Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja yang resmi disahkan pada 5 Oktober 2020 silam menimbulkan banyak penolakan, termasuk dari kalangan mahasiswa. Masifnya gerakan mahasiswa memicu beberapa kampus melakukan tindak pembatasan terkait aksi demonstrasi dengan berbagai cara. Salah satunya dengan melakukan penutupan kampus seperti yang dilakukan Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 15 Oktober 2020 lalu.
Berdasarkan keterangan Panji Dafa, Humas Aliansi Mahasiswa UGM, penutupan tersebut dilakukan oleh Pusat Keamanan, Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Lingkungan (PK4L) UGM beserta aparat kepolisian yang membentuk barikade di gerbang utama UGM. Panji menambahkan, penutupan ini bertujuan untuk menghalang-halangi mahasiswa yang akan melakukan konsolidasi. “Gerbang utama ditutup dengan cone yang dijejerkan” ujar Panji.
Menurut Arif Nurcahyo atau yang kerap disapa Yoyok selaku Kepala PK4L UGM, penutupan akses ini demi melindungi UGM dari pihak-pihak luar yang berusaha memanfaatkan nama besar UGM. Berdasarkan keterangannya, pihak rektorat pun setuju dengan kebijakan ini. “Saya bahkan berkoordinasi dengan rektorat terkait keputusan ini dan ditanggapi dengan positif,” ujar Yoyok.
Keputusan ini didasari fakta yang dia saksikan saat konsolidasi di Bonbin UGM pada 6 Oktober 2020 lalu. “Kala itu, konsolidasi dihadiri 300 orang dan sangat minim peserta dari UGM sendiri,” paparnya. Dia pun keberatan dengan undangan konsolidasi yang disebarluaskan ke media sosial sebab akan sangat beragam pihak yang ikut serta. Baginya, hal ini tentu akan menimbulkan ketidakjelasan baik pengelolaan maupun pertanggungjawabannya.
Merespons pernyataan PK4L, Panji mengatakan bahwa saat konsolidasi tidak ada pihak mana pun yang ingin memanfaatkan nama besar UGM. “Kita hanya menjadikan UGM sebagai tempat konsolidasi saja,” ujarnya. Panji membenarkan banyak pihak-pihak luar yang berpartisipasi karena konsolidasi tersebut sifatnya terbuka. Namun, pernyataan bahwa jumlah partisipasi dari luar UGM lebih banyak dibandingkan dari UGM sendiri tidak dapat dipastikan mengingat banyaknya pihak-pihak yang ikut serta. Terkait keamanan, Panji berani mengatakan bahwa tidak pernah ada konsolidasi yang mengganggu ketertiban kampus selama dia berkuliah di UGM sejak 2016. Baginya, ketakutan-ketakutan pihak kampus jelas terlalu berlebihan.
Penutupan ini juga dilatarbelakangi atas faktor pandemi COVID-19 yang dikhawatirkan memunculkan klaster penyebaran sebab adanya kerumunan massa. Hal ini disampaikan oleh Djagal Wiseso Marseno selaku Wakil Rektor Bidang Pendidikan, Pengajaran, dan Kemahasiswaan. Menurutnya, prioritas tertinggi saat ini adalah keselamatan dan keamanan kampus. Menambahi Djagal, Suharyadi selaku Direktur Bidang Kemahasiswaan kemudian membandingkan hal ini dengan acara kunjungan perguruan tinggi dan wisuda. Dia menyebutkan bahwa kunjungan dari perguruan tinggi lain untuk sementara waktu ditunda karena alasan pandemi. Menurutnya, pada saat ini, konsolidasi bisa dilakukan secara daring. “Wisuda saja dibatalkan, masa konsolidasi diizinkan,” jelasnya.
