Ratusan massa berkumpul di Bundaran UGM pada Sabtu (9-10), dalam rangka aksi bertajuk “Selamatkan Warga Yogya”. Pintu gerbang depan UGM ditutup dan dijaga oleh personel Pusat Keamanan Keselamatan Kesehatan Kerja dan Lingkungan (PK4L) UGM. Pada saat yang sama, puluhan polisi berjaga di Jalan Bundaran UGM dan mengatur lalu lintas. Massa aksi mulai melakukan longmars menuju Pertigaan Gejayan pada 13.57 WIB.
Dilansir dari Kajian Aliansi Rakyat Bergerak (ARB), aksi ini dilakukan sebagai peringatan satu tahun pengesahan omnibus law UU Cipta Kerja dan juga mengawal permasalahan regional Yogyakarta maupun nasional. Isu regional yang diangkat dalam aksi ini adalah perkara Peraturan Gubernur DIY Nomor 1 tahun 2021 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum pada Ruang Terbuka, penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) DIY yang tidak layak, serta penambangan ilegal yang tidak ramah lingkungan. Selanjutnya, permasalahan nasional yang diangkat adalah isu-isu terkait omnibus law, Pemulihan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komersialisasi Pendidikan, Reforma Agraria, Pelanggaran HAM yang belum tuntas, serta pengesahan RUU PKS.
Han Revanda Putra, perwakilan dari mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya UGM menyampaikan tuntutan massa aksi kali ini tidak jauh berbeda dengan aksi yang sebelumnya. Ia menambahkan, tuntutan aksi juga disesuaikan dengan kondisi Yogyakarta. “Tuntutannya kontekstual, misalnya, isu larangan untuk bersuara,” jelasnya.
Terkait teknis aksi, Thomas Tatag, selaku Koordinator Lapangan UGM menyatakan teknis aksi kali ini tidak jauh berbeda dengan aksi biasanya. Dimulai dari massa berkumpul di Bundaran UGM untuk konsolidasi singkat, baru kemudian penguatan massa untuk jalan. Ia menambahkan, sebelum aksi, UGM juga berkonsolidasi dan berkoordinasi dengan kampus-kampus lain.
Tidak hanya UGM, massa aksi terdiri dari gabungan mahasiswa di Yogyakarta seperti UII, UNY, UMY, UAD, Universitas Sanata Dharma, dan lain-lain. Selanjutnya, gabungan organisasi dan lembaga di antaranya yaitu WALHI, LBH, AJI, dan lain-lain. Selain itu, terdapat partisipan independen dari kalangan band Kepal SPI dan Warning, serta Kawan Pelajar Jogja yang berisi siswa SMA dan SMK.
Salah satu perwakilan Kawan Pelajar Jogja, Abdurrahman, mengakui keterlibatannya adalah atas kemauannya sendiri. Ia menyoroti omnibus law yang merupakah salah satu tuntutan dalam aksi ini. “Orang tua saya merasakan dampak omnibus law,” tegas Abdurrahman. Sementara itu, pelajar yang lain tidak mau memberikan keterangan lantaran takut dimarahi guru-guru mereka di sekolah.
Kalimat “Hidup mahasiswa!” “Hidup mahasiswa!” “Hidup mahasiswa!” terus digaungkan dengan kepalan tangan di udara. Massa aksi juga menyanyikan lagu “Darah Juang” yang sering dinyanyikan saat aksi massa. Selain menyerukan jargon dan menyanyikan lagu perjuangan, perwakilan mahasiswa juga bergiliran melakukan orasi.
Atmaja, salah satu mahasiswa dari UAD, menyampaikan keresahannya terkait kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi. Ia berpendapat bahwa solusi yang ditawarkan pemerintah tidak menimbulkan hasil. “Kebijakan pemerintah masih tidak jelas,” imbuhnya.
Pukul 14.03 WIB, massa berhenti untuk melakukan orasi di depan RS Panti Rapih. Gregorian, salah satu orator dari UMY menyatakan bahwa penguasa yang berada di pusaran oligarki telah mengebiri rakyat dengan omnibus law. Menurutnya, janji-janji pemerintahan Jokowi dari periode pertama hingga kedua tidak pernah terealisasi hingga hari ini. “Nawacita mana? Penuntasan kasus pelanggaran HAM mana? Retorika amburadul!” tegas Gregorian.
Selain perkara omnibus law, salah satu anggota Aliansi UST Bersuara, Soni, menyatakan bahwa isu yang disoroti Aliansi UST adalah isu-isu pendidikan. Ia menjelaskan bahwa banyaknya peristiwa pembungkaman dan pengkerdilan ruang demokrasi di kampus. “Banyak sekali BEM-BEM dan berbagai lembaga kampus lain yang dibekukan secara sewenang-wenang,” ungkap Soni.
