Deforestasi atau praktik pembukaan lahan berhutan yang disengaja di Papua menunjukkan penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Namun, angka deforestasi di Papua masih tergolong cukup tinggi. Auriga Nusantara menyatakan bahwa dalam dua dekade terakhir, angka deforestasi di Papua mencapai 663.443 hektare. Laporan Auriga yang bertajuk “Planned Deforestation: Forest Policy in Papua” menunjukkan sekitar 29 persen angka deforestasi tersebut terjadi dalam rentang tahun 2001-2010 dan 71 persen terjadi pada tahun 2011-2019. Apakah maksud dari deforestasi terencana tersebut? Mengapa angka deforestasi di Papua masih tinggi?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, BALAIRUNG berkesempatan untuk mewawancarai Dedy Sukmara, Direktur Informasi dan Data Auriga Nusantara sekaligus perwakilan Koalisi Indonesia Memantau. Dalam wawancara ini, ia memberikan pernyataan mengenai tingginya angka deforestasi di Papua dan sebab-sebab hal tersebut terjadi.
Apa yang menjadi akar permasalahan tingginya angka deforestasi di Papua?
Akar permasalahannya tidak terlepas dari sumber daya yang dimiliki. Hutan di Papua yang masih banyak membuat deforestasi di Papua tidak bisa dihindari. Hal tersebut akan semakin berbahaya jika kita tidak bisa mempertahankan hutan dalam melakukan pembangunan.
Sebagian besar deforestasi di Papua terindikasi terjadi di dalam konsesi usaha industri ekstraktif. Luas deforestasi yang terjadi di dalam areal konsesi usaha industri ekstraktif ini jumlahnya mencapai sekitar 474.521 hektar, atau 71 persen dari total deforestasi yang terjadi di Papua.
Deforestasi di dalam konsesi usaha industri ekstraktif itu meliput sektor perkebunan, sektor kehutanan, maupun sektor pembangunan. Secara terperinci, deforestasi di dalam konsesi industri ekstraktif ini disumbang oleh usaha perkebunan sawit seluas 339.247 hektar, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam seluas 112.373,21 hektar, Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman atau Hutan Tanaman Industri seluas 16.234 hektar, dan usaha pertambangan 6.666 hektare. Jadi sisanya kurang lebih 200.000 hektar, berasal dari izin-izin industri ekstraktif.
Di Papua kita bisa melihat bagaimana deforestasi memang dilakukan untuk dikonversi menjadi perkebunan sawit. Refleksinya, ada satu areal besar hutan alam yang diizinkan dihanguskan untuk perkebunan sawit seluas 339.247 hektar. Namun faktanya, yang dihanguskan dan ditanami sawit itu hanya sekitar 194.000 hektar. Sisanya kita tidak tahu apakah kayunya diambil dan arealnya dimanfaatkan untuk dibangun perkebunan sawit atau tidak.
Mengapa masa kepemimpinan SBY & Menteri Zulkifli atau masa Jokowi & Menteri Siti Nurbaya, kasus deforestasi meningkat? Meskipun beberapa media mengatakan adanya penurunan deforestasi, angka ini masih cukup tinggi dibanding masa kepemimpinan sebelumnya.
Angka deforestasi di Papua pada masa kepemimpinan Menteri Siti Nurbaya lebih tinggi dibanding masa kepemimpinan Kaban dan Zulkifli Hasan. Laporan deforestasi papua oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut bahwa deforestasi merupakan imbas dari pelepasan kawasan hutan di periode menteri sebelumnya. Padahal, KLHK sudah seharusnya bertanggung jawab untuk mempertahankan hutan, memproteksi hutan, dan juga berkomitmen menahan laju deforestasi. Bukan malah berfokus pada zaman siapapun atau melempar kesalahan pada rezim sebelumnya. Faktanya, alih-alih mengevaluasi pelepasan kawasan hutan yang masih memiliki tutupan hutan alam, KLHK justru turut melepaskan kawasan hutan untuk perkebunan sawit seluas 157.804 hektar. Saya khawatir, jika nantinya kasus deforestasi di Papua meningkat lagi, menteri selanjutnya akan kembali menyalahkan menteri sebelumnya. Begitu seterusnya dan kita tidak tahu sampai kapan. Padahal, hal tersebut bukan menjadi alasan pembenaran terhadap deforestasi.
Berdasarkan laporan penelitian Auriga Nusantara, pemerintah Indonesia melakukan Planned Deforestation, apa tujuannya?
