Gulali Festival mengajak kita kembali mencicipi dunia anak-anak melalui tontonan seni pertunjukan dengan rasa dan warna yang beragam, layaknya Gulali.
Siang di sudut gubuk rumah yang rindang, tawa riuh riang anak-anak usia belia terdengar . Duduk manis bersila, sorot mata mereka tertuju ke arah layar kaca bercahaya. Kalau dipikir-pikir, tidak mungkin mereka sedang mengikuti pembelajaran sekolah daring. Biasanya, rasa kantuk dan raut muka memelas yang nampak jelas. Toh, seandainya sedang menonton video dari kanal YouTube kesayangannya, pun tak terdengar jeda iklan âSh*p*e CODâ, misalnya.Â
Penasaran, Balairung bergegas menyambangi Rumah Dongeng Mentari yang menjadi sumber suara. âTok, tok, tok. Halo adik-adik, sedang apa kalian?â. Bukannya disambut dengan sapaan istimewa, kami malah langsung diajak nonton bersama. âSini-sini, Kak. Ikutan nonton sini, cepat!â ujar Mutia (6), salah satu di antara anak-anak itu. Semakin dibuat penasaran, tanpa basa-basi kami mengintip sedikit hal apa yang sedang mereka saksikan.Â
Sekilas, dari layar televisi pintar, nampak tayang sebuah serial pertunjukan dongeng seperti pada umumnya, tapi kali ini sedikit berbeda. Bawang merah, bawah putih, dan bawang bombay sungguhan terlihat sedang berjalan-jalan di ruang dapur sederhana. Digerakkan oleh seorang dalang di balik layar, bawah-bawang itu memiliki dua buah bola mata dan juga mampu berbicara. Seakan sedang menarasikan sebuah cerita menarik yang membuat penonton tak melepaskan perhatiannya.
Mutia, gadis manis berambut ikal tampak sangat sumringah menikmati pertunjukan dongeng. Kontras, jika dibandingkan saat ia sedang belajar berhitung angka-angka njlimet atau membaca huruf ala-ala tulisan dokter di sekolah. Diakui olehnya, ia memang sangat menyukai seni pertunjukan, termasuk dongeng. Namun, menurutnya, dongeng kali ini sangat istimewa. âBawangnya bisa jalan-jalan dan melompat, terus cara bicaranya wah, weh, weh, lucu banget,â tutur Mutia.Â
Usut punya usut, pertunjukan dongeng ini berjudul âAnak Bawangâ yang digarap oleh Didik dan Dian. Keduanya merupakan seniman kakak beradik yang menekuni seni pertunjukan khusus anak-anak, seperti dongeng, cerita anak, dan beragam mainan. Khusus serial dongeng kali ini, mereka tampilkan dalam gelaran Gulali Festival yang diinisiasi oleh Papermoon Puppet Theatre dan Ayo Dongeng Indonesia. Diadakan secara daring, mulai tanggal 1-3 Oktober 2021, sebanyak 15 seniman turut berpartisipasi dalam festival ini, satu di antaranya adalah Didik dan Dian.
Tampil sebagai sesi pembuka, Jumat (1-10), Didik membeberkan bahwa ide awal membuat dongeng âAnak Bawangâ ini datang ketika ia membantu ibunya memasak di dapur. Dengan media sederhana yang didapatkan dari perkakas dapur, seperti keranjang, tampah, kwali, pisau, dll, ia menghadirkan narasi dongeng menarik yang mengangkat cerita kegiatan sehari-hari. Perlu diakui, ide mereka sungguh brilian. Bagaimana tidak, bawang merah, putih, dan bombay bisa terlihat hidup di tangan Didik dan Dian.Â
Pengaturan panggung yang bernuansa dapur Jawa âpawonâ terlihat sangat kentara dalam cerita dongeng itu. Pemilihan pawon sebagai latar utama cerita dongeng âAnak Bawangâ, dipilih oleh Dian, âSebab dari situlah mereka para bawang berasal dan melalui proses untuk menjadi makanan.â Meski terkesan dapur yang ndeso banget, baik Didik dan Dian sepakat bahwa usaha ini sebagai wujud pengenalan budaya kepada anak-anak, khususnya budaya Jawa.
Gaya bahasa, yang sebelumnya disebutkan oleh Mutia dengan nada âwah, weh, wehâ itu tak luput dari perhatian Didik dan Dian. Layaknya seorang dalang dalam tokoh pewayangan, mereka mewakili suara karakter tokoh bawang yang terdengar seperti gumaman nyeleneh dan lucu. Menurutnya, suara itu adalah bahasa bawang yang hanya dimengerti oleh para bawang di dapur. âSebutan populernya, yaitu bahasa Gibberish,â ungkap Didik.
