Terdapat perdebatan mengenai media massa, yakni terkait apakah ia bekerja demi kebaikan masyarakat atau demi keinginan masyarakat. Perdebatan ini kental terasa saat kita menonton tayangan infotainment. Infotainment merupakan gabungan berita, promosi, dan hiburan. Dengan adanya infotainment, sebuah berita disajikan dengan kemasan yang menarik sehingga menjadi terkesan menghibur dan bombastis. Tujuan pengemasan berita dengan infotainment yakni untuk menghibur konsumen. Dampaknya, berita yang diberikan cenderung tidak penting, kontroversial, dan dilebih-lebihkan.
Di buku ini dijelaskan mengenai sejarah perkembangan infotainment. Pada awalnya, media massa merupakan media penyebaran berita saja. Pada abad 19, media massa mulai memasukkan unsur infotainment. Di Inggris, pengurangan pajak pers mengubah media massa menjadi komoditas ekonomi yang berusaha memberitakan kisah-kisah yang sensasional. Di Italia, berdiri majalah Illustrazione Italiana yang menggabungkan jurnalistik dengan infotainment dengan tujuan ekonomis. Tujuan dari adanya unsur infotainment dalam media massa tidak lain adalah untuk memenuhi keinginan pembaca terhadap kisah-kisah sensasional dan kontroversial. Dengan begitu, keuntungan media massa akan meningkat.
Munculnya media film tidak serta-merta menghapus pola pemberitaan yang digabung dengan unsur infotainment. Pelopor dari penggunaan film sebagai media penyampaian berita adalah Charles Pathe. Pada tahun 1907, Pathe menciptakan film berita. Pada periode perang dunia, film lebih sering dijadikan media propaganda oleh pemerintah. Pasca perang dunia, industri televisi mulai tumbuh. Semenjak itu, minat terhadap film berita mulai menurun dan digantikan dengan infotainment.
Dalam buku Rezim Media ini, Iswandi berargumen bahwa program infotainment menurunkan kualitas jurnalisme. Hal ini disebabkan karena program infotainment mengaburkan batas antara fakta dan hiburan. Menurunnya kualitas jurnalisme ini diperparah dengan adanya motif ekonomi yang menggerakan industri televisi. Perusahaan penyiaran televisi hanya peduli dengan rating sehingga mengedepankan sensasional ketimbang fakta yang kredibel.
Bobroknya Industri Televisi
Industri televisi di Indonesia mulai muncul saat masa transisi menuju era reformasi. Runtuhnya Orde Baru menandai berakhirnya represi pemerintah terhadap pers. Sayangnya, kebebasan ini tidak terkendali. Tidak ada arah pasti kemana kebebasan pers ini bertuju. Dampaknya, televisi berubah menjadi institusi ekonomi. Kebebasan pers yang seharusnya digunakan demi kebaikan masyarakat malah dibajak oleh pemodal.
Dalam buku ini, Iswandi berargumen bahwa dampak dari dibajaknya kebebasan pers tersebut adalah produksi tayangan tidak lagi memperhatikan etika, moral, dan pendidikan. Produksi tayangan hanya mementingkan keuntungan ekonomis. Sebuah program yang memiliki rating tinggi akan meningkatkan harga jual slot iklan pada jam tayang tertentu. Karena menguntungkan, program tersebut akan dipaksa untuk diperpanjang walaupun harus melenceng jauh dari konsep awal dan melabrak norma-norma yang ada. Karena tuntutan rating pula, produksi tayangan menjadi kejar tayang. Artinya, program tayangan diproduksi dengan sangat cepat tanpa memperhatikan aspek kualitas dan kelayakan.
Karena berorientasi bisnis, maka dana produksi tayangan harus ditekan semaksimal mungkin. Dampaknya, riset minat masyarakat ditiadakan dalam proses produksi tayangan. Untuk mengakali ini, perusahaan penyiaran melakukan duplikasi program tayangan. Jika ada satu program tayangan yang memiliki rating yang tinggi, perusahaan penyiaran televisi lain akan menduplikasi acara serupa dengan nama dan kemasan yang berbeda. Program tayangan yang diduplikasi tidak hanya yang berasal dari stasiun televisi luar negeri, tapi juga dari sesama stasiun televisi dalam negeri. Dengan begitu, perusahaan penyiaran televisi dapat mendapat untung sebesar-besarnya dengan modal sedikit-dikitnya karena tidak perlu melakukan riset lagi.
