebaiknya juga dapat digunakan untuk keperluan kepengurusan,” kata Santiago.
Fabby menambahkan bahwa Kawasan Kerohanian diharapkan memiliki tempat yang memadai bagi setiap agama. Perihal aksesibilitas juga mesti jadi perhatian. “Kami (KMHD) juga meminta sarana dan prasarana berupa pelinggih, ruang terbuka hijau, dan pohon bunga,” kata Fabby.Â
Lokasi Kawasan Kerohanian akan berada di Blok N1 sampai Blok N14 UGM. Namun sayang, realisasi pembangunannya terlambat. Berdasarkan pernyataan Sulaiman, keterlambatan pembangunan ini karena berbagai faktor, antara lain pembebasan lahan dan selisih pendapat dengan Keraton sebagai pemilik lahan.Â
Pembebasan lahan tersendat karena masih terdapat dua bangunan yang digunakan sebagai rumah dosen serta satu laboratorium. “Masih terdapat bangunan yang perlu dipindahkan dan dicarikan lokasi pengganti bangunannya,” ujar Suharyadi.Â
Selain itu, Sulaiman menjelaskan bahwa kebijakan Keraton tidak memperbolehkan pembangunan yang menggunakan ruang bawah tanah. Hal ini menyebabkan pembangunan Kawasan Kerohanian harus didesain ulang sehingga membutuhkan waktu tambahan. “Sejauh ini terdapat tiga alternatif desain yang akan dikomunikasikan lagi,” kata Sulaiman.
Sulaiman juga memaparkan mengenai jadwal pembangunan Kawasan Kerohanian. Ia menjanjikan peletakkan batu pertama pada Mei 2022. Namun, pemilihan waktu peletakkan batu pertama ini perlu dikawal. Ade Agoes Kevin Dwi Kesuma, anggota Majelis Wali Amanat Unsur Mahasiswa (MWA UM) UGM, menyampaikan bahwa Mei 2022 bersamaan dengan pergantian rektor. “Janji ini harus terus dikawal agar kita tidak kecolongan. Bisa jadi pergantian rektor dijadikan dalih untuk mengulur,” kata Kevin.
Penulis: Jacinda Nuurun Addunyaa
Penyunting: Ardhias Nauvaly Azzuhry
Fotografer: Jacinda Nuurun Addunyaa