
©Zura/Bal
Pada Selasa (02-03), Presiden Joko Widodo resmi mencabut Aturan mengenai pembukaan keran investasi industri minuman keras (miras) dalam Lampiran Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021. Pasalnya, keberadaan aturan tersebut menuai penolakan dari berbagai pihak karena dinilai tidak sesuai dengan ajaran agama dan moral. Meski begitu, alkohol atau miras nyatanya sudah menjadi wujud kearifan lokal di nusantara.
“Alkohol, dalam hal ini merujuk pada miras, ternyata sudah menjadi komponen yang mengakar kuat dalam kebudayaan nusantara. Dibuktikan dari temuan artefak-artefak abad ke-10 yang menginformasikan sudah ada minuman yang mengandung alkohol,” ujar Bonnie Triyana, Pemimpin Redaksi Historia.ID mengawali diskusi bertajuk “Minum Kemarin, Mabuk Sekarang: Alkohol dan Kejeniusan Lokal” pada Kamis (04-03).
Selain Bonnie, diskusi yang merupakan rangkaian dari seri Dialog Sejarah Historia ini juga dihadiri dua narasumber utama, yaitu Saras Dewi, Dosen Filsafat Universitas Indonesia (UI) dan Tommy F. Awuy, Dosen Seni Murni Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Disiarkan secara daring melalui kanal Youtube Historia.ID, diskusi kali ini menyorot kedudukan alkohol dalam kearifan lokal nusantara.
Menurut Tommy, keberadaan alkohol dalam sejarah peradaban nusantara tidak lepas dari nilai hormat dan nilai kreativitas yang tumbuh dalam aspek internal masyarakat lokal. Nilai hormat, ujar Tommy, berkaitan dengan respons positif masyarakat terhadap apa yang telah alam berikan kepada manusia. “Hal ini dapat ditinjau dari pemilihan berbagai bahan baku pembuatan alkohol; mulai dari dedaunan, akar tumbuhan, hingga biji-bijian,” jelas Tommy yang juga merupakan dosen Filsafat UI itu.Â
Sedangkan nilai kreativitas, oleh Tommy diwujudkan melalui usaha para leluhur yang membuat miras sesuai dengan ciri khas kearifan lokal setempat. Bagi Tommy, usaha tersebut merupakan bukti kejeniusan para leluhur dalam membuat alkohol. “Berkat kejeniusan leluhur kita, lahirlah tuak di Sumatera Utara, ciu di Jawa, dan Cap Tikus di Sulawesi Utara,” ungkapnya.Â
Menyambung apa yang disampaikan Tommy, Saras memaparkan bahwa alkohol dalam kebudayaan lokal memiliki fungsi sosial dan fungsi spiritual. Dua fungsi ini, menurutnya lantas menjadi sesuatu yang krusial dalam memberikan ciri khas bagi kearifan lokal nusantara. Dari aspek fungsi sosial, Saras berpendapat bahwa alkohol mampu menginterpretasikan kelas sosial sekaligus sebagai media perjamuan acara tradisi budaya. Sedangkan dari sisi spiritual, Saras berpendapat bahwa keberadaan alkohol memiliki fungsi imajinasi yang luar biasa untuk menghayati leluhur.
Berkaca dari kebudayaan Bali, Saras membeberkan bahwa arak, tuak, dan brem ‘miras khas Bali’ berperan sebagai pintu masuk untuk menjalin hubungan dengan entitas yang bersifat transendental. Konkretnya, dalam kitab Rig Weda juga membicarakan penggambaran dari suatu proses kemabukkan untuk memahami imajinasi nenek moyang. “Dalam tradisi Bali, selalu menyuguhkan segelas kecil arak untuk memperingati leluhur yang sudah meninggal dan sebagai bentuk persembahan kepadanya,” jelasnya.Â
Di sisi lain, andil besar alkohol dalam manifestasi kearifan lokal, kini disinyalir justru mengalami pergeseran interpretasi. Hal tersebut dibenarkan oleh Tommy, bahwa alkohol yang digunakan dalam fungsi peribadatan, kini diinterpretasikan sebagai sesuatu yang cenderung negatif. Dalam pandangannya, saat ini alkohol selalu dijadikan kambing hitam, terutama berkaitan dengan interpretasi miras sebagai entitas yang identik dengan tindak kriminal.Â
Oleh karena itu, Tommy menyarankan agar masyarakat tidak selalu menyimbolkan miras sebagai fenomena penyimpangan sosial. Ia berharap, miras tidak melulu dinarasikan sebagai barang yang destruktif. “Memukul secara rata pada miras sama saja membunuh karakter setiap orang yang meminum miras untuk peribadatan, sebab dalam konteks budaya, miras adalah sebuah nyawa perjalanan spiritualitas diri menuju Tuhan Yang Mahakuasa,” tandasnya.
Senada dengan Tommy, mengacu pada Pergub Bali tentang Tata Kelola Miras Khas Bali, Saras menawarkan perlunya batasan-batasan dalam pendistribusian miras, mengingat tingkat kesadaran sosial masyarakat yang masih rendah. Misalnya, dengan melakukan identifikasi mana miras yang dibuat untuk peribadatan dan mana yang untuk konsumsi umum. “Warisan leluhur ini begitu berharga dan harus dijaga, sejalan dengan hal itu kita juga wajib menghormati ruang-ruang publik yang kontra terhadap miras,” pungkasnya.Â
Penulis: Albertus Arioseto Bagas Pangestu, Atsil Tsabita Ismaningdyah, dan Mochammad Ezra Syah Resha
Penyunting: Haris Setyawan
Fotografer: Fairuz Azzura