Kamis 09.00 WIB (12-08), sidang keempat warga Wadas gugat Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, atas Keputusan Izin Penetapan Lokasi (IPL) pembangunan Bendungan Bener di Purworejo dan Wonosobo dengan No. Perkara 68/G/PU/2021.SMG resmi digelar. Bertempat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, sidang kali ini dipimpin oleh Roni Erry Saputro selaku Hakim Ketua. Agendanya adalah mendengarkan keterangan saksi/ahli dari para penggugat sebagai kelanjutan sidang sebelumnya pada 9 Agustus 2021.
Berbeda dari sidang sebelumnya yang menghadirkan enam warga sebagai saksi, kali ini yang dihadirkan adalah tujuh orang ahli dari berbagai bidang. Para ahli yang dimaksud yakni: Bibianus Hengky Widhi Antoro, Ahli Hukum Administrasi Negara; Dianto Bachriadi, Ahli Politik Agraria; Nandra Eko Nugroho, Ahli Geologi/Kebencanaan; Andreas Budi Widyanta, Ahli Sosiologi; I Gusti Agung Made Wardana, Ahli Hukum Lingkungan; Risma Umar, Ahli Gender dan Lingkungan; serta Hotmauli Sidabalok, Ahli Hak Asasi Manusia (HAM). Salah satu topik yang mencuat adalah soal tudingan pelanggaran HAM dalam sengkarut IPL.
Rangkaian sidang gugatan warga Desa Wadas dimulai pada 26 Juli dengan agenda pemeriksaan pokok gugatan. Sidang kedua pada 2 Agustus berisi pemeriksaan bukti surat/tulisan para penggugat dan tergugat. Selanjutnya, sidang ketiga pada 9 Agustus menjadi ajang mendengarkan keterangan saksi/ahli dari penggugat. Kemudian, agenda tersebut disambung pada sidang keempat.
Berdasarkan siaran pers yang dirilis Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (GEMPADEWA), warga Wadas menggugat keputusan Ganjar Pranowo atas kebijakannya mengeluarkan SK No. 590/20 Tahun 2021 tentang Pembaruan atas Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Wonosobo. IPL Bendungan Bener tetap mencantumkan Desa Wadas sebagai lokasi tambang batu material bendungan sebagaimana yang diungkapkan Hotmauli pada sidang keempat. Padahal GEMPADEWA menolak tegas sebab terdapat cacat prosedur. Selain itu, mereka juga menyatakan bahwa IPL tersebut cacat substansi sebab bertentangan dengan peraturan perundang-undangan serta asas-asas umum pemerintahan yang baik. Bagi GEMPADEWA, kecacatan prosedural dan substansial ini merupakan bentuk pelanggaran HAM bagi warga Wadas.
Pukul 09.39, Hakim Ketua mengetuk palu pertanda dimulainya sidang. Ahli pertama yang memberikan kesaksian yaitu Bibianus. Dia menyatakan bahwa keputusan Ganjar Pranowo dalam memperbaharui IPL tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Bibianus menyatakan tidak terdapat istilah pembaruan dalam Peraturan Pemerintah (PP) maupun Undang-Undang (UU). “Yang ada itu adalah perpanjangan dengan prosedur,” tukas Bibianus. Kekeliruan ini, terangnya, berangkat dari dasar hukum yang digunakan Ganjar yakni PP No. 58 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah. Padahal, PP tersebut sudah dicabut dan digantikan dengan PP No 19 Tahun 2021.
Kesaksian dari telaah terminologi “kepentingan umum” dibawakan oleh Dianto. Baginya, meskipun termasuk Proyek Strategis Nasional (PSN), “pembebasan lahan” Wadas tetap harus tunduk pada UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Pada UU tersebut, kepentingan umum didefinisikan sebagai kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Maka, terang Dianto, menjadi sangat janggal ketika tambang di Wadas ditafsirkan sebagai kepentingan umum sementara warganya menggugat sebab merasa dirugikan. “Hal ini sudah menjadi malapraktik pemerintahan,” tutur Dianto.
Suasana sidang yang awalnya tenang seketika menegang. Musababnya, kuasa hukum dari pihak tergugat terlihat menertawakan Dianto di tengah kesaksiannya. Merasa tersinggung, Hasrul Buamona, salah satu kuasa hukum dari penggugat, berbicara dengan intonasi tinggi, “Saya perhatikan dari tadi pihak tergugat tertawa terus. Tidak ada etika!”. Friksi pun melunak setelah Hakim Utama menegur kuasa hukum pihak tergugat untuk menghormati etika persidangan.
