
©Rika/Bal
Presiden Joko Widodo baru saja meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Yasonna H. Laoly, menetapkan peraturan tersebut pada 7 Desember 2020 di Jakarta. Namun, peraturan ini disinyalir tidak menyelesaikan akar permasalahan kekerasan seksual dan cenderung abai terhadap pemenuhan hak-hak korban.Â
Sehubungan dengan hal tersebut, Yayasan Mulia Raya yang bekerja sama dengan Klub Kajian Salam dan Muslimah Reformis Foundation menyelenggarakan diskusi daring bertajuk “Menghentikan Kekerasan Seksual terhadap Anak dengan Tindakan Kebiri?” pada Rabu (06-01), melalui aplikasi Zoom dan Live Facebook. Diskusi kali ini menghadirkan tiga narasumber, yaitu Musdah Mulia, penulis buku Ensiklopedia Muslimah Reformis; Ahmad Sofian, Dosen Program Studi Hukum Binus University; dan Asfinawati, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
Mengawali diskusi, Sofian menilai PP Nomor 70 Tahun 2020 runyam dalam upaya penghapusan kekerasan seksual di Indonesia. Ia menyoroti Pasal 1 Ayat (3) yang mengungkapkan bahwa hanya tindak pidana persetubuhan dan pencabulan saja yang dapat dikenai hukuman kebiri kimia. Padahal, tutur Sofian, kekerasan seksual memiliki banyak bentuk, seperti inses dan pemaksaan perkawinan. “Pemerintah gagal paham dalam hal ini, alhasil PP ini tidak memberikan solusi penghapusan secara menyeluruh pada kasus kekerasan seksual terhadap anak,” paparnya.Â
Lebih lanjut, Sofian berpendapat bahwa PP tersebut hanya berlaku setelah praktik persetubuhan atau pencabulan terjadi. Artinya, aturan ini tidak mencegah terjadinya kekerasan seksual, tetapi hanya memperberat hukuman terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual. “Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa hukuman yang diperberat akan menurunkan jumlah tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak,” tutur Sofian yang juga merupakan Konsultan End Child Prostitution and Trafficking Indonesia.Â
Senada dengan Sofian, Asfinawati juga tidak mendukung terbitnya PP Nomor 70 Tahun 2020. Menurutnya, hukuman di PP tersebut hanya fokus pada satu unsur, yakni penindakan pelaku. Sementara itu, berdasarkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), terdapat enam unsur yang harus dipenuhi dalam upaya penghapusan kekerasan seksual, meliputi pencegahan, penanganan, perlindungan, pemulihan korban, penindakan pelaku, dan pengawasan. Artinya, PP ini hanya memenuhi satu dari enam unsur upaya penghapusan kekerasan seksual. “Jangankan hanya satu, enam unsur terpenuhi pun belum tentu menjamin kekerasan seksual akan benar-benar terhapus,” tegasnya.Â
Ketidaksetujuan terhadap PP ini juga diungkapkan oleh Musdah. Ia berpendapat bahwa hukuman kebiri kimia tidak menyelesaikan akar permasalahan kekerasan seksual terhadap anak. Musdah lebih mendorong pemerintah untuk mengupayakan perubahan pola pikir pada masyarakat. Sebab, ia memandang kejahatan seksual tidak hanya dimotori oleh hasrat seksual tetapi juga pemikiran yang kotor. Perubahan pola pikir, kata Musdah, dapat diwujudkan melalui edukasi seksual sejak dini. “Selain mengajarkan penghargaan utuh atas tubuh, edukasi ini berguna bagi anak-anak agar tidak dikelabui oleh orang dewasa yang hendak bertindak asusila,” tambahnya. Meskipun demikian, Musdah menilai bahwa masyarakat Indonesia masih memandang tabu edukasi seperti ini.
Di akhir diskusi, ketiga narasumber sepakat untuk menolak terbitnya PP Nomor 70 Tahun 2020. Sebagai penutup, Asfinawati memberikan saran kepada pemerintah untuk memfokuskan penghapusan kekerasan seksual dengan memperbaiki dan menjamin sistem pelayanan atau pengaduan terlebih dahulu. Ia juga menambahkan bahwa hak-hak korban harus menjadi prioritas dalam segala jenis peraturan. Konkretnya, ia mendorong pemerintah untuk segera mengesahkan RUU PKS. “Sebab, prioritas terhadap korban harus diiringi dengan penyusunan peraturan yang komprehensif dan lebih berorientasi pada hak-hak korban,” tutup Asfinawati.Â
Penulis: Achmad Hanif Imaduddin
Penyunting: Haris SetyawanÂ