Pada Sabtu (28-08) dan Minggu (29-08) masyarakat Wadas bersama beberapa elemen lain melakukan aksi solidaritas. Hal tersebut dilakukan oleh warga Wadas untuk mengawal agenda sidang gugatan terhadap Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, atas penerbitan perpanjangan Izin Penetapan Lokasi (IPL) Nomor 509/41 Tahun 2018 tentang Persetujuan Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Bendungan Bener. Dikutip dari Tempo, dalam regulasi tersebut, wilayah Desa Wadas ditetapkan sebagai daerah penambangan andesit untuk pembangunan Bendungan Bener. Adapun, aksi tersebut dilakukan selama dua hari menjelang hasil putusan terkait gugatan tersebut yang dijadwalkan pada 30 Agustus.
Selain masyarakat Wadas, aksi tersebut melibatkan beberapa elemen yang bersolidaritas, di antaranya adalah kelompok mural Taring Padi dan Komunitas Pit Dhuwur Jogja. Selain dari komunitas, turut hadir juga individu-individu yang ingin melakukan solidaritas. Mereka melakukan aksi dalam tiga bentuk, yakni pelukisan mural, aksi mengendarai sepeda tinggi, dan juga mujahadah.
Pada hari pertama, kedatangan elemen-elemen yang bersolidaritas disambut oleh warga dengan menyuguhkan berbagai makanan dan minuman. Hidangan yang disajikan merupakan hasil bumi Wadas yang dimasak dan diolah sendiri oleh Wadon Wadas, perkumpulan perempuan Desa Wadas. Sebelum memulai aksi mural, warga Wadas beserta beberapa elemen yang bersolidaritas berbincang-bincang santai sembari menunggu pihak-pihak lain datang.
Aksi mural dilaksanakan pukul 14.30 dengan membagi muralis ke beberapa titik di sekitar desa. Tembok warga dijadikan sebagai media untuk melukiskan muralnya. Media gambar dipilih sebagai bentuk dari aksi tersebut karena dianggap mudah. Hal ini ditegaskan Bebe, salah satu muralis dari kelompok Taring Padi. “Media gambar itu mudah dan simpel. Setiap orang bisa buat,” jelasnya.
Selain mudah, mural juga sifatnya strategis dan dapat ditempatkan di mana saja. Menurut salah satu anggota kelompok muralis Taring Padi, Bebe, penggunaan media seperti mural merupakan respons dari isu perusakan alam yang dapat terjadi di berbagai tempat. “Baik mural dan perusakan alam sama-sama tidak terbatas ruang dan waktu. Oleh karena itu, mural adalah media yang tepat untuk melawan perusakan alam,” ujar Bebe.
Mereka yang turut berkontribusi dalam pembuatan mural tidak hanya berasal dari kelompok kolektif seperti Taring Padi, tetapi juga individu. Soe merupakan salah satu di antaranya. Ia mengungkapkan bahwa dirinya datang secara pribadi. Meski begitu, dia bercerita bahwa dirinya datang dari Solo atas ajakan teman-teman yang juga berbagi hobi membuat mural. “Dengan menggambar mural, itu menjadi bentuk solidaritasku dengan warga Wadas,” jelasnya.Â
Soe berpendapat bahwa terlepas dari aksi solidaritas yang dilakukan, satu hal yang terpenting adalah keterlibatan banyak pihak yang berkumpul di Wadas. Sebab, hal tersebut menunjukkan kepedulian dan solidaritas terhadap perjuangan yang dilakukan oleh warga Wadas. “Keterlibatan dari masyarakat kota-kota lain menunjukkan bahwa masyarakat Wadas tidak sendirian,” tegas Soe.
Ada satu karya besar yang dibuat oleh Taring Padi bertuliskan “Tanah & Petani Merdeka Menghidupi Semua”. Karya ini berusaha menyoroti pentingnya peran petani bagi kehidupan. Menurut Bebe, dalam kondisi pandemi petani memiliki peran penting untuk menyongsong kehidupan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pangan. Namun, pada kenyataannya, petani justru menjadi kelompok yang dimarginalkan. Upaya marginalisasi tersebut tampak dalam eksploitasi ekosistem yang menjadi tumpuan para petani, yakni air dan tanah. “Kita yang juga menjadi bagian dari ekosistem harus turut menjaga dan sadar akan isu-isu eksploitasi air dan tanah,” tegas Bebe.
Selain melalui mural, aksi solidaritas juga turut dilakukan oleh komunitas Pit Dhuwur Jogja. Aksi tersebut dilakukan dengan mengendarai sepeda dari Yogyakarta hingga Desa Wadas. “Memang tidak signifikan, tapi setidaknya menunjukkan kepedulian pada alam dan bumi dengan mendukung perjuangan warga Wadas,” jelas Dodo yang tergabung dalam komunitas Pit Dhuwur. Dengan melakukan aksi kepedulian tersebut, Dodo berharap bahwa perjuangan warga Wadas dalam sidang gugatan dapat dimenangkan dan mendapat respons dari Ganjar.
Keterlibatan banyak pihak dalam aksi solidaritas ini kebanyakan datang dari inisiatif individu dan kelompok. Kadir, koordinator aksi solidaritas tersebut, juga menuturkan bahwa pihak-pihak yang terlibat bahkan mengoordinasi sendiri kegiatan mural dan bersepeda yang dilakukan. “Warga Wadas sangat terbuka bagi masyarakat yang ingin turut terlibat dalam bersolidaritas dan mendukung pengawalan isu desa Wadas,” tutur Kadir.
Menjelang malam hari, warga Wadas beserta elemen-elemen yang bersolidaritas mengadakan mujahadah bersama. Kegiatan ini merupakan doa bersama dengan tujuan untuk menolak tambang. Mujahadah memang sudah menjadi tradisi dari warga Wadas. “Sudah ada dari zaman nenek moyang. Sebelum ada pertambangan juga diadakan satu bulan sekali,” jelas Yani, salah seorang warga Wadas. Sejak hadirnya pertambangan di Desa Wadas, mujahadah menjadi lebih sering dilakukan di berbagai tempat, baik di musala maupun hutan. Bahkan, mujahadah dilakukan setiap hari untuk mengawal proses persidangan.
Pada hari kedua, kegiatan yang dilakukan masih sama. Beberapa muralis melanjutkan proses pembuatan muralnya. Komunitas Pit Dhuwur juga masih membersamai warga Wadas. Kegiatan yang berlangsung di Desa Wadas masih sama ramainya dengan hari pertama. Selain itu, ada musisi-musisi yang juga hadir untuk turut bersolidaritas. Aksi perlawanan terus konsisten dilakukan hingga hari keluarnya putusan, yakni 30 Agustus 2021.
Meskipun putusan yang keluar menyatakan bahwa tuntutan mereka ditolak, warga Wadas tidak kecewa dengan perjuangan mereka selama ini. Warga Wadas bersyukur atas banyaknya dukungan yang mengalir dari banyak pihak. Bahkan, pada 30 Agustus, beberapa muralis masih melukiskan mural di beberapa titik di Desa Wadas. “Alhamdulillah, masih banyak yang mendukung. Di situ kita dikalahkan, tetapi tidak kalah. Kita harus semangat dan lebih semangat lagi,” pungkas Yani, salah satu warga Wadas.
Reporter: Fauzi Ramadhan, Jacinda Nuurun Addunya, dan Viola Nada Hafilda
Penulis: Renova Zidane Aurelio
Penyunting: Bangkit Adhi Wiguna