Jumat (12-03), dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional, Yayasan Angan Indonesia dan LBH Lentera Keadilan Rakyat melangsungkan diskusi secara daring via Zoom Meeting dengan tajuk “Perempuan dalam KBBI: Ada yang Salah? (Seni dan Linguistik)” dengan Eryka Happy Hutahuruk sebagai moderator. Diskusi ini menghadirkan Rainy Maryke Hutabarat, Komisioner Komnas Perempuan; Ika Vantiani, Pekerja Seni; dan Nazarudin, Dosen Prodi Sastra Indonesia FIB Universitas Indonesia. Diskusi yang diikuti oleh peserta dari berbagai kalangan ini secara khusus membahas mengenai protes terhadap definisi kata perempuan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dari perspektif seni dan linguistik.
Rainy memantik diskusi dengan memberikan pidato utama mengenai perjuangan pergerakan feminis. Dalam pidatonya, Ia menyatakan bahwa bahasa bukan sebatas alat komunikasi dan interaksi sosial saja, melainkan juga bagian dari budaya masyarakat. Rainy beranggapan bahwa dalam kultur patriarki, bahasa dikonstruksikan berdasarkan nilai-nilai dan pengalaman para laki-laki. Oleh karena itu, tanpa tafsir feminis, bahasa akan mengesampingkan eksistensi perempuan dan pengalaman-pengalamannya. “Semua hal ini menunjukkan jalan panjang dan komprehensif perjuangan feminis untuk hak berekspresi atas pengalaman perempuan,” lontarnya.
Nazarudin turut menyampaikan pendapatnya mengenai konstruksi pendefinisian kata dalam perspektif sejarah linguistik. Ia mengatakan bahwa histori konstruksi bahasa tak terlepas dari bungkus kultur patriarki. Nazarudin menjelaskan bahwa sebelum tahun 1988, kamus yang beredar dibuat oleh perseorangan dan didominasi oleh kaum laki-laki. “Kebanyakan pembuat kamus atau bahkan dapat dikatakan 99,9 persen pembuatnya adalah laki-laki,” imbuhnya.
Bukan tanpa alasan, tuntutan yang dilontarkan untuk melakukan perubahan definisi kata perempuan dalam KBBI telah ditinjau selama bertahun-tahun. Tuntutan ini berawal pada permasalahan dalam KBBI edisi V tahun 2016 mengenai definisi perempuan: geladak pelacur, jahat, perempuan nakal, jalan pelacur, jalang, pelacur, jangak, lacur, lecah, serta istri simpanan. Nazarudin menyampaikan bahwa pendefinisian kata memang terdapat dalam metodologi pembuatan kamus, tetapi tidak semua makna harus dituliskan. “Namun, untuk kata geladak pelacur hingga kata selanjutnya bukan lagi data yang harus ditampilkan karena kemunculannya tidak harus sebanyak kata yang ditampilkan di KBBI dan cukup diwakilkan saja,” ucapnya.
Ika menuturkan bahwa bentuk protes tidak hanya untuk menuntut redefinisi kata perempuan, tetapi juga dilakukan dalam rangka perjuangan feminis untuk menghapus segala bentuk kekerasan dan diskriminasi berbasis gender. Ika bersama rekan-rekannya turut ingin supaya publik mengetahui bahwa perempuan didefinisikan secara tidak layak dalam KBBI. “Kita memang menginginkan adanya perubahan pendeskripsian arti kata perempuan,” tuturnya. Sebagaimana yang dilakukan Ika dalam membangun kesadaran publik, ia membuat kaos sebagai atribut untuk menyebarluaskan informasi kepada masyarakat mengenai sejarah pendefinisian kata perempuan dalam KBBI.
Walaupun segala protes sudah berjalan, Nazarudin mengaku bahwa hingga kini belum ada respons yang didapat dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Padahal menurutnya, meredefinisi atau merevisi sebuah kata dalam kamus merupakan hal yang wajar dan biasa dilakukan dalam penyusunan kamus. Ia mengungkapkan bahwa ini bukan hal yang sulit ataupun tabu, mengingat bahwa bahasa itu selalu berubah dan terus berjalan. “Jadi, revisi itu akan selalu ada, tapi mengapa tanggapan mereka justru sangat defensif,” ungkapnya.
Ika menegaskan bahwa muara segala bentuk protes tidak pada kata perempuan dalam KBBI yang harus didefinisikan secara positif. Namun, tuntutan utama redefinisi kata adalah untuk membuang dan mengubah konstruksi yang ada di masyarakat dengan harus memberikan keseimbangan antara laki-laki dan perempuan. Ia turut menambahkan bahwa berbicara mengenai seni dan linguistik, tata bahasa dalam kamus seharusnya bersifat objektif dan pendefinisiannya ditelusuri melalui data. “KBBI memiliki kuasa untuk menjadi bagian dalam mengupayakan adanya representasi objektif pada pendefinisian kata perempuan yang menjadi stigma masyarakat,” tandas Ika.
Penulis : Amanda Diva Nareswari, Yeni Yuliati, dan Kristian Anugrah
Penyunting : Aufa Fathya
Fotografer : Winda Hapsari Indrawati