Selasa (12-01), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers merilis laporan tahunan terkait aktivitas pers, kebebasan meliput berita, dan keterbukaan informasi selama 2020. Dalam rilisnya yang bertajuk “Demokrasi Tenggelam Pers Dibungkam”, LBH Pers mencatat bahwa tahun 2020 merupakan era terburuk kebebasan pers di Indonesia pasca reformasi. Oleh karena itu, untuk mengulasnya lebih dalam, acara laporan tahunan yang disiarkan melalui Zoom dan kanal YouTube Bantuan Hukum Pers ini turut mengundang dua penanggap, di antaranya Bivitri Susanti, selaku Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera dan Robertus Robet, selaku Dosen Universitas Negeri Jakarta.
Mengawali acara, Ade Wahyudin, Direktur Eksekutif LBH Pers, menyampaikan bahwa selama periode 1 Januari hingga 10 Desember 2020 telah terjadi 117 kasus yang menimpa jurnalis. Menurutnya, jumlah ini meningkat 32% dibandingkan tahun 2019 yang hanya 79 kasus. Bentuk kekerasannya berupa perampasan alat-alat jurnalis, peretasan, hingga penangkapan, namun Ade menyoroti pada kasus kekerasan yang terjadi saat aksi demonstrasi yang menduduki angka tertinggi. “Data itu hanya yang terekam melalui pengaduan langsung dan pemberitaan media, jadi tidak menutup kemungkinan jumlahnya lebih banyak daripada itu,” ungkap Ade.
Berkaca dari data tersebut, Ade menilai bahwa tahun 2020 adalah tahun yang paling suram dalam kebebasan pers dan berekspresi pasca reformasi. Ironisnya lagi, dari temuan LBH Pers menunjukan bahwa mayoritas pelaku kekerasan dilakukan oleh aparat kepolisian. “Dari 117 kasus itu, sebanyak 79 kasus pelakunya adalah aparat kepolisian dengan melakukan tindakan represif kepada jurnalis,” ujar Ade. Dalam hal ini, Ade sangat menyayangkan tindakan aparat penegak hukum yang tidak memahami hakikat tugas dan kewajibannya. “Alih-alih menjamin perlindungan hak dan penegakan hukum atas kebebasan pers, polisi justru bertindak sebagai aktor utama kekerasan,” tegasnya.
Di samping itu, Rizky Yudha, Pengacara Publik LBH Pers, menyoroti adanya pasal karet yang semakin mengekang kebebasan pers. Ia mencontohkan Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengkriminalisasi Diananta, jurnalis Kumparan yang divonis tiga bulan 15 hari atas tuduhan melakukan pencemaran nama baik di salah satu liputannya. Selain itu, Rizky menambahkan jika pemenuhan hak atas keterbukaan informasi juga mengalami penurunan, yakni ditandai dengan kewenangan pemerintah untuk memutus akses internet di Papua dan Papua Barat. “UU ITE dan kewenangan ini berpotensi besar untuk membungkam kebebasan pers dan membatasi hak atas pemenuhan informasi,” jelasnya.
Menyikapi laporan tahunan LBH Pers, Bivitri sepakat bahwa kebebasan pers benar-benar dibungkam di tahun 2020. Dalam perspektif hukum, setidaknya ia mencatat tiga faktor. Pertama, hukum yang seharusnya menjadi landasan kerja aparat penegak hukum, justru dipergunakan untuk tujuan yang bukan hukum. Kedua, hukum di Indonesia belum mampu menangani regulasi ketenagakerjaan di industri pers yang terimbas pandemi, sehingga terjadi pemotongan upah dan pemutusan hubungan kerja. Ketiga, hukum tidak pernah tuntas untuk mengungkap pelaku di beberapa kasus. “Hukum selalu samar dan cenderung menciptakan situasi sosial dan politik yang semakin runyam,” tambahnya.
Sementara itu, Robet memaparkan bahwa pers memiliki kedudukan sebagai pilar keempat demokrasi setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Celakanya, imbuh Robet, pers nyatanya tidak dibekali alat kuasa. Padahal menurutnya, secara tidak langsung peran pers sangat krusial untuk mengkomunikasikan kepentingan publik berbasis kebebasan. Kendati demikian, ia memandang jika pers setidaknya memenuhi syarat yang semestinya dimiliki. “Kebebasan informasi, berpendapat, dan berorganisasi merupakan syarat mutlak yang harus terpenuhi, sehingga pers bebas dari intervensi dari pihak manapun termasuk pemerintah,” tandasnya.
Lebih lanjut, kata Robet, kepemilikan lembaga pers oleh para oligarki juga memperkeruh permasalahan kebebasan pers. Ia mengatakan bahwa dengan adanya instansi media yang dikuasai oleh elite politik, telah menyebabkan pengekangan untuk instansi media dalam menyuarakan fakta yang sebenarnya. Sehingga, Robet menyarankan bahwa satu-satunya jalan keluar dari situasi ini adalah pers harus meningkatkan kepercayaan masyarakat. “Misalnya, apabila penyelewengan dilakukan oleh elite politik atau tokoh publik, pers harus membongkar secara objektif,” pungkasnya sebagai jalan keluar permasalahan.
Penulis: Albertus Arioseto, Valentino Yovenky
Penyunting: Haris Setyawan
Fotografer: Parama Bisatya