Jumat (25-04), Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) mengadakan diskusi daring sekaligus peluncuran buku “Pekerja Industri Kreatif Indonesia : Flexploitation, Kerentanan, dan Sulitnya Berserikat.” Narasumber dari diskusi daring tersebut ialah Rara Sekar dan Ben Laksana sebagai Perwakilan Tim Penulis buku itu. Cecil Mariani (anggota SINDIKASI) selaku moderator kemudian mengarahkan diskusi untuk membahas fleksibilitas industri kreatif yang justru menjadi sumber eksploitasi tenaga kerjanya.
Pandangan terhadap skema fleksibilitas kerja di bidang industri kreatif telah menjadi anggapan umum di masyarakat. Salah satunya adalah anggapan bahwa para pekerja kreatif memiliki jangka waktu yang lebih fleksibel karena tidak terlalu terikat oleh waktu. “Hal tersebut memberikan pandangan mengenai kemudahan dan kenyamanan karena mereka bisa berpindah-pindah kerja dan memiliki tempat kerja yang berbeda,” jelas Ben.
Dalam menanggapi hal tersebut, Rara memaparkan bahwa anggapan fleksibilitas kerja di industri kreatif harus dikritisi. Dia mempertanyakan kemampuan fleksibilitas ini dalam memerdekakan pekerja kreatif dari eksploitasi. Kritik dari Rara lantas dijawab oleh Ben dengan kenyataan di lapangan bahwa fleksibilitas kerja tidak mampu membebaskan pekerja dari eksploitasi. “Fleksibilitas yang digaungkan sebagai keuntungan sektor industri kreatif hanyalah ilusi,” tambah Ben.
Ben menjelaskan ilusi yang dimaksud lewat hubungan antara dua dimensi fleksibilitas kerja. Pertama, dimensi ruang dan waktu. Pekerja di sektor industri kreatif biasa diberi predikat pekerja yang santai dan bisa bekerja dimana pun (fleksibilitas ruang) sekaligus kapan pun (fleksibilitas waktu). Kedua, dimensi fleksibilitas pasar tenaga kerja yang berhubungan dengan informalitas dan kerentanan para pekerja akibat dimensi pertama. Fleksibilitas pasar tenaga kerja, lanjutnya, muncul sebagai manifestasi dari dimensi fleksibilitas ruang dan waktu yang dapat memicu eksploitasi. Ben juga menekankan relasi antara kedua dimensi fleksibilitas ini menciptakan situasi ketidakpastian bagi para pekerja kreatif. “Situasi tanpa kepastian seperti inilah yang membuat pekerja kreatif menjadi rentan,” pungkas Ben.
Eksploitasi yang terjadi akibat fleksibilitas kerja di industri kreatif diberi istilah flexploitation oleh tim penulis. Berdasarkan pemaparan dari Ben, flexploitation merupakan gabungan antara flexibility dan exploitation. Kondisi ini, lanjutnya, dicirikan sebagai keadaan kerja yang temporer dan dipenuhi oleh ketidakpastian yang berdampak terhadap kerentanan pekerja. ”Ketiadaan jaminan, perlindungan sosial, dan keselamatan kerja sebagai hasil dari flexploitation merupakan beberapa jenis kerentanan utama yang dialami para pekerja di industri kreatif,” jelas Ben.
Menyambung bahasan Ben, Rara mengemukakan bukti-bukti konkret adanya flexploitation di industri kreatif. Pertama, tidak adanya jaminan sosial dan asuransi kesehatan bagi para pekerja karena biaya tersebut ditanggung sendiri oleh pekerja tersebut. Kedua, menanggung sendiri ongkos untuk biaya-biaya tak tampak. Bagi pekerja lepas, mereka biasanya tidak memasukkan biaya alat produksi ke dalam upah (tagihan pembayaran). Ketiga, jam kerja yang bersifat fleksibel seringkali justru melanggengkan relasi kerja yang eksploitatif karena mereka terpaksa untuk bekerja di luar jam wajar.
Menanggapi hal itu, salah seorang perwakilan dari Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (ADGI) sebagai pelaku industri kreatif menyampaikan kondisi di lapangan terkait flexploitation. Sejauh ini, ia melaporkan bahwa belum ada aturan soal standar pengupahan jasa desain grafis. Ia kemudian menyebut bahwa ADGI sedang berusaha untuk menyusun buku tentang standarisasi pengupahan jasa desain grafis sebagai respon atas ketiadaan regulasi yang terjadi.
Di akhir diskusi, Rara menekankan bahwa memang fleksibilitas sesungguhnya hanya ilusi semata. Hal ini sesuai dengan bukti-bukti yang telah ditemukan di lapangan. Perlu kepedulian terhadap hak dari para pekerja industri kreatif. “Upaya pembentukkan standarisasi upah bagi para pekerja di bidang desain grafis oleh ADGI merupakan cara yang tepat untuk mengatasi isu ini,” jelas Rara.
Penulis: Annisa Shafa Regina
Penyunting: Ardhias Nauvaly Azzuhry