
©Amanda/Bal
“Kami sudah memperingatkan semua pengampu kebijakan, tetapi tidak ada respons,” tutur Sukinah. Dia merupakan salah satu pembicara dalam diskusi daring bertajuk “Yang Melawan di Garda Depan: Kisah Para Perempuan Pejuang Lingkungan & Hak Masyarakat Adat”. Diskusi yang berangkat dari film “Tanah Ibu Kami” ini diselenggarakan oleh The Gecko Project via Zoom Meeting pada Jumat (15-01). Selain Sukinah, forum ini turut dihadiri oleh beberapa pembicara lain, di antaranya Devi Anggraini, Ketua Umum organisasi Perempuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PEREMPUAN AMAN) dan Eva Bande, aktivis gerakan tani di Banggai, Sulawesi Tengah. Pada perjalanannya, diskusi yang dimoderatori oleh Nurdiansyah Dalidjo selaku perwakilan The Gecko Project ini banyak berbicara mengenai kaum perempuan sebagai garda terdepan pejuang lingkungan dan hak masyarakat adat.
Devi menjelaskan alasan mengapa perempuan berada di garis terdepan saat melakukan perlawanan. Alasan tersebut berangkat dari perumpamaan bumi sebagai bagian dari raga perempuan. Devi kemudian mengatakan bahwa hancurnya bumi menandai hancurnya raga. “Bagi perempuan, bumi ini adalah raga yang digunakan untuk menghidupi jiwa mereka,” jelas Devi.
Sukinah yang notabene merupakan salah satu dari “Kartini Kendeng”, julukan yang disematkan kepada perempuan-perempuan Kendeng yang melawan pembangunan pabrik semen di daerahnya, menjelaskan perihal dominasi perempuan dalam gerakan lingkungan. Sukinah pun mengutarakan bahwa baginya strategi menempatkan perempuan di garda depan demonstrasi memberikan keuntungan teknis. “Sebab, apabila bapak-bapak yang di depan, potensi kekerasannya tinggi,” tambahnya.
Berdasarkan keterangannya, Kartini Kendeng telah menyuarakan hak mereka mulai dari kepala desa hingga kabupaten, tetapi tak kunjung digubris hingga akhirnya menuntun mereka sampai ke Ibukota. “Kalau hanya berjuang di kampung, suara kami tidak didengar. Kepergian kami ke Jakarta sangat penting supaya perjuangan masyarakat Kendeng bisa memiliki gaung yang lebih besar,” tutur Sukinah. Tatkala berada di depan istana, para Kartini Kendeng melakukan aksi simbolis dengan mengecor kaki mereka. Bagi Sukinah, aksi ini bertujuan untuk menarik simpati masyarakat dan pemerintah sehingga izin pabrik semen di Kendeng bisa dicabut seperti harapan penduduk di sana.
Sama halnya dengan penduduk Kendeng, masyarakat Banggai di Sulawesi Tengah juga melakukan perlawanan atas perusakan lingkungan. Bukan pabrik semen, musuh mereka adalah korporasi kelapa sawit yang hendak mengalihfungsikan lahan penduduk dengan praktik ilegal. Pengorganisasian perlawanan dilakukan oleh Eva bersama Wahana Lingkungan Hidup Sulawesi Tengah.
Sebagai seorang aktivis perempuan, Eva mengaku sering mendapat pandangan buruk oleh lembaga penegak hukum dan media lokal. “Saat itu ada pemberitaan media yang menyebutkan bahwa perlawanan yang kami lakukan dipandang sebagai kerja-kerja Gerwani,” ujarnya. Bagi Eva, kabar miring sengaja dihembuskan untuk menjatuhkan semangat para aktivis.
Devi sepakat soal adanya pandangan buruk terhadap aktivis perempuan. Dia beranggapan bahwa perempuan adat kerap kali masih dipandang lemah dan dianggap tidak memiliki otoritas untuk memperjuangkan hak-hak wilayah adat. “Ketika proses pengambilan keputusan, nyaris tidak ada ruang bagi perempuan dalam proses pengambilan keputusan,” ucap Devi. Kekhawatiran inilah yang membuat Devi tergerak untuk mendirikan organisasi PEREMPUAN AMAN pada tahun 2012 sebagai tempat untuk menaungi dan memperbesar perjuangan perempuan adat di seluruh Indonesia.
Sama seperti Devi, Eva pun turut mengembangkan organisasi perempuan yang dibangun bersama para aktivis perempuan di Poso. Eva menuturkan bahwa organisasi tersebut berdiri untuk mengikis dominasi kaum laki-laki pada kegiatan perlawanan sektor agraris. Kegiatan mereka akhirnya mampu meruntuhkan dominasi pria pada sektor agraris, seperti mendirikan koperasi mandiri, bahkan merawat kebun mereka sendiri. “Cara ini sangat efektif untuk menggugurkan cara pandang bahwa perempuan hanya berurusan dengan urusan-urusan domestik,” pungkas Eva.
Sebagai penutup, Devi menegaskan bahwa perjuangan yang dialami oleh perempuan begitu kompleks. Mereka yang ingin aktif dalam berorganisasi kerap kali dipandang remeh dan dipatahkan melalui stigma yang tumbuh dalam masyarakat. Bagi Devi, hanya dengan berorganisasi, perempuan dapat mematahkan stigma dan memperjuangkan lingkungan serta hak adatnya. “Melalui organisasi perempuan, kita tidak bisa diam, kita sudah harus bicara,” tandas Devi.
Penulis: Amanda Diva Nareswari
Penyunting: Ardhias Nauvaly Azzuhry
Fotografer: Amanda Diva Nareswari