Kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 4 kembali diperpanjang hingga tanggal 16 Agustus 2021. Terhitung sejak April 2020, pemerintah telah menggunakan setidaknya tujuh istilah untuk menamai strategi penanganan pandemi di Indonesia. Mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang berlaku pada 17 April 2020 hingga kebijakan terbaru, yaitu PPKM level 3 – 4. Ketidakpastian kebijakan penanganan pandemi yang dilakukan pemerintah kemudian mengundang reaksi dari berbagai pihak. Beberapa pedagang pun mengeluhkan kebijakan PPKM yang dinilai mengurangi pendapatan secara drastis. Namun, Presiden Jokowi berdalih bahwa implementasi PPKM tidak mematikan aktivitas ekonomi rakyat.
Dalam rangka memahami isu tersebut, Balairung berkesempatan untuk mewawancarai Fachru Nofrian pada Senin (19 Juli 2021). Beliau adalah ekonom pembangunan dan industri sekaligus dosen ekonomi di Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta. Wawancara ini berusaha menyelisik prioritas pemerintah antara urusan ekonomi dan kesehatan selama implementasi kebijakan PPKM.
Pada awal pandemi, Anda pernah menyarankan pemerintah untuk menerapkan kebijakan Karantina Wilayah alih-alih PSBB. Sebenarnya, apa perbedaan kedua kebijakan tersebut? Dan, bagaimana kebijakan Karantina Wilayah yang Anda maksud?
Menurut saya, perbedaan kebijakan Karantina Wilayah dengan PSBB adalah letak fokus dan semangat kebijakannya. Kebijakan Karantina Wilayah memiliki semangat untuk menyelamatkan urusan kesehatan terlebih dahulu. Sedangkan, semangat dari PSBB tidak memiliki satu titik fokus sehingga penanganan terbelah menjadi dua sisi, yaitu pada urusan kesehatan dan perekonomian. Artinya, Karantina Wilayah memiliki kejelasan untuk menyelamatkan kesehatan masyarakat sehingga dampak ekonomi dalam jangka panjang juga terselamatkan. Sementara itu, PSBB dan PPKM memang sama-sama memiliki semangat menyelamatkan kesehatan, tetapi berfokus pada dampak ekonomi jangka pendek. Padahal, dampak ekonomi jangka panjang lebih baik daripada jangka pendek. Perspektif inilah yang tidak diantisipasi. Alhasil, ketika beberapa negara penyelenggara kebijakan Karantina Wilayah telah menuai hasil yang mereka tanam, situasi di Indonesia masih membingungkan dan darurat.
Namun, ketika Presiden Jokowi menetapkan kebijakan PPKM Mikro, beliau mengklaim bahwa kebijakan tersebut ramah dengan ekonomi rakyat. Bagaimana tanggapan Anda dalam memandang ekonomi kerakyatan ala Jokowi?
Sederhananya, saya melihat ekonomi rakyat sebagai proses apabila seseorang tidak bekerja pada pagi hari, maka mereka tidak akan dapat makan pada malam hari. Ada pula perspektif yang memandang ekonomi kerakyatan sebagai ekonomi informal dan usaha-usaha mikro. Sejatinya, perspektif-perspektif ekonomi rakyat seperti ini juga dapat ditemukan di beberapa negara maju. Akan tetapi, negara-negara tersebut lebih memilih Karantina Wilayah daripada implementasi PPKM Mikro dan ekonomi rakyat nyatanya tetap berjalan. Alhasil, apabila dikatakan bahwa kebijakan PPKM Mikro ramah terhadap ekonomi rakyat, saya kira belum tentu. Sebab, ada banyak kebijakan lain yang lebih ramah terhadap ekonomi rakyat, terutama untuk jangka panjang.
Namun, dapat dikatakan bahwa mayoritas pekerjaan di negara maju memang dapat dilakukan dari rumah, tetapi pekerjaan-pekerjaan di Indonesia belum demikian. Bagaimana tanggapan Anda?
Saya rasa fenomena tersebut adalah persoalan lain yang perlu disiasati dalam konteks perekonomian. Salah satu kelemahan perekonomian di Indonesia adalah terlalu banyak pekerjaan di sektor informal. Sehingga ketika krisis pandemi terjadi, sektor-sektor tersebut terdampak cukup berat. Oleh karena itu, saya melihat persoalannya adalah bukan perkara Karantina Wilayah atau PPKM, tetapi ragam problematik birokrasi yang membayangi kesejahteraan pekerja informal, seperti urusan penyaluran dan besaran bantuan. Sebab persoalannya di situ, maka sudah seharusnya solusi yang diberikan juga menyasar pada persoalan tersebut.
Lalu, menurut Anda, bagaimana kebijakan pemerintah saat ini dalam melindungi para pekerja informal tersebut?
Saya melihat keberadaan sektor informal yang besar di Indonesia kemungkinan disebabkan oleh ketidakberhasilan atau ketiadaan industrialisasi sehingga melahirkan pekerjaan-pekerjaan di sektor tersebut. Dalam konteks pandemi, saya melihat banyak kendala terkait upaya penyejahteraan sektor informal. Misalnya, persyaratan untuk mendapat bantuan yang berbelit dan rendahnya ketersediaan data penerima bantuan. Terlebih lagi, kontinuitas bantuan juga perlu dipertimbangkan oleh pemerintah karena interval pandemi yang cukup panjang. Jadi, menurut saya, kebijakan saat ini belum cukup untuk melindungi kelompok-kelompok rentan tersebut.