Tidak hanya di UGM, pembatasan juga berlangsung di kampus-kampus lain di Yogyakarta, seperti yang dilakukan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY). Appa Yip-yip selaku humas dari Aliansi UNY Bergerak, menuturkan bahwa terdapat instruksi langsung yang diberikan oleh pihak rektorat terkait pembubaran serta pelarangan konsolidasi di area kampus UNY pada 11 Oktober 2020. “Mas, ini mohon maaf saya mendapat amanat dari rektorat untuk membubarkan acara konsolidasi,” ujarnya meniru pernyataan pihak keamanan kampus kepada mahasiswa UNY yang saat itu sedang berkonsolidasi. Bahkan, berdasarkan penuturannya, tindakan pembubaran tersebut tidak hanya sekali, tetapi dua kali di hari yang sama dengan lokasi berbeda.
Hal senada juga dirasakan oleh mahasiswa UAJY. Melalui keterangan Vivi Liona, Ketua BEM Fakultas Hukum UAJY, diketahui bahwa mahasiswa tidak diperbolehkan untuk melakukan konsolidasi dalam area kampus. Terlebih lagi mereka juga dilarang membawa nama almamater dalam aksi demonstrasi.“Sejauh ini teman-teman mahasiswa sebenarnya mengharapkan kampus untuk mendukung, tetapi kami juga tidak tahu harus menyampaikan harapan ini ke mana,” tambah Vivi.
Abdul Gaffar Karim, Dosen Politik dan Pemerintahan UGM, menjelaskan setidaknya terdapat dua opsi bagi kampus dalam memandang posisi negara. Pertama, melihat negara sebagai sebuah status legal rasional, yang berarti kampus mematuhi negara sebagai pembuat kebijakan-kebijakan dalam pengelolaan pendidikan. Kedua, negara dipandang sebagai entitas yang terdiri atas aktor-aktor penguasa dan perilakunya. “Tantangan sekarang yaitu kampus dituntut harus mampu memilah dengan teliti dalam memposisikan negara, apakah negara sebagai struktur legal rasional atau perilaku penguasa.” ujar Abdul Gaffar.
Tindakan kampus yang melakukan penghalangan terhadap gerakan mahasiswa ini kemudian menimbulkan satu pertanyaan besar, yakni mengenai bagaimana kampus seharusnya menempatkan diri di antara gerakan mahasiswa dan sebagai institusi pendidikan di bawah naungan negara. Idealnya, kampus harus menjadi penengah keduanya. “Kampus yang merupakan bagian dari negara dalam hal pendidikan sudah seharusnya juga menjadi ruang utama pembentuk pola pikir kritis mahasiswa,” tuturnya.
Di lain sisi, dia mengafirmasi adanya kemungkinan kampus dijadikan alat oleh negara untuk merepresi gerakan mahasiswa. Namun, yang harus ditekankan baginya adalah kapabilitas dari dalam kampus itu sendiri. “Pertanyaan yang penting sekarang adalah apakah kampus punya daya untuk melawan tekanan eksternal tersebut?” ujarnya.
Nabiyla Risfa Izzati, Dosen Fakultas Hukum UGM, turut menanggapi terkait peristiwa pembatasan aksi mahasiswa oleh kampus. Dia mengakui memang tidak ada dasar hukum yang mengatur soal keberpihakan kampus. Namun, akan menjadi janggal apabila kampus membatasi ruang gerak bagi mahasiswa untuk menyuarakan pendapatnya termasuk lewat demonstrasi. “Aksi yang dilakukan oleh mahasiswa itu sangat penting bagi demokrasi,” ujarnya.
Posisi kampus yang cenderung menghalangi gerakan mahasiswa menimbulkan kritik dari Panji. Dia mengatakan, kampus sebagai institusi pendidikan seharusnya menjamin terciptanya demokratisasi kampus dengan melindungi semua pihak yang hendak menyampaikan pendapat. “Jangan sampai kampus menganggap konsolidasi sebagai ancaman bagi mereka atau pemerintah,” pungkasnya.
Penulis: Florencia Azella Setiajid, Naomy A. Nugraheni, RR Natasya Nurputri Adiyana, Aji Sugiantoro (Magang)
Penyunting: Ardhias Nauvaly Azzuhry
Fotografer: Fairuz Azzura Salma (Magang)