Perkembangan kurikulum dinilai semakin berorientasi pada pasar yang berujung pada pelemahan gerakan mahasiswa. Keresahan ini kemudian menjadi penghantar Social Movement Institute (SMI) bersama MAP Corner-Klub MKP UGM, LDP UNY, BPPM Balairung, dan LPPM Kognisia untuk mengadakan seri diskusi kolektif #2 Coreng Hitam Pendidikan bertajuk âManufakturisasi Kurikulum dan Depolitisasi Gerakan Mahasiswaâ pada Selasa (02-03). Diskusi ini dilaksanakan secara daring melalui Zoom dengan menghadirkan dua pemantik, yakni Agung Wardana, staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM); dan Eko Prasetyo, pendiri SMI.
Agung menggambarkan manufakturisasi kurikulum sebagai dominasi kepentingan kapital pada layanan jasa pendidikan. Kondisi ini, menurut Agung, memicu terjadinya pengikisan esensi dari edukasi sebagai sarana pencipta generasi berpikir kritis. âLewat manufakturisasi kurikulum, kampus dijadikan sebatas penyedia tenaga kerja bagi pelaku pasar,â ujarnya.
Agung juga menambahkan bahwa manufakturisasi kurikulum juga terlihat pada dominasi negara dalam memastikan segala sisi pendidikan di kampus berjalan sesuai orientasi pasar. Dengan demikian, segala proses pendidikan yang tidak sejalan dengan pasar akan ditekan, termasuk mengenai kebebasan akademik berkenaan dengan penyampaian pendapat. âFenomena pembatasan kebebasan akademik makin meningkat belakangan ini karena dianggap tidak sesuai dengan esensi pasar,â jelas Agung.Â
Terkait kebebasan akademik, Eko menyambung dengan menyatakan bahwa dewasa ini telah terjadi perubahan signifikan dalam tata kelola kampus, terutama dalam hal politik dan birokrasi. Kampus, lanjutnya, secara implisit berusaha membatasi kebebasan akademik melalui berbagai kebijakan yang mengatur kehidupan mahasiswa agar sesuai dengan prinsip pasar. Salah satu aspek yang diatur yakni tradisi berpikir kritis ataupun perlawanan dari gerakan mahasiswa. âPengekangan akan kebebasan akademik merupakan contoh atas penerapan manufakturisasi kurikulum,â tuturnya.Â
Sebagai wujud pengekangan akademik, Eko berpendapat bahwa tak jarang kampus kerap kali melakukan pembubaran diskusi dan pembredelan pers. Bahkan beberapa kali kampus kedapatan memberi sanksi pengeluaran bagi aktivis di kalangan mahasiswa karena dianggap bertentangan dengan kurikulum yang berorientasi pasar. Seperti yang terjadi pada 2019 ketika aksi #ReformasiDikorupsi digaungkan, sebanyak 37 kampus mengeluarkan surat edaran berupa larangan ikut aksi hingga ancaman dikeluarkan (drop out) bagi yang melanggar.Â
Lebih lanjut, Eko menjelaskan, salah satu produk manufakturisasi kurikulum lainnya yakni keberadaan pakta integritas. Lewat pakta integritas inilah, paparnya, kampus berusaha menakut-nakuti sekaligus melabel buruk gerakan mahasiswa dengan tindakan indisipliner. âKondisi tersebut menunjukkan kampus telah mengontrol penuh kehidupan mahasiswa hingga ke ranah pola pikir dan preferensi kegiatan ,â ujarnya.Â
Senada dengan Eko, Asrofa Wahyu, salah satu peserta diskusi turut menyampaikan pengalamannya di lembaga eksekutif mahasiswa. Asrofa menuturkan, kampus melihat adanya lembaga eksekutif mahasiswa hanya sebagai âpembantu kampusâ yang melaksanakan dan mendukung program prestasi yang dibuat oleh kampus. Menurut Asrofa, program ini tidak memasukkan isu pergerakkan mahasiswa sebagai salah satu agenda program tersebut. âIni menandakan bahwa kampus secara terang-terangan berusaha mengikis pergerakan mahasiswa,â ungkap Asrofa.
Sebelum mengakhiri acara, Eko menyampaikan mengenai pentingnya untuk memelihara tradisi mengkritik kampus dengan memperkuat peran gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa harus tetap konsisten dengan membawa nilai utama, yakni aktif dan provokatif. Aktif dalam mengadvokasi isu yang ada dan tersebar luas di masyarakat dan provokatif dalam menyampaikan pemikiran kritis. Dua poin ini, bagi Eko perlu ada sebagai bentuk tradisi berpikir kritis mahasiswa yang terpelihara secara bebas. âKampus harus mengakomodasi gerakan mahasiswa dalam menanggapi polemik yang makin kompleks,â pungkasnya.Â
Penulis: Naomy A. Nugraheni, Nabila Hendra Nur Afifah, dan Valentino Yovengky A.
Penyunting: Ardhias Nauvaly Azzuhry