Melalui pertunjukan dongeng âAnak Bawangâ ini, Didik berharap agar anak-anak bersama keluarga yang menonton dapat terinspirasi untuk memulai berkarya, sekecil apapun itu. âBisa dimulai dengan membuat cerita yang berasal dari kehidupan sehari-hari, misalnya mengangkat kisah dari keluarganya sendiri,â ujarnya. Lebih lanjut, seni pertunjukan yang ia garap selama dua bulan ini, sekaligus menjadi bukti bahwa masih ada tontonan berkualitas untuk anak dan keluarga Indonesia. Mengingat belakangan ini kian sulit ditemui.Â
Harapan Didik itu, selaras dengan maksud dan tujuan Gulali Festival ini diadakan. Maria Tri Sulistyani, salah satu pencetus ide diadakannya festival, merasakan kegelisahan akan minimnya tontonan yang berkualitas untuk anak-anak. Melansir hasil riset yang pernah dilakukan oleh tim Tirto.id, jumlah program acara anak di televisi tidak sebanding dengan jumlah anak di Indonesia, hanya 40 persen saja. Sisanya, telah tergantikan oleh acara hiburan remaja dan dewasa. Miris, padahal bagi anak, tontonan adalah sebuah tuntunan.Â
Perlu diketahui, Gulali Festival merupakan festival pertunjukan untuk anak yang digelar perdana untuk mengenalkan seni budaya, sekaligus menjadi hiburan bagi keluarga di masa pandemi. Ria menyadari bahwa masih banyak orang yang menganggap kalau membuat sesuatu untuk anak itu cukup ala kadarnya saja. Bahkan, awam bagi kalangan seniman generasinya karena semasa kecilnya tidak banyak yang menyaksikan pertunjukan teater. âSaya percaya, dengan menonton pertunjukan festival ini, kelak bisa membentuk anak-anak menjadi generasi yang berbeda,â tutur Ria.Â
Dalam proses membuat festival untuk anak tentu tidaklah mudah. Ria dan tim awalnya cukup kesulitan mencari seniman yang mau menampilkan pertunjukan anak-anak. Namun, setelah mengadakan pendaftaran terbuka bagi seluruh seniman di Indonesia, sebanyak 36 proposal berhasil diterima. Akhirnya terseleksi delapan tim yang kemudian didampingi melalui rangkaian âGulali Labâ. âPendampingan dilakukan secara virtual selama dua bulan penuh, hingga hasil karya mereka ditampilkan di Gulali Festival,â terang Ria.Â
Keberhasilan Ria dan tim Gulali Festival dalam menyajikan festival, yang diikuti seniman dari pelbagai penjuru Indonesia merupakan sebuah kejutan. Berkat itu, mereka jadi bisa melihat ragam warna dan rasa yang berbeda sesuai dengan nama Gulali Festival. Selain delapan tim itu, Usaginien dan Magica Mamejika, dua tim seniman dari Jepang yang spesial diundang panitia, turut menyemarakkan kebahagiaan bersama di Gulali Festival.Â
Magica Mamejika, tim yang merupakan kolaborasi seniman Indonesia dan Jepang ini menampilkan pertunjukan teater bayangan wayang kulit yang berjudul âDescent Into Hellâ. Ditampilkan secara langsung dari Jepang, pertunjukan ini mengisahkan tentang seorang seniman jalanan bernama Bejo. Ia berprofesi sebagai penari akrobatik yang menampilkan aksi bahaya dalam pertunjukannya. Sedangkan Usaginien, menampilkan teater dalam balutan musik video dengan judul âMounching, Tonbiâ di hari kedua Gulali Festival.
Gelaran ini dipungkasi dengan penampilan teater boneka âKACACAKA: The Mirrorâ dari Papermoon Puppet Theatre yang secara magis membuat ratusan penonton Gulali Festival terbius. Dalam ruang panggung yang gelap gulita, tiba-tiba lampu sorot menyinari panggung pertunjukan menampilkan miniatur rumah dengan mode kuno dan berputar pelan, hingga akhirnya muncul seorang bocah cilik dalam wujud boneka terlihat penasaran dengan kaca-kaca yang dilihatnya.Â
Pertunjukan boneka yang hampir tidak memiliki dialog ini memberi kesan pemungkasan yang membuat penonton terkesan. Ditambah sebuah fakta menarik bahwa ide cerita didapat dari imajinasi bocah cilik bernama Lunang, putra tunggal Ria. Tak sedikit anak-anak yang penasaran dengan sosok Lunang yang turut berpartisipasi dalam pertunjukan boneka tersebut. Tak ayal, bocah laki-laki itu dalam kolom pesan ruang virtual Gulali Festival dibanjiri komentar pujian.Â
Salah seorang penonton Gulali Festival, sebut saja Vira (20) turut berbagi kesannya terkait gelaran festival ini. Menurutnya, tontonan yang berseliweran di televisi sudah tak ada yang bermutu dan pada akhirnya berimbas buruk bagi perkembangan anak. âPersembahan Gulali Festival ini bagus dan sangat direkomendasikan untuk terus diadakan, mengingat di masa pandemi ini waktu bermain bersama kawan pun terbatas, ditambah tontonan televisi sangat menjenuhkan,” ulas gadis yang juga menaruh kepedulian pada dunia anak.
Sebagai upaya menyajikan tontonan yang berkualitas untuk anak, ke depan, tim Gulali Festival berkomitmen akan mengadakan kembali kegiatan ini tiap dua tahun sekali. Patut dinantikan, agar kelak seni pertunjukan anak-anak di Indonesia semakin subur, ekosistemnya semakin sehat, sehingga anak-anak di Indonesia akan mengerti betapa rasanya seni itu bisa membentuk rasa. âKalau seni bisa mengolah dan membentuk rasa, kenapa tidak diajarkan sejak dini?â pungkas Ria.Â
Penulis: Inas Alimaturrahmah
Penyunting: Haris SetyawanÂ