Dilansir dari Tirto, pada Februari 2020, Kapolda Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Asep Suhendar, memaparkan mengenai akumulasi kasus klitih. Terdapat 35 kasus klitih yang terjadi sepanjang tahun 2019 dan lima kasus yang terjadi pada Januari 2020. Kasus klitih tersebut seolah menjadi teror bagi masyarakat di Yogyakarta. Apalagi ditambah dengan popularitas tagar #DIYdaruratklitih di laman Twitter.
“Dalam kurun waktu satu pekan ini sudah ada tiga kejadian kekerasan jalan yang menimpa driver ojek online,” jelas Ketua Komunitas Antar-Ojek Online Yogyakarta, Adi Setyawan, kepada Tirto. Banyaknya korban kemudian menambah ketakutan masyarakat akan momok yang selama ini menghantui. Berbagai perspektif muncul perihal pelaku klitih yang menyasar ke berbagai lapisan masyarakat.
Berangkat dari urgensi tersebut, BALAIRUNG berkesempatan untuk mewawancarai Drs. Soeprapto, SU selaku dosen di Departemen Sosiologi FISIPOL sekaligus kriminolog Universitas Gadjah Mada. Dalam wawancara, ia memberikan pernyataan perihal kesalahpahaman masyarakat mengenai pelaku dan target sasaran klitih. Berikut hasil wawancara yang telah kami dapatkan.
Bagaimana sistem rekrutmen geng-geng klitih? Dan apa yang menjadi tujuan mereka?
Motivasi pelaku klitih beragam. Ada yang balas dendam, ada yang pelampiasan masalah hidup. Bisa jadi tidak ada permasalahan dengan kelompok lain, tetapi karena hidupnya tidak nyaman, maka ingin membuat kelompok lain terganggu. Sebetulnya tidak ada yang bertujuan membunuh, tetapi dalam melakukan aksi, sering menggunakan senjata tajam dan tidak terkontrol akibat mengonsumsi minuman keras. Akibatnya, korban jiwa bisa jadi jatuh. Tujuan mereka sebenarnya hanya untuk eksistensi. Jika tujuan sudah tercapai maka mereka merasa cukup.
Sistem rekrutmen mereka adalah waktu orientasi siswa. Mereka mengikuti kegiatan sekolah. Contohnya adalah, ketika sekolah mengadakan outbond, mereka mengikuti dan “menculik” yang lain saat istirahat untuk diajak bergabung ke dalam kelompok. Jika ada yang tertarik, maka akan diadakan pertemuan selanjutnya di luar kegiatan sekolah. Di pertemuan tersebut, kaos dan bahkan senjata akan dibagikan oleh kelompok lain.
Apa yang menjadi faktor terbentuknya identitas sosial pelaku klitih?
Dulu, mereka itu memang menciptakan simbol status identitas melalui cara berpakaian dan ciri tertentu di sepeda motornya. Akan tetapi, karena mereka sekarang merasa kegiatannya dipantau oleh banyak pihak, mereka justru tidak ingin menunjukkan identitas mereka bagi khalayak. Meskipun begitu, mereka tetap ingin menunjukkan bahwa mereka itu ada. Biasanya menggunakan tulisan dan coretan yang dituangkan di tembok dan gapura.
Sekarang ini, yang digunakan untuk menunjukkan eksistensi dan kekuatan mereka itu justru pada perilakunya. Semakin berani mereka melakukan tindakan kekerasan di dekat pos keamanan, apalagi pos polisi, nilai mereka menjadi lebih tinggi. Jadi, itu yang menunjukkan identitas diri mereka menjadi tercatat ataupun diakui. Mereka sebetulnya membutuhkan legitimasi dari kelompoknya maupun dari kelompok lain yang dianggapnya sebagai musuh atau pesaing mereka.
Apakah kasus klitih merupakan alat dan kepentingan oleh salah satu pihak tertentu?
Saya membagi struktur organisasi klitih itu menjadi tiga. Pertama saya menyebutnya organisasi murni, yaitu struktur inti yang terdiri dari ketua atau wakil, bendahara, sekretaris, dan anggota. Kedua, saya menyebutnya ‘struktur organisasi murni plus’, yaitu organisasi yang ditunggangi oleh para kakak kelas dan alumni. Dan ketiga, saya menyebutnya ‘organisasi murni plus-plus’. Plus pertama seperti yang disinggung sebelumnya, yakni ada kakak kelas dan alumni. Plus kedua ada kelompok lain yang lebih besar. Apakah itu preman ataukah organisasi-organisasi tertentu yang, dalam tanda petik, sering menjual jasa keamanan. Kadangkala mereka dijadikan alat “nabok nyilih tangan”, karena tindakan-tindakan yang dilakukan hukumannya akan lebih ringan. Karena anak tidak akan mendapatkan perlakuan hukum seperti yang dilakukan oleh orang dewasa. Jadi, apakah mereka digunakan atau dimanfaatkan orang lain adalah iya.
