Kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) mengalami peningkatan jumlah kasus selama pandemi. Pada Catatan Akhir Tahun (Catahu) Kekerasan Terhadap Perempuan 2021, Komnas Perempuan telah mendapat laporan peningkatan kasus yang drastis di tahun 2020. Peningkatan kasus ini mengindikasikan minimnya keamanan dalam dunia siber.
Meskipun peningkatan drastis akibat pandemi, belum ada perlindungan hukum yang tepat untuk menangani kasus KBGO. Berangkat dari hal tersebut, BALAIRUNG berkesempatan untuk mewawancarai Nenden Sekar Arum dari Divisi Kebebasan Berekspresi Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet). Wawancara ini membahas mengenai nihilnya regulasi dalam menangani kasus KBGO.
Apa itu KBGO?
Ada tiga elemen dalam KBGO, yaitu konteks kekerasan, berbasis gender, dan online. Kekerasan yang dimaksud adalah segala bentuk aksi yang mengganggu rasa aman dan nyaman, seperti intimidasi atau ancaman. Berbasis gender berarti kekerasan tersebut ditujukan untuk seseorang dengan gender atau orientasi seksual tertentu, terutama pada perempuan dan gender minoritas lainnya. Sementara itu, konteks online tidak serta merta dilakukan secara daring, tetapi bentuk kekerasan tersebut difasilitasi oleh teknologi. Segala bentuk kekerasan yang menargetkan gender atau orientasi seksual tertentu dan difasilitasi teknologi dikategorikan sebagai KBGO.
Bagaimana kasus KBGO di Indonesia sejauh ini?
Menurut data Catahu Komnas Perempuan mengenai kekerasan terhadap perempuan, terdapat peningkatan dalam kurun waktu tahun 2017 sampai 2019, yaitu lebih dari 300 persen. Peningkatan yang signifikan juga terjadi pada masa pandemi, yakni 241 kasus pada 2019 menjadi 940 kasus di tahun 2020.
Data tersebut juga menyebutkan bahwa penyebaran konten intim non-konsensual memiliki angka tertinggi sepanjang tahun 2020. Selain itu, kasus lain yang memiliki jumlah terbanyak adalah ancaman distribusi foto atau video pribadi (malicious distribution), perilaku memanipulasi anak di bawah umur secara daring (online grooming), penyebaran foto atau video intim tanpa izin (non-consent intimate distribution), dan pelecehan siber (cyber harassment). Begitu juga laporan yang diterima SAFENet tahun 2020. Laporan terbanyak yaitu penyebaran konten intim non-konsensual atau revenge porn. Urutan kedua adalah peniruan akun atau impersonification. Urutan ketiga, penyebaran data pribadi non-konsensual atau doxxing. Urutan keempat, tereksposnya seseorang kepada konten tidak senonoh atau exhibitionism online.
Apakah ada faktor khusus dalam peningkatan tersebut terutama saat pandemi?
Di satu sisi, peningkatan laporan didorong oleh meningkatnya kesadaran masyarakat bahwa yang mereka alami termasuk KBGO. Beberapa tahun sebelumnya, orang tidak tahu bahwa kasus kekerasan tersebut bisa dilaporkan ke Komnas Perempuan. Di sisi lain, barangkali memang ada peningkatan kasus secara drastis. Banyak faktor yang mendukung peningkatan KBGO sepanjang tahun lalu atau dalam tiga tahun terakhir ini.
Penggunaan teknologi juga sangat berpengaruh. Pandemi memaksa masyarakat untuk mengalihkan segala aktivitas mereka ke daring sehingga paparan terhadap internet meningkat. Hal tersebut berbanding lurus dengan potensi adanya KBGO dan kejahatan siber lainnya.
Seiring dengan peningkatan kasus, bagaimana penanganan kasus KBGO di Indonesia terutama selama pandemi?
Pada masa pandemi, banyak pengada layanan yang membatasi layanan konseling atau semua bentuk konseling beralih ke daring. Di satu sisi, pelayanan yang beralih ke daring memudahkan akses pelaporan kasus. Akses terhadap layanan psikologis juga mudah karena dilakukan secara daring. Di sisi lain, kondisi semacam ini juga menimbulkan tantangan baru bagi pengusutan kasus ke ranah hukum atau kepolisian. Sebab, beberapa daerah masih memberlakukan pembatasan aktivitas yang ketat. Selain itu, kemudahan akses memunculkan kekhawatiran terhadap keamanan laporan KBGO dan rentannya penyebaran bukti-bukti laporan. Sebelum pandemi, pelaporan kasus KBGO ke Aparat Penegak Hukum (APH) saja masih menghadapi kesulitan karena belum mendapat perhatian dari mereka. Tantangannya akan menjadi lebih besar di masa pandemi.
Mengapa pelaporan kasus KBGO masih sulit?