Selaras dengan Soni, Dika, peserta aksi dari UAD menyatakan bahwa kontingen aksi dari UAD juga memfokuskan pengawalan pada isu pendidikan. Isu pendidikan yang dikaji yaitu terkait pendidikan gratis di era pandemi. “Di samping wacana selamatkan warga Yogya, dalam konsolidasi kami juga mengkaji wacana pendidikan gratis,” tutur Dika.
Lebih jauh mengenai aksi “Selamatkan Warga Yogya”, masyarakat sekitar Jalan Gejayan tidak mempermasalahkan terkait adanya aksi yang dilakukan mahasiswa. Parman, salah satu warga yang menyaksikan aksi di pinggir jalan mengatakan ia setuju dengan aksi ini. “Yang penting tidak merusak dan tidak anarkis,” terang Parman.
Thomas mengatakan, koordinasi dengan pedagang di sekitar Gejayan sudah dilakukan sejak dua hari sebelum aksi. Selain itu, Divisi Advokasi Masyarakat yang dibentuk oleh Tim Aksi “Selamatkan Warga Yogya” juga memberikan pemahaman tentang aksi dengan menyebarkan pamflet. “Pedagang bisa berjualan karena aksi akan berlangsung dengan damai,” tambahnya.
Orasi di Gejayan
Pukul 15.07 WIB, massa aksi tiba di Pertigaan Gejayan. Seluruh massa yang hadir langsung mengambil sikap duduk melingkari jalan. Agenda yang dilakukan di Pertigaan Gejayan adalah orasi politik dari masing-masing perwakilan peserta aksi.
Orasi politik pertama disampaikan oleh massa aksi UGM yang diwakili oleh Ferry. Dalam orasinya, Ferry menyebutkan mengenai urgensi dan isu apa saja yang dibawa pada aksi kali ini. Ia juga menekankan bahwa mahasiswa UGM yang datang hari ini bukan atas nama kampus yang disebut sebagai kampus nomor satu. “Itu omong kosong! Lepaskan almamater kalian! Lepaskan sekarang!” serunya dalam orasi.
Selain perwakilan peserta aksi, mahasiswa juga mendesak polisi untuk melakukan orasi. Mahasiswa meminta keterangan pada polisi terkait aksi ini. Namun, polisi menolak. “Kami tahu musuh kami bukan kalian, tetapi kalian adalah boneka dari oligarki itu!” tegas Masita yang menjadi moderator aksi.
Aksi juga dimeriahkan dengan penampilan dari Kepal Band. Lagu yang dinyanyikan berisi kritikan atas tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat. “Mereka suka menyiksa bahkan membunuh sudah biasa” begitu kutipan lirik dari lagu tersebut.
Pukul 16.57 WIB, perwakilan massa aksi bersama sama membaca sebelas poin tuntutan. Kesebelas tuntutan tersebut di antaranya adalah Cabut omnibus law dan segala peraturan turunannya; Cabut UU Minerba; Cabut UU KPK, Pecat Firli Bahuri, dan Pulihkan KPK; Laksanakan Reforma Agraria; Tuntaskan Pelanggaran HAM; Stop Kriminalisasi dan Intimidasi terhadap Aktivis; Sahkan RUU PKS Versi Draft Jaringan Masyarakat Sipil; Buka ruang demokrasi seluas-luasnya di West Papua; Tolak Komersialisasi Pendidikan; Tolak Dwifungsi TNI-POLRI; Tetapkan UMP Daerah Istimewa Yogyakarta yang layak. Selain itu, massa aksi juga menyerukan pembentukan Dewan Rakyat sebagai solusi atas permasalahan yang terjadi di Indonesia.
Setelah seluruh poin tuntutan dibacakan, pada pukul 17.10 WIB, aksi ditutup dengan bernyanyi bersama di Pertigaan Gejayan. Mengutip perkataan Thomas, tujuan aksi ini tidak lain adalah untuk membangun kesadaran kolektif masyarakat dan mahasiswa. Selain itu juga untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap mahasiswa. “Masyarakat perlu merasakan keresahan yang sama,” tegas Thomas.
Reporter: Ardhias Nauvaly Azzuhry, Alfi Sakti Alamsyah, Elvinda F S, Farah Ramadanti, Jovita Agnes, M. Ihsan Nurhidayah, Nabila Hendra N A, Sofiana Martha Rini, Yeni Yuliati
Penulis: Yeni Yuliati
Penyunting: Elvinda F S