Tetapi, tidak selalu bahwa itu digunakan. Ada pihak tertentu yang memang berusaha memanfaatkan. Misalnya adalah kelompok-kelompok preman yang membutuhkan rekrutmen, di mana anggotanya sudah mulai berkurang. Maka rekrutmen dilakukan atau sekadar meminjam sementara untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Mereka tidak dengan jelas menunjukkan identitas, tetapi kita mengetahui bahwa mereka dimanfaatkan, karena sasaran pelajar yang melakukan aktivitas klitih itu adalah para pelajar atau orang-orang yang seusia. Tidak akan menyerang orang dewasa, orang tua, perempuan, atau yang sedang berboncengan, baik laki-laki maupun perempuan. Sehingga, jika kita mendengar tempo hari bahwa ada driver ojol yang diserang oleh klitih, itu adalah tidak benar, karena itu bukanlah klitih yang sebenarnya. Sehingga, saya selalu mengatakan bahwa istilah klitih itu seharusnya dihilangkan. Makanya, Polda mengusahakan agar istilah kejahatan ini disebut dengan Aksi Penganiayaan Berat (Anirat). Jangan lagi menggunakan kata klitih, karena klitih pada dasarnya memiliki makna yang positif.
Apakah sudah ada pemetaan dari keberadaan geng-geng pelaku klitih di Yogyakarta?
Dulu dasar basecamp mereka adalah sekolah. Jadi pemetaannya adalah lokasi-lokasi sekolah yang memiliki geng-geng pelajar tersebut. Sekarang ini basisnya tidak lagi di satu sekolah. Beberapa sekolah membentuk geng tertentu. Ketika ada kepentingan yang sama, mereka bisa berkoalisi atau berkooptasi, kemudian menyerang kelompok lain. Sekolah-sekolah yang rawan dengan siswa-siswa yang masih melakukan aktivitas klitih dijadikan sebagai pemetaan.
Apakah dasar-dasar hukum yang ada di Indonesia cukup membantu mengurangi akumulasi kasus klitih di mana pelakunya adalah ABH (Anak Berhadapan dengan Hukum)?
Sebenarnya peraturan yang ada sudah jelas, yaitu dulu terdapat UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, yang kemudian diganti menjadi UU No. 35 tahun 2014. Peraturan tersebut sebenarnya sudah cukup sehingga mereka yang sudah ditangani sebetulnya menjadi sadar dan berusaha menjadi lebih baik. Akan tetapi, pelaku silih berganti. Sedangkan bagi pelaku yang belum tersentuh hukum, mereka cenderung masih ingin melanjutkan, terkhusus karena sudah adanya indoktrinasi atau pencucian otak oleh kakak kelas, alumni, dan pihak-pihak tertentu. Akan tetapi, jika pertanyaannya apakah dasar hukum sudah cukup, maka jawabannya sudah cukup. Namun, yang perlu diingat adalah jangan hanya menangani pelaku, tapi backward atau siapa yang ada di balik itu semua. Hal tersebut diharapkan dapat meminimalkan atau syukur menghentikan klitih.
Dalam identifikasi fisik pelaku klitih, apakah dapat menjadi dasar pijakan bagi seluruh pihak agar terhindar?
Dulu, memang mereka mempunyai identitas tertentu, yaitu pada sepeda motornya ada identitas tertentu dan juga pada penampilannya. Tetapi sekarang sudah tidak lagi. Jadi mereka identitasnya adalah identitas seragam sekolahan yang kemudian mereka gunakan. Meskipun tadi saya katakan bisa dari sekolahan berbeda, tetapi mereka sudah tahu sekolah ini dan sekolah lain in-group bukan out-group. Tetapi sekali lagi, yang menandakan yaitu dari dresscode-nya. Perlu diketahui juga, bahwa sekarang mereka itu diberi seragam kaos dan bahkan dibuatkan senjata. Kalau dulu kan namanya tawuran, senjatanya itu dengan batu yang dilempar. Namun, sekarang bentuknya bisa mirip sabit, bukan sabit yang sebenarnya. Kalau sabit sebenarnya kan tipis ringan yang dibuat dari bekas distrik sepeda motor dan mobil yang tebal. Sehingga, jika itu diayunkan, maka karena berat tekanannya ke tubuh menjadi lebih kuat dan lukanya menjadi lebih dalam.
Bagaimana pihak kepolisian menanggapi klitih atau bagaimana usaha kepolisian untuk mencegah klitih?