Setelah kondisi berangsur tenang, sidang pun berlanjut. Kali ini Igam, sapaan akrab dari Agung Wardana, yang berkesempatan menyampaikan kesaksiannya. Tidak berbeda dari argumen para ahli sebelumnya, Igam juga menyatakan bahwa pembaharuan IPL oleh Ganjar tidak memiliki kejelasan dasar hukum. Ditinjau dari segi hukum lingkungan, IPL haruslah memiliki Amdal (analisis mengenai dampak lingkungan). “Izin lingkungan dan Amdal akan kadaluarsa dalam jangka waktu tiga tahun,” jelas Agung. Sementara itu, Amdal yang melandasi IPL ini muncul pada tahun 2018 berbarengan dengan terbitnya IPL yang pertama sehingga sekarang sudah tidak berlaku. Menurut siaran pers yang dirilis oleh LBH Yogyakarta, dalam proses penyusunan Amdal pun warga Wadas tidak pernah dilibatkan meskipun desanya dijadikan lokasi tambang material bendungan.
Peninjauan dari perspektif kebencanaan juga tidak membenarkan aktivitas pertambangan di Desa Wadas. Hal ini disampaikan oleh Nandra yang menekuni bidang manajemen bencana geologi. Menurutnya, Desa Wadas memiliki kerawanan tinggi terhadap bencana longsor. Oleh karena itu, daerah tersebut tidak diperbolehkan dan harus diminimalisir terjadinya perubahan susunan batuan. “Segala pembangunan yang mengubah morfologi lahan tidak boleh dilaksanakan di Wadas, termasuk pertambangan,” tegas Nandra.
Berkenaan dengan pengabaian analisis kebencanaan, Hotmauli punya argumen. Dia berpendapat bahwa warga punya hak untuk mendapatkan keadilan lingkungan. “Dan kerusakan lingkungan berpotensi bencana merupakan pelanggaran terhadap HAM warga Wadas,” imbuhnya.
Dalam tinjauan sosial ekologi, Andreas mengungkapkan bahwa partisipasi warga adalah mutlak. Maka, hemat Andreas, warga harus diposisikan sebagai subjek pembangunan lewat musyawarah. “Jika warga dianggap sebagai objek, itu adalah bentuk penyingkiran sebab dianggap tidak punya kehendak,” terang Andreas.
Selain dasar hukum yang tidak jelas dan pelanggaran HAM yang terjadi, kasus IPL Wadas ini juga gagap terhadap nalar analisis gender. Berdasarkan kesaksian Risma, IPL Wadas tidak memuat hak perempuan seperti yang diamanatkan dalam UU No. 77 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. “Berkenaan dengan UU tersebut, maka proyek pembangunan harus juga melibatkan kaum perempuan dalam perencanaannya, termasuk soal IPL Wadas ini,” paparnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Andreas bahwa perempuan itu sangat lekat dengan ekologi. “Jika ada pembangunan, maka tanyailah kaum perempuannya. Mereka seperti ibu bumi yang merawat lingkungannya demi penghidupan yang layak,” imbuh Andreas.
Merasa sangsi dengan penjelasan yang diungkapkan Risma, kuasa hukum tergugat mempertanyakan kaitan antara pasal yang mengatur gender dengan UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah. Risma menjawab dengan tegas bahwa UU tersebut seharusnya selaras dengan UU No. 77 Tahun 1984. “Meskipun dalam UU tentang Pengadaan Tanah tidak mengkaji perempuan, UU No. 77 Tahun 1984 masih tetap berlaku,” tegasnya.
Sanggahan diberikan oleh kuasa hukum tergugat bahwa Bendungan Bener sudah dianalisis akan memberikan dampak baik bagi warga sekitar juga. Menimpali, Hotmauli kembali menegaskan bahwa bendungan dan pertambangan untuk materialnya adalah dua aktivitas yang berbeda. “Lalu, sebenarnya penambangan di Wadas ini untuk siapa bila warga tidak merasa diuntungkan, bahkan malah dirugikan?” pungkasnya.
Reporter : Viola Nada Hafilda
Penulis : Yeni Yuliati
Penyunting: Ardhias Nauvaly Azzuhry