Pada Selasa (24-11), BEM KM UGM bersama Aliansi Mahasiswa UGM menggelar Forum Terbuka Akademisi UGM yang bertajuk “Telaah (Bukan Sosialisasi) UU No. 11 tahun 2020”. Forum yang dihelat secara daring via Zoom dan disiarkan langsung di kanal YouTube BEM KM UGM ini dihadiri oleh beberapa akademisi sebagai pembicara. Panut Mulyono, Rektor UGM, memilih tidak hadir tanpa alasan yang jelas meski sudah diundang. Sebagai gantinya, Djagal Wiseso Marseno selaku Wakil Rektor bidang Pendidikan, Pengajaran, dan Kemahasiswaan yang menghadiri forum siang itu.
BEM KM UGM via rilis persnya menuliskan bahwa sebelumnya Rektorat berjanji akan menyelenggarakan forum akademik dengan melibatkan mahasiswa dalam penyusunannya. Namun, masih berdasarkan rilis pers, Rektorat memilih menginisiasi forum akademik pada 17 November 2020 secara tiba-tiba tanpa koordinasi dengan elemen mahasiswa. “Penolakan mahasiswa atas forum 17 November tersebut yang mendasari diselenggarakannya Forum Terbuka Akademisi ini,” tulisnya.
Traheka Erdyas Bimanatya selaku moderator mengatakan bahwa forum ini mengarah kepada kritik UU Cipta Kerja yang tidak sesuai dengan cita-citanya. Ketidakselarasan ini, menurut Prof. Maria Sumardjono, dapat dilihat dari potensi UU Cipta Kerja merenggut lapangan kerja alih-alih menciptakannya. Dia memberikan contoh kasus pada masyarakat yang lahannya direnggut investor lalu hanya diberi ganti rugi uang berdasarkan UU Cipta Kerja. “Lalu kemana kerugian non fisik yang salah satunya adalah lapangan pekerjaan?” kritik Guru Besar Hukum Agraria UGM itu.
Secara formal, Zainal Arifin Mochtar selaku Dosen Hukum Tata Negara UGM menampik bahwa UU Cipta Kerja mampu mewujudkan cita-cita utamanya yakni merampingkan hukum. Alih-alih, dia berpendapat kalau UU Cipta Kerja justru menggemukkan regulasi yang ada. Menurutnya, UU Cipta Kerja kelewat ambisius dengan memasukkan klaster bahasan yang kurang relevan dengan tema utamanya soal kemudahan usaha serta investasi. “Ini baru tataran UU, belum lagi bicara peraturan turunannya,” ungkapnya.
Prof. Maria pun mengafirmasi kerumitan baru yang justru ditimbulkan oleh UU Cipta Kerja. Pada bahasan Bank Tanah, misalnya, dia menunjukkan adanya tumpang tindih regulasi dengan Undang-Undang Pokok Agraria dan juga Tap. MPR No. 9 tahun 2001 soal reforma agraria. Prof. Maria memaparkan banyak objek tanah yang semula ditujukan bagi reforma agraria lantas dicaplok oleh Bank Tanah. “Jelas Bank Tanah bukanlah perbaikan regulasi reforma agraria melainkan introduksi paradigma baru yang bertentangan dengannya, yakni pro-investasi,” paparnya.
Runyamnya UU Cipta Kerja juga disepakati oleh Nabiyla Risfa Izzati, Dosen Hukum Ketenagakerjaan UGM. Nabiyla menyoroti klaster ketenagakerjaan yang menurutnya jangan dimasukkan ke dalam UU Cipta Kerja. Sebab baginya, UU Cipta Kerja yang bertujuan memudahkan investasi dan usaha akan bertentangan dengan kewajiban negara menjamin kesejahteraan buruh. Bahkan Nabiyla berpendapat bahwa klaster ketenagakerjaan merupakan deregulasi beberapa pasal dalam UU Ketenagakerjaan tahun 2003. “Negara harus hadir membela kepentingan buruh sebab posisinya lebih rendah dalam relasinya dengan pengusaha,” ujarnya.
Betapapun UU Cipta Kerja berupaya mengundang investasi global, Sigit Riyanto selaku Dekan Fakultas Hukum UGM menyampaikan bahwa angan itu tidak akan terpenuhi. Menurutnya, investor asing yang berkualitas memiliki standar etik dan prosedur yang ketat. Celakanya, lanjut Sigit, UU Cipta Kerja tidak memenuhi kualifikasi itu dengan minimnya regulasi yang mengatur perlindungan buruh. “Lantas investor seperti apa yang sebenarnya hendak diundang oleh pemerintah?” tanyanya. Sepakat dengan Sigit, Frans Vicky Djalong, dosen Departemen Sosiologi UGM, menilai UU Cipta Kerja akan sulit menarik investor global karena dalam substansinya tidak mempertimbangkan COVID-19 yang tengah menjadi polemik dunia saat ini.
Menutup forum, Pipin Ulya Jamson, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan UGM, menandaskan bahwa kerangka dasar UU Cipta Kerja sesungguhnya adalah pelanggengan kesenjangan. Pipin menegaskan bahwa prinsip paling dasar dari kesenjangan adalah yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. “Ini prinsip yang dimengerti semua orang, kecuali penguasa,” tegasnya.
Penulis: Ardhias Nauvaly Azzuhry
Penyunting: Harits Naufal Arrazie