
©Zia/Bal
Kamis (4-3), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengadakan diskusi daring bertajuk “Banyak Bencana: Bagaimana Seharusnya Media Memberitakan Bencana?”. Diskusi tersebut menghadirkan tiga pembicara, yakni Ahmad Arif sebagai Wartawan Harian Kompas; Ignasius Haryanto, Dosen Universitas Multimedia Nusantara (UMN); serta Dewi Safitri sebagai Sekretaris Jenderal Society of Indonesian Science Journalist (SISJ). Dipandu oleh Deni Yudiawan, Jurnalis Pikiran Rakyat, diskusi ini meninjau buruknya kualitas jurnalis Indonesia dalam pelaporan bencana.
Arif membuka diskusi dengan mengungkapkan bahwa persoalan dasar dari ketidakmampuan jurnalis Indonesia dalam memberitakan bencana terletak pada kurangnya pengetahuan tentang isu kebencanaan. Menurutnya, pengetahuan mengenai konsep dasar kebencanaan diperlukan jurnalis untuk mendalami penyebab terjadinya bencana. “Dalam peliputan, bencana kerap disebut sebagai kejadian alamiah, bahkan mengabaikan dimensi sosial ekonomi,” jelas Arif.
Sejalan dengan Arif, Dewi menyatakan bahwa media tidak menyebutkan penyebab utama dari bencana. Dewi menilai masih ada bencana yang ditimbulkan oleh ulah manusia. Akan tetapi, jurnalis seringkali gagal dalam menuntut pertanggungjawaban mereka. “Jurnalis perlu mempertanyakan langkah yang dilakukan dalam menangani bencana kepada orang yang berkuasa,” ungkap Dewi.
Dewi menambahkan bahwa jurnalis perlu menyajikan liputan bencana yang informatif, menekankan pada akuntabilitas, dan langkah mitigasi. Namun, menurutnya, media gagal menyampaikan informasi yang akurat, khususnya mengenai mitigasi. “Pengecekan ulang terhadap informasi perlu dilakukan untuk pemenuhan mitigasi bencana,” ujar Dewi. Ia menambahkan bahwa nihilnya informasi langkah mitigasi dapat memperparah penanganan bencana yang terjadi di tahun selanjutnya.
Arif kemudian menyatakan bahwa media memiliki peranan penting dalam komunikasi risiko. Komunikasi risiko tersebut merupakan upaya untuk mengedukasi publik supaya dapat meminimalisir dampak bencana melalui proses mitigasi. Namun, menurutnya, komunikasi risiko yang dipahami oleh jurnalis adalah upaya untuk menenangkan publik alih-alih memberdayakannya.
Selain itu, Arif juga menjelaskan perlunya keterampilan jurnalis untuk berinteraksi dengan publik dalam pelaporan bencana. Arif menyoroti media Indonesia yang cenderung menggunakan jurnalisme firasat dalam pelaporan bencana. Alih-alih memberikan informasi yang mengedukasi, jurnalis seringkali memanfaatkan bencana sebagai ajang pertunjukan emosi. “Media cenderung mengeksploitasi korban, bukan fokus dengan informasi,” ungkap Arif.
Senada dengan Arif, Haryanto juga mengungkapkan bahwa dalam hal teknik meliput bencana, jurnalis Indonesia masih mengedepankan praktik jurnalisme perasaan. Haryanto berpendapat bahwa media yang masih menyinggung mengenai perasaan kerabat korban dinilai kurang kompeten. Haryanto menyayangkan kepada media yang menjual respon duka seorang korban dalam sebuah liputan bencana.
Menurut Haryanto, hal tersebut tidak terlepas dari minimnya institusi non-pemerintah yang memperhatikan bencana. Selain itu, jumlah jurnalis yang memiliki pemahaman terhadap isu kebencanaan masih sedikit. Ia menjelaskan bahwa banyak jurnalis yang belum memiliki pengalaman dalam melakukan liputan bencana.
Menanggapi hal tersebut, Haryanto menjelaskan bahwa empati adalah hal yang penting untuk menghindari hal-hal tersebut. Jurnalisme empati dibutuhkan sebagai upaya untuk melakukan penetrasi terhadap kehidupan subjek tanpa bersifat mengganggu. Meskipun demikian, Haryanto menegaskan bahwa media juga harus memberi pembekalan kepada jurnalis yang ditugaskan untuk meliput bencana. “Tugas meliput bencana dengan baik juga diemban oleh media, tidak hanya jurnalis,” pungkasnya.
Penulis: Ridha Fatmasari, Ridha Mukti Inayah, dan Aldyth Nelwan Airlangga
Penyunting: Salsabella ATP
Fotografer: Muhammad Zia