Saat ini, isu lingkungan mendapat perhatian yang besar dari masyarakat. Beberapa penyebabnya adalah pemanasan global dan perampasan hak tanah. Dampaknya, banyak masyarakat beramai-ramai menggalakkan gerakan peduli lingkungan melalui aksi nirkekerasan.
Menanggapi hal tersebut, pada Kamis (29-04), Institute of International Studies mengadakan sebuah diskusi daring bertajuk “Barangsiapa meninggalkan kekerasan…” Diskusi tersebut menghadirkan tiga pembicara di antaranya Aleta Baun, Pendiri Kelompok Kerja Organisasi A’taimamut; Sukinah, Aktivis Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng; dan Arie Utami, Aktivis Jeda untuk Iklim.
Menurut Arie Utami, pembicaraan mengenai isu lingkungan harus dimulai dari percakapan sehari-hari. Oleh karena itu, penyadaran kepada masyarakat melalui aksi nirkekerasan menjadi faktor penting untuk memulai diskusi mengenai lingkungan. Arie kemudian menuturkan bahwa kegiatan seperti webinar bisa menjadi media untuk mengawali diskusi mengenai iklim. “Misalnya, Jeda untuk Iklim mengadakan webinar yang mengundang pakar-pakar lingkungan dan komunitas pejuang iklim,” ujarnya.
Sukinah menceritakan pengalamannya mengorganisir massa dalam aksi nirkekerasan Masyarakat Kendeng. Sukinah bercerita bahwa dirinya mendatangi setiap rumah dan memberikan pemahaman mengenai pentingnya menjaga lingkungan. Pemahaman itu Sukinah jelaskan dengan cara yang sederhana. Misalnya, dalam kasus tambang semen, masyarakat Kendeng diberi pemahaman bahwa hadirnya tambang-tambang tersebut akan berpengaruh terhadap hasil panen.
Lebih lanjut, Aleta Baun menyoroti pentingnya menciptakan rasa nyaman dalam mengorganisir massa untuk bergabung ke dalam aksi nirkekerasan. “Dalam mengorganisir massa, kami juga melakukan penguatan untuk memperoleh kepercayaan masyarakat,” jelasnya. Aleta menambahkan bahwa penguatan tersebut dapat berupa perlindungan dan jaminan dalam melakukan aksi.
Peran perempuan dalam aksi nirkekerasan juga menjadi salah satu poin diskusi. Dalam perlawanan masyarakat Kendeng, perempuan selalu diposisikan di depan dalam setiap aksi yang berjalan agar tidak menimbulkan kekerasan. “Bapak-bapak kalau di depan pasti marah-marah, jadi ibu-ibu mengambil garis paling depan,” jelas Sukinah.
Sementara itu, Aleta menilai bahwa isu lingkungan memiliki dampak besar bagi kaum perempuan. Aleta memaparkan, “Ketika sumber air dan tanah hilang, perempuan akan lebih merasakan dampaknya dalam mengurus dapur.” Oleh karena itu, tutur Aleta, menjadi penting bagi perempuan untuk turut serta dalam memperjuangkan lingkungan melalui aksi nirkekerasan.
Meskipun bersifat damai, Sukinah dan Aleta bercerita bahwa aksi nirkekerasan menerima banyak sekali ancaman. Ancaman tersebut pernah dialami Sukinah saat melakukan aksi bersama masyarakat Kendeng. Mereka dihadang oleh sekelompok massa yang membawa batu dan memicu kericuhan. Dalam menyikapi hal tersebut, Sukinah menekankan, “kita tidak boleh membalas ancaman dengan kekerasan.”
Oleh karena itu, sebagaimana diungkapkan oleh Sukinah, pihak yang memberikan ancaman kepada aksi nirkekerasan tidak boleh dianggap sebagai musuh. Lebih lanjut, Sukinah menceritakan pengalamannya yang merangkul salah satu pihak yang mengancam untuk ikut bersolidaritas bersama masyarakat Kendeng. “Kita harus bertahan ketika ada ancaman dan fokus pada hal yang diperjuangkan,” tegasnya.
Penulis: Renova Zidane Aurelio
Penyunting: Muhammad Fadhilah Pradana
Desainer Grafis: Raihan Qolby