Ironisnya, frekuensi yang digunakan oleh industri televisi berstatus sebagai milik publik. Frekuensi publik yang seharusnya digunakan untuk kebaikan masyarakat seperti menayangkan tayangan pendidikan dan jurnalistik, malah digunakan untuk meraih keuntungan ekonomi sebesar-besarnya tanpa memperhatikan kualitas tayangannya. Bukannya memberikan program tayangan yang bermanfaat untuk masyarakat, industri televisi malah memberikan program tayangan yang berkualitas rendah dan bersifat kejar tayang. Akhirnya, masyarakat tidak memiliki pilihan lain dan harus pasrah frekuensinya dibajak oleh industri televisi.
Pembajakan Demokrasi Oleh Rezim Media
Iswandi berpendapat bahwa industri televisi yang berorientasi pada ekonomi menyebabkan ia, sebagai media massa, menjadi tidak bisa menjalankan perannya dalam sistem demokrasi. Dengan adanya kebebasan pers dalam sistem demokrasi, seharusnya media massa dapat berperan sebagai kanal penghubung antara masyarakat dengan pemerintah. Media massa memiliki kekuatan untuk mengawal dan memperjuangkan kepentingan publik. Sayangnya, kepentingan ekonomi malah lebih diutamakan ketimbang kepentingan publik.
Kepentingan ekonomi mengharuskan industri televisi untuk mendapatkan dan mempertahankan jumlah penonton yang tinggi. Secara tidak langsung, industri televisi sudah menguasai masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari pengaruh televisi dalam membentuk budaya di masyarakat. Selain itu, kuasa media juga jauh lebih besar daripada kuasa negara. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya mekanisme pengawasan media yang ketat. Media pun memiliki kemampuan untuk membentuk opini publik yang tidak dimiliki oleh negara. Dengan kata lain, media telah berkuasa atas negara dan masyarakat.
Berkuasanya media atas negara dan masyarakat menyebabkan media dapat berlaku sesukanya tanpa ada yang dapat menghentikan kecuali mekanisme pasar. Contoh kasus yang diangkat dalam buku Rezim Media ini adalah kasus pemberitaan meletusnya Gunung Merapi yang terjadi pada tahun 2010 oleh program Silet. Pada tanggal 7 November 2010, program Silet menyebabkan kepanikan warga dengan mengabarkan bahwa pada tanggal 8 November 2010 akan terjadi letusan Gunung Merapi yang dapat meratakan Yogyakarta. Setelah tayangan Silet tersebut, KPI mendapat 1.128 aduan dalam waktu 24 jam setelah tayangan Silet tersebut. Setelah itu, KPI menjatuhkan sanksi kepada RCTI selaku stasiun televisi yang menyiarkan program Silet. Sanksi tersebut berupa penghentian program Silet sampai pemerintah mencabut status siaga bencana Gunung Merapi, membuat permintaan maaf selama tujuh hari berturut-turut, dan melarang RCTI membuat program serupa dengan format yang sama. RCTI menolak sanksi tersebut dan membawa kasus tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). PTUN pun memutuskan untuk membatalkan sanksi yang diberikan KPI. Selanjutnya, KPI mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). MA pun mengabulkan kasasi yang diajukan oleh KPI.