Planned Deforestation itu berarti deforestasi terencana yang legal, by design, dan memang sengaja dilakukan. Terminologi deforestasi terencana yang dimaksud yaitu membatasi deforestasi yang terjadi di dalam izin-izin berbasis lahan. Selain deforestasi yang terjadi di dalam konsesi, deforestasi terencana juga dapat dilihat sebagai deforestasi yang terjadi karena bentuk perencanaan dalam suatu daerah. Seperti yang pernah dikenal dengan istilah Rencana Tata Ruang Wilayah, yaitu rencana pembuatan pola-pola dan struktur ruang. Dalam hal ini, daerah dan pengambil keputusan membuat suatu perencanaan wilayah yang memiliki hutan untuk dikonversi secara legal. Misalnya adalah pemekaran wilayah, yang juga berarti menghilangkan hutan atau termasuk deforestasi terencana.
Apakah deforestasi memberikan dampak positif pada seluruh elemen baik masyarakat, negara, dan lingkungan terlepas dari deforestasi yang ilegal?
Sulit untuk mengatakan bahwa deforestasi bisa mendatangkan dampak positif. Saya menyampaikan bahwa mungkin memang ada dampak positif karena deforestasi tersebut menyumbang penerimaan perekonomian negara terbesar seperti produksi kelapa sawit kedua setelah Malaysia. Secara tidak langsung deforestasi yang terjadi karena ekspansi perkebunan sawit tersebut memberikan dampak terhadap perekonomian. Namun, hal ini juga memerlukan penelitian lebih lanjut. Jadi, walaupun ekonomi positif jika pada akhirnya terjadi kerusakan lingkungan atau bencana kebakaran maka akan berakhir sama saja. Singkatnya, penerimaan yang besar tersebut tidak seberapa jika dibanding dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk memperbaiki kerusakan hutan.
Terkait dengan deforestasi melalui pembakaran hutan, apa penyebab terjadinya kebakaran hutan lahan (karhutla) di Papua?
Saya melihat pada tahun 2020, kasus karhutla disebabkan oleh dua hal. Pertama, kasus karhutla di Papua dapat disebabkan oleh masyarakat adat. Di sini, saya bukan menyalahkan masyarakat adat, tetapi kita harus melihat skala kebakarannya. Di Merauke, pembakaran hutan dengan skala kecil sengaja dilakukan untuk menumbuhkan rumput-rumput baru sehingga mereka bisa berburu dan mengundang satwa-satwa yang menjadi target buruan mereka. Kedua, kasus karhutla juga dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar. Misalnya kemarin, Greenpeace International yang membuat laporan bahwa ada suatu perusahaan yang melakukan praktik pembukaan lahan dengan cara pembakaran. Ini memang terjadi di Indonesia karena biayanya lebih hemat, skala lahan yang dibuka juga luas.
Apa saja dampak negatif yang dialami oleh warga Papua terkait kasus deforestasi dengan cara pembakaran hutan dan lahan?
Deforestasi memberikan dampak negatif bagi masyarakat yang tinggal di sekitar konsesi perizinan yang terjadi kebakaran. Misalnya, polusi dan kehilangan segala sumber-sumber seperti sumber pangan, obat, dan lain sebagainya. Sebab, bagi masyarakat Papua, hutan merupakan “puskesmas”, yakni tempat menggantungkan hidup untuk mendapat makanan dan obat-obatan. Deforestasi yang digadang-gadang memberi nilai tambah ekonomi, ternyata belum terlihat manfaatnya untuk masyarakat Papua. Manfaat tersebut lebih banyak dirasakan oleh pemilik industri skala besar dan elite politik.
Dapatkah Indonesia membangun tanpa deforestasi?
Saya belum berani menjawab apakah itu bisa atau tidak. Akan tetapi mungkin, kemampuan pengambil kebijakan untuk menaruh perhatian dan komitmen dalam merawat serta menjaga hutan akan sangat berpengaruh. Pada zaman Presiden Jokowi, ada instruksi presiden moratorium hutan yang memproteksi hutan dan gambut dari eksploitasi izin. Inpres itu tidak cukup sebab hanya menyebutkan hutan primer saja. Sementara itu, untuk hutan sekunder belum banyak peraturan yang melindunginya. Maka dari itu, yang menjadi pertanyaan adalah berani tidaknya pemerintah untuk membuat peraturan tersebut lebih luas jangkauannya sehingga bisa melindungi hutan alam. Jika itu sudah terjawab, maka saya dapat menjawab apakah bisa ada pembangunan tanpa deforestasi.
Penulis : Kartika Situmorang dan Najua Febrian Rachmawati
Penyunting : Syifa Hazimah H.A.
Ilustrator : David Regiasmara