Usaha-usaha preventif yang mereka lakukan itu antara lain melakukan koordinasi dengan pihak sekolahan, baik dengan kepala sekolah maupun juga dengan para ketua OSIS. Bahkan, kadangkala setiap sekolahan diminta juga untuk mengundang para orang tua murid untuk kemudian mendengarkan arahan dari pihak kepolisian. Itu yang kaitanya dengan kerjasama dengan pihak sekolahan. Namun, yang mandiri atau dilakukan oleh pihak kepolisian yaitu meningkatkan intensitas patroli. Intensitas yang dimaksud dapat berupa frekuensi atau jumlah polisi yang ditingkatkan dalam berpatroli. Kemudian, kepolisian juga selalu berusaha mengembangkan di mana titik-titik yang rawan terjadi aksi kekerasan jalanan, yang kalau saya menyebutnya, itu kekerasan jalanan oleh anak.
Bagaimana klitih memilih lokasi melakukan aksinya?
Mereka melakukan orientasi dulu dan mencari tahu tempat yang sering dilewati oleh remaja lain yang bisa dijadikan musuh. Itulah sebabnya mereka tidak menyerang orang tua atau perempuan, karena dianggap tidak layak menjadi musuh mereka. Sama seperti calon perampok yang lain, mereka mempelajari dulu lokasi aksi mereka. Mereka akan mempelajari pertigaan atau perempatan yang ada. Mereka akan memancing dengan awalnya memukul lalu kabur, agar korban terpancing ke jebakan yang sudah disiapkan. Jadi, sangat tergantung dengan tempat musuh berada dan daerah yang mereka lewati.
Apakah masyarakat tidak perlu khawatir karena klitih hanya menyasar musuh kelompoknya?
Benar. Saya selalu sampaikan bahwa sangat salah jika pelaku klitih tidak punya target atau sasarannya acak. Konteks acak adalah siapapun yang merupakan bagian dari kelompok musuh sasaran. Bukan acak bisa orang dewasa atau perempuan menjadi korban. Masyarakat tidak perlu khawatir tetapi juga harus tetap waspada, ketika anak-anak mereka keluar rumah pada dini hari.
Apakah pembelajaran mengenai klitih masih kurang? Melihat banyaknya kesalahpahaman mengenai klitih pada masyarakat Jogja?
Benar. juga minta tolong kepada BALAIRUNG yang mempunyai akses untuk menyebarluaskan bahwa klitih tidak memiliki sasaran acak.
Apa yang diperlukan untuk mencegah klitih baik bagi pemerintah, masyarakat, maupun keluarga?
Penyebab klitih ada banyak, ada faktor internal. Internal itu antara lain juga dari pihak keluarga yang menjadi penyebab terjadinya tindak kekerasan. Karena banyak anggota keluarga ataupun keluarga yang melupakan fungsinya, seperti fungsi sosialisasi nilai budaya, fungsi ekonomi, dan fungsi perlindungan termasuk norma hukum. Sehingga, anak itu kemudian menjadi keluar ketika ada kondisi-kondisi tertentu.
Kemudian juga faktor internal lain, yaitu karena kedewasaan psikologis. Jadi emotional question yang dimiliki oleh anak itu kadang kala berada pada level pertama. Level pertama itu dia hanya menyadari dirinya, “Oh aku ini emosional lho, aku ini jengkel,” dengan keadaan di rumah, di sekolahan, pada pertemanan, dan sebagainya. Level kedua yaitu mampu mengendalikan diri ketika memiliki keinginan untuk marah dan balas dendam. Level ketiga yaitu memahami orang lain dan level keempat adalah mengendalikan orang lain.
Sementara itu yang eksternal antara lain pengaruh teman sepermainan, lingkungan masyarakat lain, dan beberapa tontonan. Keluarga menjadi elemen penting dalam menunjukkan fungsi sebagai sosialisasi nilai, norma, dan budaya. Supaya anak menjadi tahu apa yang harus dilakukan, apa yang tidak baik, dan apa yang harus ditinggalkan. Kemudian, kepada masyarakat, agar semakin sensitif dan peka terhadap gejala-gejala munculnya tindak kekerasan oleh anak, misalnya keberanian memberikan kontrol. Saya melihat di beberapa tempat itu ada yang sudah mengambil sikap anti-klitih, sehingga ketika melihat rombongan anak-anak mencurigakan, langsung dihalau dan akhirnya meminimalkan potensi tindak kekerasan jalanan.
Penulis: Kartika Situmorang, Najua Febrian Rachmawati, Aldyth Nelwan Airlangga (Magang)
Penyunting: Tariq Fitria Aziz
Illustrator: Leo Nanda Renaldo Syah (Magang)