Dari kasus tersebut dapat dilihat gelagat rezim otoriter dalam diri media, yaitu berusaha melakukan segala cara untuk mempertahankan kekuasaannya. RCTI yang sudah jelas menyebarkan kabar bohong dan menyebabkan kepanikan massal tidak mau dengan mudah takluk dengan sanksi yang diberikan KPI. Kasus ini juga menunjukan betapa sulitnya melakukan pengawasan dan penegakan hukum terhadap media. Hal ini diperparah dengan adanya Manifesto Kemerdekaan Pers 2010 yang ditandatangani oleh 50 tokoh pers nasional. Salah satu poin manifesto tersebut adalah menolak sanksi yang diberikan KPI terhadap Metro TV karena dianggap mengancam kebebasan pers. Padahal, sanksi KPI tersebut diberikan karena Metro TV lalai dalam menyensor adegan senggama dalam salah satu siarannya.
Perkembangan Industri Televisi Saat Ini
Walaupun buku Rezim Media ini diterbitkan tahun 2013, relevansinya masih bisa dirasakan sampai saat ini. Kehadiran media sosial membuat eksistensi televisi menjadi terancam. Akibatnya, industri televisi harus memutar otak untuk bisa bersaing dengan media sosial. Sayangnya, bukannya meningkatkan mutu program tayangan, industri televisi malah menyalin mentah-mentah konten yang ada di media sosial ke tayangan televisi. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya program tayangan yang hanya mengkompilasi video-video yang ada di Youtube, Instagram, dan Tiktok. Program pemberitaan pun menjadi sangat bergantung pada apa yang viral di media sosial. Kualitas jurnalisme juga semakin menurun karena tidak adanya proses cross check dari konten-konten yang diambil dari media sosial. Hal ini dilakukan dalam rangka menekan ongkos produksi.
Selain itu, permasalahan penggunaan frekuensi publik masih terjadi. Yang terbaru, pernikahan Atta-Aurel yang disiarkan oleh RCTI dianggap sebagai penyalahgunaan frekuensi publik. Kasus ini bukan pertama kali terjadi. Sebelumnya, RCTI juga pernah menyiarkan acara pernikahan Raffi Ahmad-Nagita Slavina. KPI pun memberikan sanksi kepada RCTI karena telah menyalahgunakan frekuensi publik untuk hal yang bersifat privat. Namun, lagi-lagi RCTI menolak sanksi yang diberikan oleh KPI (Briantika, 2021).
Selain relevansinya yang masih terasa hingga sekarang, buku Rezim Media ini juga mengangkat diskursus yang jarang dibahas dalam disiplin ilmu politik, yaitu peran media. Ilmu politik cenderung hanya membahas bagaimana hubungan antara masyarakat dan negara saja, padahal media memiliki kekuasaan untuk mengintervensi hubungan tersebut. Media dapat menggiring opini publik dan mengganggu penerapan kebijakan dengan melakukan framing isi berita.
Dibalik kedua kelebihan tersebut, buku ini memiliki beberapa kekurangan. Kekurangan buku ini antara lain yaitu pembahasan yang cenderung melompat-lompat dan masih banyaknya salah ketik. Pembahasan yang dijelaskan di tiap sub-bab terasa saling terpisah satu sama lain. Hal ini menyebabkan pembahasan di buku ini seperti melompat-lompat dari satu pembahasan ke pembahasan yang lain. Selain itu, di buku ini masih banyak terdapat salah ketik. Walau tidak sampai mengurangi keterbacaan buku ini, salah ketik yang ada cukup mendistraksi. Walaupun begitu, kekurangan yang ada tidak cukup untuk menutupi kelebihan yang dimiliki buku ini. Buku ini tetap layak dan penting untuk dibaca, terutama bagi mereka yang ingin memahami peran media dalam konstelasi perpolitikan dan bagaimana bobroknya rezim media yang berkuasa.
Penulis: Fandy Arrifqi
Editor: I Made Adi Prema Nanda
Ilustrator: Inas Alimaturrahmah
Referensi
Briantika, A. (2021, Maret 17). Setelah Lamaran Atta-Aurel yang Membajak Frekuensi Publik. Tirto.id. https://tirto.id/setelah-lamaran-atta-aurel-yang-membajak-frekuensi-publik-gbdV
Syahputra, I. (2013). Rezim Media: Pergulatan Demokrasi, Jurnalisme, dan Infotainment dalam Industri Televisi. Gramedia Pustaka Utama.