Namun, sebenarnya pemerintah telah mengeluarkan beberapa stimulus di berbagai sektor selama pandemi, salah satunya sektor pariwisata. Bagaimana tanggapan Anda terhadap stimulus ini?
Sebelumnya, pemilihan pemberian stimulus ini cukup menarik karena menyasar sektor pariwisata alih-alih kesehatan. Pasalnya, kalau kita mengeluarkan bantuan untuk sektor pariwisata, saya kira bantuan tersebut kurang begitu penting di masa pandemi. Saat ini, seharusnya pemerintah berfokus pada sektor pendidikan, kesehatan, ataupun industri farmasi. Kalau tujuan stimulus adalah untuk menggerakkan perekonomian, saya rasa ketiga sektor tadi sebenarnya juga bisa menggerakkan perekonomian.
Lantas, apakah fenomena yang Anda sampaikan mengindikasikan bahwa struktur ekonomi di Indonesia lemah?
Iya, jelas. Salah satu indikasi struktur ekonomi yang lemah adalah jumlah pekerjaan sektor informal lebih besar daripada pekerjaan sektor formal. Keberadaan sektor informal ini disebabkan oleh industrialisasi yang belum berhasil sehingga pekerja informal belum dapat bertransformasi menjadi pekerjaan-pekerjaan formal. Fenomena ini tidak hanya terjadi di masa pandemi, tetapi sudah ada sejak sebelum pandemi muncul. Bahkan, kalau dilihat dari Gross Domestic Product (GDP) pascakrisis 1997, GDP tertahan di angka 5% dan belum menunjukkan kecenderungan untuk bergerak naik. Padahal, kalau dilihat di Negara Vietnam dan India, mereka mampu melakukan akselerasi untuk meningkatkan GDP.
Sebenarnya, apa tolok ukur dalam melihat kekuatan perekonomian suatu negara?
Salah satu indikator perekonomian yang kuat adalah ketersediaan sistem industri. Apabila sistem industri terbentuk, maka pasar domestik juga terbentuk. Alhasil, negara mampu menaikkan pemasukan dan mengurangi pengangguran. Apabila belum terbentuk pasar domestik, maka belum ada dampak riil yang dapat dirasakan masyarakat. Oleh karena itu, untuk membentuk sistem industri yang baik sangat dibutuhkan peran negara yang efektif dan efisien.
Kalau begitu, apakah dalam kondisi tanpa pandemi sekalipun, ekonomi di Indonesia berkemungkinan kolaps?
Konsep awal yang perlu dimengerti adalah selama ada masyarakat, maka ada kehidupan, dan ada pula sistem ekonomi. Artinya, kalau negara dan pasar tidak mampu menyelesaikan masalah ekonomi, maka masyarakat akan berusaha mencari jalan sendiri supaya ekonomi tetap ada. Dengan kata lain, meskipun tidak ada industri dan dalam kondisi krisis, masih sangat mungkin ekonomi masyarakat tetap berjalan. Namun, apabila secara struktural perekonomian sudah rapuh sejak lama ditambah kedatangan momentum krisis, maka ekonomi akan kolaps secara perlahan. Kolaps ini tidak muncul secara tiba-tiba, tetapi melalui serangkaian kebijakan ekonomi yang tidak tepat sasaran. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya usaha yang bangkrut, perbankan yang tutup, dan hutang yang tidak terbayarkan.
Lantas, menurut Anda, apakah pengelolaan anggaran semasa pandemi sudah efektif?
Berbicara tentang anggaran, maka kita berbicara mengenai biaya, hukum pasar, dan mekanisme pasar. Konsepnya adalah biaya harus seminimum mungkin, tetapi dapat memberi penerimaan sebesar mungkin sehingga anggaran menjadi kuat. Dalam praktiknya, sering kali urusan anggaran menjadi prioritas utama dan urusan sosial dikesampingkan. Apabila logika tersebut tetap digunakan, maka anggaran akan dipergunakan untuk masyarakat, tetapi dengan beragam persyaratan. Oleh karena itu, dalam kondisi pandemi, perlu dipahami bahwa masalah sekarang adalah masalah sosial, bukan perkara untung dan rugi. Terlebih lagi, saya merasa bahwa masalah utama anggaran di masa pandemi adalah penyaluran bantuan dan prioritas anggaran yang belum jelas.
Melihat perkembangan pandemi dan kondisi ekonomi saat ini, apa rekomendasi kebijakan yang sekiranya dapat memulihkan ekonomi dan kesehatan di Indonesia?
Sejatinya, kekacauan hari ini bukanlah tanpa sebab, tetapi ada serangkaian akumulasi kebijakan yang tidak begitu berhasil. Pandemi ini juga menjadi momentum pengingat bahwa banyak paradigma birokrasi lama yang harus diubah, dari yang lambat menjadi lebih responsif. Dalam menghadapi permasalahan saat ini, yang perlu ditekankan adalah kita tidak bisa memilih untuk berfokus pada kedua urusan, ekonomi dan kesehatan. Kita perlu menggelontorkan tenaga pada urusan kesehatan terlebih dahulu melalui pembatasan mobilitas yang lebih ketat dan terukur serta peningkatan jumlah vaksinasi per kapita. Dengan begitu, barulah keselamatan ekonomi dalam jangka menengah dan panjang dapat diupayakan.
Penulis: Achmad Hanif Imaduddin dan Akbar Bagus Nugroho
Penyunting: Muhammad Fadhilah Pradana
Ilustrator: Dwi Nanda Renaldy