KBGO mulai marak tiga sampai lima tahun terakhir ini sehingga pemahaman pendamping korban masih minim. Hal ini mengacu kepada regulasi yang digunakan untuk pelaporan. Ketiadaan payung hukum yang menyatakan kasus KBGO sebagai kekerasan seksual dapat menghambat proses pelaporan. Bahkan, kekerasan seksual sendiri belum memiliki payung hukum. Selain itu, kurangnya pemahaman APH menjadikan KBGO tidak dianggap sebagai bentuk kejahatan. Nihilnya hukum untuk menangani kasus serta buruknya perspektif gender terhadap korban menghambat penanganan kasus KBGO. Terlebih, keterbatasan kapasitas dan fasilitas teknologi pada tingkat yang lebih rendah (Polres dan Polsek) menyulitkan aparat dalam pelacakan.
Mengapa regulasi yang mengatur tentang kasus KBGO tidak segera disahkan mengingat kasusnya terus meningkat?
Undang-Undang (UU) tidak segera disahkan karena pemerintah terlalu fokus pada hal-hal yang kurang penting. Selain itu, sudah menjadi rahasia umum bahwa kepentingan politik dalam pengesahan regulasi sangat tinggi. Seperti halnya pengesahan RUU PKS yang disinyalir merugikan banyak pihak. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas dan kapabilitas anggota dewan di Indonesia dalam menilai prioritas regulasi masih sangat rendah. Selain itu, lemahnya perspektif korban dan kurangnya pengetahuan terhadap kekerasan seksual juga menjadi alasan sulitnya beberapa pihak untuk mengesahkan RUU ini. Kondisi tersebut dipersulit dengan adanya anggapan dan perdebatan akan definisi seksual yang membuat korban menjadi terabaikan.
Apakah regulasi siber yang sudah ada tidak dapat menangani kasus KBGO ?
Dalam beberapa kasus, seperti penyebaran konten pornografi atau peretasan data, UU ITE bisa digunakan untuk membantu korban. Sayangnya, pasal-pasal tersebut bisa menjadi bumerang bagi korban karena rentan mengalami kriminalisasi. Seperti yang tercantum pada UU ITE pasal 28 ayat 1 tentang pornografi, korban bisa diusut karena dianggap terlibat dalam proses pembuatan konten porno. UU ITE bukan ide yang disarankan karena potensi tersebut. Sementara itu, sepak terjang polisi virtual belum terlihat dalam menangani kasus KBGO. Kebanyakan kasus yang ditangani cenderung tidak terlalu penting, seperti ujaran kebencian kepada pemerintah. Oleh karena itu, masih dipertanyakan peran regulasi siber tersebut dalam menangani kasus KBGO.
Apa yang harus dilakukan pemerintah untuk menangani peningkatan kasus KBGO?
Ada dua solusi yang dapat dilakukan oleh pemerintah, yaitu dari jalur litigasi dan nonlitigasi. Solusi litigasinya adalah dengan mengesahkan RUU PKS. Sementara itu, solusi nonlitigasinya adalah dengan meningkatkan kemampuan aparat dalam menangani KBGO menggunakan perspektif gender. RUU PKS fokus pada perlindungan dan pemberian akses keadilan kepada korban. Sebab, tentu, RUU PKS bisa mengakomodasi korban-korban KBGO. Dalam RUU PKS juga dijabarkan mengenai hak korban dalam mengakses keadilan serta hak untuk mendapatkan pelayanan kepolisian yang ramah perempuan. Sangat baik jika hal itu bisa diintegrasikan dengan UU ITE. Namun, UU ITE harus mengakomodasi semua bentuk KBGO, mulai dari penipuan hingga penyebaran konten intim non-konsensual. Akan lebih baik kalau pasal-pasal yang dibuat bisa mendukung korban untuk mendapatkan keadilan. Namun, pasal-pasal tersebut diharapkan tidak lagi berpotensi mengkriminalisasi korban.
Selanjutnya, pemerintah perlu meningkatkan pengetahuan berperspektif korban dan gender APH terhadap kekerasan seksual,. Hal ini sebagai upaya untuk menghindari pelimpahan kesalahan pada korban (victim blaming) yang berpotensi menimbulkan trauma bagi korban. Selain itu, meningkatkan pelayanan, mengingat banyaknya layanan yang belum familiar dengan KBGO.
Selanjutnya, peningkatan kapasitas dan fasilitas APH dalam penanganan kasus KBGO juga perlu. Selama ini, teknologi untuk melacak pelaku KBGO hanya terbatas pada APH di tingkat yang lebih tinggi (Polda dan Polri). Alhasil, proses pelaporan menjadi panjang dan rumit. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan akses terhadap fasilitas dan teknologi di tingkat yang lebih rendah.
Penulis: Zhafira Putri S., Avicenna, Setianingsih
Editor: Salsabella ATP
Ilustrator: Zufar Marsa Elmy